Mohon tunggu...
Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nurfatoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kesendirian, Mikraj, dan Shalat

28 Juni 2011   05:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:06 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, meninggalnya dua “pelindung” Rasulullah saw. Mereka adalah Abu Thalib; paman yang menjadi perisai dari serangan musuh, yang selalu melindungi dan menjaga beliau dari intimidasi kaum kafir Quraisy, serta Khadijah; seorang wanita mulia yang bagaikan dinamo yang menggerakkan semangat dari dalam diri Rasulullah SAW; Khadijah adalah tempat Rasulullah saw berbagi suka dan duka.

Meninggalnya Abu Thalib sangat berpengaruh pada Rasulullah saw, baik sebagai pribadi, kemenakannya, maupun dalam kedudukan beliau sebagai pembawa dan penyebar ajaran Islam. Hal ini bisa dipahami dengan melihat posisi Abu Thalib dalam kancah kehidupan dan perjuangan Rasulullah saw. Abu Thalib adalah semacam perisai bagi Rasulullah saw dari serangan musuh dari luar. Abu Thalib adalah penjaga keamanan dan keselamatan Rasulullah saw.

Memang—meminjam H. Fuad Hasyem—sepintas Abu Thalib telah melakukan sesuatu yang aneh. Ia membiarkan Rasulullah saw membangun masyarakat baru yang bakal menelan masyarakatnya sendiri. Abu Thalib telah membiarkan Islam tumbuh sambil pelan-pelan ia lenyap di bawah bayang-bayang ajaran tahuid yang dibawa Rasulullah saw. Dengan kata lain, Abu Thalib telah melakukan sebuah paradoks: melindungi Islam yang nantinya akan melenyapkan sistem ia sendiri.

Tetapi itulah Abu Thalib. Ia tidak punya pilihan lain. Ia tak kuasa membendung ajaran Islam; tak kuasa menghadapi Rasulullah saw, meskipun berkali-kali ia coba. Berkali-kali Abu Thalib dibujuk dan diintimidasi oleh kaum kafir Quraisy untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw; namun terbukti ia tidak mampu melakukannya pada Rasulullah saw. Ini misalnya bisa kita lihat dari salah satu episode dilematis yang dialami Abu Thalib, seperti dikutip Muhammad H. Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (Litera AntarNusa, 2002): Suatu saat Quraisy meminta ketegasan Abu Thalib, “Abu Thalib, engkau sebagai orang yang terhormat, terpandang di kalangan kami. Kami telah meminta supaya menghentikan kemenakanmu itu, tetapi tidak juga kau lakukan. Kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek-moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita dan mencela berhala-berhala kita—sebelum kau suruh dia diam atau sama-sama kita lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa.”

Mendapat intimidasi semacam ini Abu Thalib berupaya untuk membujuk Rasulullah saw, “Jagalah aku, begitu juga dirimu. Jangan aku dibebani hal-hal yang tak dapat kupikul.” Pernyataan yang menunjukkan keraguan sekaligus kepasrahan Abu Thalib terhadap tuntutan kaummnya dan membiarkan Rasulullah saw diadili oleh kaum kafir Quraisy. Tetapi mendapati Rasulullah saw tetap tegar dengan kebenaran yang dibawanya—seperti yang terucap dari beliau, “Paman, demi Allah, kalaupun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan meletakkan bulan di tangan kiriku, dengan maksud supaya aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan, biar nanti Allah Yang akan membuktikan kemenangan itu: di tanganku, atau aku binasa karenanya.”

Abu Thalib gemetar dan terpesona mendengar jawaban Rasulullah saw itu. Namun ia bingung antara dua pilihan: menghadapi intimidasi kaumnya dan ketegaran kemenakannya itu. Tiba-tiba ia berkata, “Anakku, katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau bagaimanapun juga!”

Maka Abu Thalib dalam sejarah dikenal sebagai pembela Rasulullah saw. Karena sesungguhnya ia percaya akan kejujuran Rasulullah saw dan yakin akan kebenaran misi yang dibawanya. Tetapi ini mungkin satu misteri sikap Abu Thalib. Dari pendiriannya selama ini, ia mestinya telah memeluk Islam. Kalaupun toh tidak dilakukannya—seperti dilaporkan kebanyakan sejarawan—maka ia bagaikan jadi sasaran tembakan silang: dijauhi para pembesar Quraisy, dikagumi para pengikut Islam; tetapi disesalkan oleh kedua belah pihak.

Nah, kepergian Abu Thalib dalam posisi dan perannya seperti itu membuat Rasulullah saw sangat terpukul, karena ia kini jadi rentan, posisinya lemah, tiada lagi dukungan moril dan kekuatan.

Jika Abu Thalib adalah perisai atas serangan musuh dari luar, maka Khadijah bagaikan dinamo, yang menggerakkan kekuatan dari dalam diri Rasulullah saw.

Khadijah cermin dari sejarah panjang nan berat di awal masa-masa perjuangan Rasulullah saw. Dari seorang janda kaya terkemuka ketika dinikahi Muhammad saw, berubah menjadi seorang ibu tua yang “dimiskinkan” oleh perjuangan suaminya. Ia adalah wanita pemeluk Islam pertama yang tak pernah mencicipi kejayaan yang dibawa oleh suaminya pada dasawarsa kemudian.

Bagi Rasulullah saw, kepergian Khadijah berarti kehampaan. Sebab, Khadijah adalah pelipur ketika kegundahan datang menghadang. Tengoklah misalnya, episode ketika Rasulullah saw pertama kali menerima wahyu, seperti yang dikutip Muhammad H. Haikal: Rasulullah saw kembali dari ber-tahannuth. Jantungnya berdenyut, hatinya berdebar-debar ketakutan. Dijumpainya Khadijah sambil berkata, “Selimuti aku!” Ia segera diselimuti. Tubuhnya menggigil seperti dalam demam. Setelah rasa ketakutan itu berangsur reda, dipandangnya istrinya dengan pandangan mata ingin mendapat kekuatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun