Tidak dapat dipungkiri bahwa era globalisasi telah mempengaruhi segala sendi kehidupan. Mulai dari gaya hidup, cara berpakaian dan juga nilai-nilai budaya. Seiring berjalannya waktu, banyak sekali tata nilai yang menjadi ciri khas budaya ketimuran kita yang mulai terkikis. Tak terkecuali adab dan sopan santun dalam dunia pendidikan kita.
Tata krama siswa terhadap guru yang zaman dahulu begitu dijunjung tinggi, lama-kelamaan mulai luntur. Tidak jarang kita melihat siswa yang kurang mempunyai rasa hormat terhadap gurunya sendiri. Tentu saja ini menjadi sebuah keprihatinan kita bersama. Guru merupakan orang yang sangat berjasa dalam memberikan pengetahuan, pembentukan mental serta akhlak siswa.
Menurut Prof. Dr. suwito, bahwa sudah menjadi sunnatullah bahwa nasihat guru lebih dipatuhi dari orangtua. Lebih lanjut, menurut beliau dalam bukunya Filsafat Pendidikan Akhlaq, beliau memberikan anjuran agar anak/siswa lebih mencintai pendidik/guru. Kecintaan siswa disamakan kedudukannya dengan kecintaan hamba terhadap Tuhannya.
Tapi karena kecintaan terhadap Tuhan jarang yang mampu, maka ia mendudukkan cinta siswa dengan guru berada di antara cinta terhadap Tuhan dan orangtua (hal. 125). Sikap hormat siswa kepada guru akan membuat guru ridha dan ikhlas dalam memberikan ilmunya. Keridhaan guru itulah yang menjadi salah satu faktor kuat siswa cepat menerima pelajaran dan ilmunya penuh berkah.
Seorang siswa hendaknya tunduk dan patuh pada nasihat guru serta yakin bahwa menaati guru dapat membawa keberkahan. Seperti sebuah ilustrasi bagai seorang pasien yang datang kepada dokter. Kalau penyakitnya mau sembuh, maka ia harus menaati perintah dan saran-saran dokter (M. Alaika Salamulloh, 2008: 123).
Mungkin masih terngiang jelas dalam memori kita, betapa siswa sekolah zaman dahulu masih memegang teguh budaya sopan santun, tata karma terhadap pendidik/guru. Berbicara sopan (kromo inggil jika pakai bahasa jawa), membungkuk bila berjalan melewati guru dan takzim. Bahkan saya pernah melihat foto seorang siswa yang berjalan agak merangkak ketika melewati gurunya, seperti abdi yang menghadap raja di keraton.
Dahulu masih diajarkan Pendidikan Moral Pancasila, bagaimana teori dan praktik berjalan seimbang. Akan tetapi kebiasaan baik untuk menghormati guru yang telah tertanam sejak lama kini lama kelamaan mulai tersisihkan.Â
Siswa zaman sekarang seolah-olah telah banyak yang kehilangan etika kesopanan. Dari tindakan, ucapan dan cara bergaul dengan gurunya layaknya seperti dengan teman sebayanya.
Saya ingat tahun 2013 lalu di Solo ada siswa yang menyerang guru pengawas ulangan dengan pisau cutter hingga sang guru terluka. Hanya karena sang guru dianggap lamban membagikan soal ulangan, siswa tersebut merasa kesal kemudian mendorong badan guru sembari mengeluarkan kata-kata kasar dan menantang sang guru untuk berkelahi.Â
Di Sulawesi Tenggara, siswa  mengancam akan menginjak leher sang guru lantaran sang guru memarahinya karena sering berbuat onar di kelas. Dua contoh di atas tentu membuat kita sebagai guru menjadi miris melihat fenomena tersebut.
Setidaknya ada beberapa hal yang membuat kemunduran tata karma siswa sekarang ini. Pertama, pengaruh modernisasi yang luar biasa derasnya. Perkembangan teknologi dan budaya kurang diimbangi dengan penyaringan yang sesuai.Â
Melalui akses teknologi dan internet yang semakin canggih dan mudah diakses membuat anak-anak bisa dengan leluasa melihat dunia luar dengan budaya barat yang kurang sesuai dengan nilai-nilai kesopanan ketimuran.Â
Dunia hiburan televisi sekarang juga lebih senang memberikan suguhan yang dapat memberikan keuntungan besar tanpa mempedulikan apakah bersifat mendidik atau tidak. Memprihatinkan karena tayangan televisi tidak lepas dari unsur pornografi, kekerasan dan mistik.
Kedua, kurangnya perhatian orangtua terhadap perkembangan sang anak. Apalagi di kota-kota besar, para orangtua lebih lebih banyak menghabiskan waktu untuk berburu rupiah sehingga jarang berkumpul dengan keluarga. Tidak jarang kita sering mendengar kasus broken home karena sang anak tidak mendapat kasih sayang dan ajaran etika dari orangtua yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Selain itu juga bisa disebabkan lingkungan keluarga yang tidak berusaha mengajarkan kebiasaan melakukaan budaya sopan santun. Faktor orangtua dan keluarga sangat berpengaruh terhadap pendidikan karakter siswa.Â
Ketiga, sang siswa berada pada kelas sosial tinggi. Ia menganggap mempunyai derajat lebih tinggi dari guru sehingga merasa bisa berbuat seenaknya sendiri (tidak ngajeni menurut istilah orang Jawa) dan menganggap semuanya berdasar materi. Bisa juga karena orangtua punya jabatan atau pengaruh sehingga merasa bisa dijadikan tameng untuk berbuat semaunya
Pendidikan tentang moral dan akhlaq hendaklah dikuatkan sejak dini supaya mempunyai pondasi yang kuat. Tugas ini tidak hanya menjadi tanggungjawab guru, karena orangtua mempunyai peran yang paling besar karena mereka berinteraksi tiap hari dengan anaknya.Â
Guru yang katanya digugu dan ditiru hendaknya bisa menjadi contoh atau tauladan yang baik. Bertindak yang mencerminkan nilai kesopanan kepada siswa merupakan pembelajaran terbaik yang akan mudah diingat dan ditiru siswa.Â
Akhirnya, saya akhiri tulisan ini dengan menguti pernyataan Dr. Hj Erma Pawitasari, seorang doktor Pendidikan Islam: "Otak manusia tidak hanya berfungsi untuk mengolah informasi kognitif, namun juga nalar dan karakter (akhlaq). Apabila kemampuan nalar dan akhlaq rendah, maka kemanusiaan akan jatuh pada titik nadir".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H