Mohon tunggu...
Mohamad Ikhwanuddin
Mohamad Ikhwanuddin Mohon Tunggu... Administrasi - Anak Kolong

Menulislah, karena tulisanmu adalah karyamu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

HITAM #6 Posko Empat

3 Desember 2020   17:58 Diperbarui: 12 Desember 2020   12:22 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Mohamad Ikhwanuddin

Bagian Enam: POSKO EMPAT

"Dodit...,"panggil Wahyu dari belakang.

Dodit berhenti seketika dari langkahnya dan menyandarkan tubuhnya pada pohon besar yang ada disebelah karena beban tas carrier yang berat. Sambil mengatur nafas dan menengok ke arah Wahyu yang berjarak sekitar 10 meter dibelakangnya.

"Ada apa Yu", jawab Dodit sambil melemaskan tangannya ke depan.

"Rombongan 1 dan 2 sudah jauh di depan, sedangkan rombongan 3 yang kita pimpin masih ada di belakang", terlihat beberapa laki-laki dan perempuan masih bersusah payah berjalan dengan hati-hati.

Sudah bukan rahasia umum lagi bagi para pendaki bahwa jalur pendakian dari Cibodas, jarak antara posko 3 ke posko 4 lumayan terjal dan jauh. Untuk para pendaki baru atau pendaki yang sudah lama tidak naik gunung, jalur ini sangat melelahkan.

"betul Yu...", jawab Dodit.

"bagaimana mulai sekarang lo aja yang pimpin rombongan 3 Dit...!".

"aku nanti nyusul ..., kebetulan Asih kelihatannya kelelahan dan kakinya kram",

"hem...hari juga mulai sore dan berkabut",

"apalagi sedikit mendung dan hujan rintik-rintik sudah mulai turun",

"kasihan teman-teman rombongan 3 kalau hanya menunggu aku dan Asih", 

"kalau tidak memungkinkan aku dan Asih mendirikan tenda di posko 4, pagi-pagi lanjut ke atas, ketemu di Alun-alun Surya Kencana", kata Wahyu dengan nada perintah.

"nggak papa aku tinggal Yu..," jawab Dodit.

"nyantai aja..., gpp..., nanti Asih aku yang urus".

Dodit memandangku dan Asih secara bergantian

Oke dech kalau gitu....".

"Asih..., aku duluan yaa...", teriak Dodit. Kebetulan Asih masih bersandar di pohon tidak jauh tempatku ngobrol.

Asih hanya melambaikan tangan saja sambil tersenyum.

Dodit memberi komando kepada teman-temannya yang lain agar segera melanjutkan perjalanannya kembali. 

"Aku duluan Wahyu, Asih, sampai ketemu besok di Alun-alun Surya Kencana", kata mereka bergantian.

"oke", jawabku. 

Sedangkan Asih hanya tersenyum sambil menahan sakit.

Wahyu mendekati Asih, "masih sakit?",

"Iya...", jawab asih dengan mempelihatkan pergelangan kaki kirinya.

"aku urut sebentar", izin Wahyu dengan mengurut pergelangan kaki kiri yang kram secara berlahan.

"kram ini penyebabnya karena gangguan sirkulasi darah ke tungkai karena cedera dan juga karena kamu jarang olah raga". 

"Bisa juga terjadi karena kurang pemanasan atau pengaruh udara dingin", Wahyu menjelaskan seperti seorang guru menerangan kepada muridnya.

"iya...", jawab Asih singkat. 

setelah istirahat tiga puluh menit dan pergelangan kaki Asih sudah mulai membaik, kami melanjutkan perjalanan ke posko 4. Akhirnya..., dengan bersusah payah Wahyu dan Asih sampai juga di posko 4 dan mendirikan tenda. 

***

Hari mulai beranjak malam. Hawa dingin sudah terasa menusuk kulit. Kabut dan hujanpun masih terasa semakin lebat.

 "Wahyu...', panggil Asih dengan wajah cemas.

"mereka mencari kita nggak?".

"..., dan tahu keberadaan kita sekarang?".

"insyaallah mereka tahu, tadi aku sudah sampaikan Dodit, kalau tidak memungkinkan kita akan mendirikan tenda dan bermalam di pos 4, besok pagi pasti beberapa orang turun mencari kita di sini", jawab Wahyu.

"Aku sudah empat kali naik gunung ini, dan pernah mengalami kejadian seperti sekarang, tertinggal",

"Karena hari sudah larut malam, kabut dan hujan sudah turun, sangat berisiko kalau tetap melanjutkan perjalanan",

"berbahaya karena jalan sangat licin dan gelap".

mendengar penjelasan tersebut, kecemasan Asih berangsur-angsur hilang. Kemudian Asih mengambil tumbler dari tas carriernya.

"Kopi Wahyu...," Asih menyodorkan tumbler.

diambilnya tumbler tersebut dan langsung di teguknya

"terima kasih", kata wahyu.

"gak nyangka kita sudah semester akhir, tahun ini insyaallah kita lulus", kata Asih

"Iya", jawab Wahyu.

"...dan ternyata hubungan kita juga sudah empat tahun", jawab Asih sambil memegang tangan Wahyu.

"terima kasih sudah menjagaku selama ini", jawab Asih dengan suara lirih.

kemudian kepala Asih di rebahkan pada bahu Wahyu.

Suasana kembali hening...

Wahyu bagi Asih adalah segalanya, lelaki yang dikenalnya saat pertama kali mengikuti orientasi kampus. Pintar, sederhana, baik hati, sabar dan perhatian meskipun tidak romantis. Selama jadian denganku dia juga tidak pernah melakukan hal-hal yang diluar batas, dia sangat menjagaku. Karena terlalu menjagaku, sampai-sampai Wahyu tidak pernah memegang tanganku. Kadang aku yang minta di gandeng wahyu saat menyeberang jalan, itupun setelah sampai diseberang jalan dia langsung melepaskan tanganku. Jarang ada laki-laki saat ini seperti dia. Aku sangat mempercayainya. 

"kok senyum sendiri Asih...?.

mendengar suara Wahyu, buyar sudah lamunanku.

segera kutegakkan kepalaku dari rebahan di bahu Wahyu.

"...emm..., enggak senyum sendiri kok", jawab Asih dengan pipi yang memerah.

"hahaha..., aku tahu kamu asih, gak usah bohong".

"iya iya..., kalau aku bohong pasti ketahuan", Asih sambil tersenyum.

"sebenarnya aku mau nanya ke kamu Yu, kenapa kamu kalau sama aku itu sopan banget, gak berani ngapa-ngapain ke aku"?, tanya asih sambil malu-malu.

"hahaha...", Wahyu tertawa.

"Asih...Asih...", Wahyu tersenyum sambil melihat Asih.

"ihh.., orang nanya bener kok", kata Asih sambil mencubit perut Wahyu,

"ampun...ampun", Wahyu bersimpuh di depan Asih sambil menghiba.

Asih tambah cemberut, sedangkan wahyu masih bersujud sambil menahan tawa.

Setelah puas tertawa, Wahyu mengambil posisi duduk berhadapan dengan Asih. 

Wahyu memegang kedua tangan Asih sambil menatapnya dengan sungguh-sungguh.

"aku tidak bisa seperti kebanyakan laki-laki seumurku",

"aku mencintaimu karena dari hati dan akan selalu menjagamu sampai saatnya nanti aku ingin menjadi Imam mu",

"dan agama kita juga melarang untuk berbuat melampaui batas karena kita bukan mahram",

"saatnya tiba nanti, aku janji akan membahagiakanmu...Asih".

Asih langsung memeluk Wahyu dan membisikkan "terima kasih Wahyu, kamu telah menjagaku selama ini".

"Aku bersedia menjadi Makmum mu", kata Asih sambil meneteskan air mata.

Episode Berikutnya: MANG ADE

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun