Mohon tunggu...
Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nurfatoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesendirian, Mikraj, dan Shalat

28 Juni 2011   05:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isra’ Mi’raj terjadi pada 27 Rajab, tepatnya satu tahun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Dalam QS Al-Isra [17] ayat pertama difirmankan, “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Isra Mi’raj tidak sekadar perjalanan “hiburan” bagi Rasul. Isra Mi’raj adalah perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience, seperti dikutip Azyumardi Azra, mengungkapkan bahwa Isra’ Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah saw, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. “Isra Mi’raj,” tulisnya, “Benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh dunia gaib”.

Bila perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekkah, maka Isra’ Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba menuju Al-Khalik. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Perjalanan ini, menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf.

Mengutip Muhammad Zuhri, Peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah perjalanan horizontal yang dilanjutkan dengan perjalanan vertikal yang bersifat spiritual. Dalam perjalanan horizontal ini Rasulullah saw meninggalkan rumah kini (rumah akal, hukum; Baitul Haram) menuju rumah lama (rumah qalbu, kesucian, Baitul Muqoddas), maka dalam perjalanan vertikal beliau terlempar dalam kesendirian di Sidratul-Muntaha dan tak ada mitra dialog selain Allah. Di situ beliau menemukan kata ganti Tuhan sebagai ‘Engkau’ dan Allah pun berkenan memanggilnya sebagai ‘engkau’ (Al Fatihah:5; Al Qalam: 4; Al maidah: 67).

Menurut Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting peristiwa Isra Mi’raj terjadi tatkala Rasulullah saw “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”. “Segala keselamatan untukmu wahai Nabi, juga rahmat dan barakah Allah” Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Ungkapan bersejarah ini kemudian diabadikan sebagai bacaan shalat.

Setelah disambut dengan sejuk oleh Allah, hati Rasulullah saw menjadi tenteram dan tenang. Ternyata Allah SWT bukanlah ancaman. Bahkan Allah menjamin penjamin keselamatan Nabi saw.

Sebagai pribadi berakhlak mulia, Rasulullah saw sangat menjauhi sikap egois. Beliau ingin ucapan salam dan “undangan” Allah tersebut dirasakan segenap umatnya. Beliau kembali ke bumi dengan membawa salam keselamatan dari Allah SWT lewat perintah shalat. Inilah kado spesial dari Allah SWT bagi orang-orang beriman. Dan ini sekaligus menjadi tonggak revolusi spiritual dalam Islam; bahwa setiap hamba diperkenankan langsung untuk ”menemui-Nya”: bukan saja memuja-Nya, melainkan berdialog dan meminta; mengadu dan berharap. Itu semua dilakukan tanpa perantaraan.

Seyyed Hussein Nasr dalam Muhammad Kekasih Allah (Mizan, 1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah saw saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang kita lakukan sehari-hari. “Shalat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman,” demikian ungkapan sebuah hadis.

Sabar dan Shalat Sebagai Senjata
Dari cuplikan episode perjuangan Rasulullah saw ini, jika kita tarik garis merahnya memberi pelajaran penting. Pertama, dalam hidup, dalam perjuangan mempertahankan hidup; lebih khusus dalam melakoni dakwah Islam, tidak pernah sepi dari berbagai ujian berat; yang bahkan ujian berat itu melemparkan kita dalam kesendirian; keterasingan; alienasi.

Kedua, kesendirian itu sendiri harus melecut kesadaran kita, bahwa kita bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, dan tidak punya apa-apa. Yang kita punya hanya—lebih tepatnya, kita dipunyai (dimiliki)—Allah Sang Pemilik Kuasa. Maka, kembali kepada-Nya—bukan saja dalam pengertian pascakematian fisik—menjadi keniscayaan hidup (bahkan sekalipun saat manusia tidak mendapatkan pengalaman hidup secara kronologis seperti ini). Ahli hikmah dengan indah melukiskannya, “Bila kita hidup, Allah akan mati. Sebaliknya, bila kita mati, Allah akan hidup.”

Ketiga, bangunan kesadaran seperti itu bisa diraih jika sabar tetap tergenggam sebagai senjata kita. Sabar adalah konsisten dalam menempuh jalan kebenaran, meskipun penuh risiko. Keempat, kesabaran akan berbuah balasan dari Allah SWT, sebagaimana Rasulullah saw mendapatkan Isra Mi’raj yang di dalamnya terdapat perintah shalat. Dan kelima, shalat menjadi senjata untuk bangkit dan merebut kemenangan. Shalat menjadi alat kaum mukmin untuk memperoleh kekuatan dari Allah SWT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun