PENDIDIKAN itu penting, entah perspektif apa saja. Jika dari perspektif UU, pendidikan penting sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari perspektif mertua, pendidikan penting sebagai indikator kesejahteraan. Dari perspektif tetangga, pendidikan penting sebagai dasar penghakiman pintar-gobloknya seseorang. Karena penting, wajar pendidikan banyak diburu orang.
Konon katanya, ada rumus ekonomi yang berbunyi: tinggi permintaan berjalan selaras dengan nilai harga. Dari rumus itu, sejalan dengan kondisi semakin tinggi peminat bangku kuliah, berdampak terhadap ongkos yang harus dikeluarkan. Benar saja, tak jarang seliweran postingan yang mengkritik tingginya biaya untuk menempuh pendidikan, termasuk perkuliahan.Â
Sayangnya, rumus itu tak melanggeng harmonis bersama rumus distribusi upah. Upah tumbuh dan berjalan pelan seperti kura-kura saban tahun. Jika mengacu UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, penetapan upah minimum menggunakan formula yang mempertimbangkan berbagai variabel.Â
Tiga variabel pokok yang menjadi pertimbangan penentuan upah, diantaranya adalah inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.Â
Indeks tersebut sebagaimana dimaksud ditentukan Dewan Pengupahan Daerah dengan mempertimbangkan tingkat penyerapan tenaga kerja dan rata-rata atau median upah.
Selain itu, hal yang menjadi pertimbangan lainnya faktor-faktor yang relevan dengan kondisi ketenagakerjaanÂ
Menurut Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, dengan ketiga variabel tersebut, kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan pada suatu daerah telah terakomodir secara seimbang (Kompas, 13 November 2023).
Dalam berbagai variabel penentuan upah itu, saya masih mencari-cari faktor kenaikan ongkos pendidikan sebagai bahan pertimbangan kenaikan upah tiap tahunnya, atau setidaknya mencari korelasi di dalam regulasi yang mewajibkan pertimbangan ongkos pendidikan sebagai penentuan kadar upah. Tapi saya seperti tidak menemukannya atau saya yang ndablek.
Para peserta didik, termasuk mahasiswa, akhirnya dipaksa terbiasa gigit jari setiap bulan melihat nominal ongkos pendidikan yang relatif mencekik. Untuk terus melanjutkan pendidikan, mahasiswa misalnya, harus mengorbankan banyak hal. Tak terkecuali kebutuhan dasar seperti masalah perut--yang dulu pasti saya alami.Â
Musti disayangkan, jika sudah banyak pengorbanan, tapi pendidikan masih sulit dijangkau. Imbasnya hanya dua, antara tidak mengenyam pendidikan atau putus di tengah jalan.Â
Menurut laporan statistik Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa pada tahun 2020, sebanyak 601.333 mahasiswa di Indonesia mengalami putus kuliah.Sebanyak 23,5 persen diantaranya tercatat drop out. (Databoks, 4 November 2021).
Meski tingkat putus kuliah di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2022, yakni menjadi 4,02 persen, faktor utama putus kuliah tetap saja berkutat pada kendala finansial.Â
Biaya kuliah sering menjadi faktor utama yang mempengaruhi keputusan mahasiswa untuk putus kuliah. Mahasiswa yang menghadapi kesulitan finansial mungkin tidak dapat melanjutkan studi karena tidak mampu membayar biaya kuliah, buku, dan kebutuhan sehari-hari.
Kita ambil sampel salah satu kampus. Berdasarkan hasil survei dari media Lini Kampus Universitas Negeri Semarang pada tahun 2021, tidak sedikit mahasiswa yang mengajukan keringanan UKT (Uang Kuliah Tunggal). Alasan utama permintaan keringanan pembayaran UKT adalah karena kesulitan ekonomi dengan persentase 59,1 persen.Â
Masih dari laporan Lini Kampus (2021), kendala pembayaran karena kesulitan ekonomi, dan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi oleh keluarga dan tidak sedikit mahasiswa yang membayar UKT sendiri tanpa bantuan orang tua. Keluhan semacam ini ibarat banjir bandang yang merata. Keluhan kuliah mahal yang dialami sebagian besar mahasiswa, tak peduli kampus negeri atau swasta.Â
Jika kembali menilik kendala biaya, muaranya tentu saja balik lagi masalah upah. Ongkos pendidikan yang terus melangit, berbanding jauh dengan upah yang diterima.Â
Lho, tapi kan tidak semua orangtua itu pekerja yang mendapat upah?
 Iya, betul. Tapi katakanlah orangtua yang menghidupi keluarga dengan menjadi pengusaha. Pendapatannya tentu lebih abstrak ketimbang pekerja. Kadang tinggi sekali, kadang minus sekali.Â
Sementara pekerja yang jelas penghasilannya--setidaknya secara periodik--saja terkadang engap jika membiayai pendidikan. Sebut saja serabutan. Biarpun belum tentu sebulan sekali, tapi dia sudah seharusnya mendapat upah atas setiap jasanya.Â
Semasa kuliah, saya pernah mendengar sepatah kalimat. Kurang lebih begini bunyinya:Â
Dulu buruh hanya dibayar pakai makan, sekarang buruh dibayar cuma cukup untuk makan.
Saya tertarik dari potongan 'cuma cukup untuk makan'. Pasalnya kutipan itu agaknya masih relevan hingga sekarang saya sudah menjadi orangtua. Sehingga potret orangtua yang sampai harus menjual aset untuk menebus pendidikan anak, seolah lumrah. Demikian menunjukkan bahwa pendidikan tak semudah itu dijangkau setiap kalangan.Â
Agaknya, negara perlu memberi perhatian ekstra terkait masalah ini. Kita tidak tahu, pihak kampus bisa saja enggan mempertimbangkan nominal upah minimum sebelum mematok biaya kuliah bulanan. Jika terus begitu, tidak menutup kemungkinan pendidikan bakal menjadi barang ekslusif suatu saat kelak. Sementara potensi anak bangsa harus terkubur dan tak bisa punya banyak pilihan selain profesi "apa aja yang penting halal". Sedih, bukan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H