Mohon tunggu...
M Zein Rahmatullah
M Zein Rahmatullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di Kompas Group

Kadang menulis, kadang jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengilhami Anak Selayak Gelas Kosong

28 April 2024   23:08 Diperbarui: 29 April 2024   00:20 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak. (Sumber: pixabay.com) 

Kemudian tiba saat akhir jenjang kuliah. Fulan memasuki masa-masa wisuda. Hebatnya, Fulan termasuk dalam 10 mahasiswa dengan nilai terbaik dari seluruh angkatan yang diwisuda dengan predikat cumlaude. Orangtua Fulan? Wah, sudah bukan kepalang girangnya.

Dipajang di depan umum, disuguhi tepuk tangan dan pujian. Semua orang mudah saja menghakimi: wajar saja dia mendapat nilai terbaik. Lha, wong, bapak ibunya saja dokter.

Lalu peristiwa menyakitkan terjadi. Keesokan setelah Fulan wisuda, persis satu hari umur kegirangan kedua orangtuanya, Fulan didapati gantung diri di kamarnya. Tubuhnya kaku dan biru. Ibunya yang tak kuasa melihat, sekejap lunglai dan pingsan.

Meja belajarnya, ditemukan sepucuk surat. Dimana secara tertulis Fulan merasa sudah cukup. Dalam suratnya, Fulan merasa impiannya di kebiri sedari dini. Hak eksplorasi diri dibatasi. Semasa hidupnya, Ia merasa dirinya hanya sebuah robot. Patuh dan dipacu siang-malam demi menuruti kemauan majikan. Tiba saatnya, Ia sudah memenuhi segala kemauan orangtuanya, ia memilih pergi. Karena menurut Fulan, bagi orangtuanya, sebatas nilai dan pengakuan. Terlebih pada dunia di luar kesukaannya.

Fulan tiada, orangtuanya berbalik sedih sejadinya.

Sepenggal cerita tersebut bisa memberi gambaran umum. Betapa anak seringkali karena hanya dianggap gelas kosong, kemudian diisi dengan brutal oleh orangtuanya. Imajinasinya diperkosa oleh birahi impian orangtuanya sendiri.

Berangkat dari cerita Fulan, apakah kita perlu menyalahi orangtuanya? Bisa perlu, bisa tidak. Tergantung bagaimana kita menyusun stigma relasi anak dengan orangtua.

Ada hal yang harus diperhatikan. Anak bukan benda padat yang bisa dipahat lalu awet. Orangtua memang sepatutnya mengisi gelasnya dengan benar, tapi hal penting lain yang harus dipahami: bagaimana bentuk gelas tersebut. Berapa banyak kapasitasnya. Bagaimana karakternya.

Ini penting. Sebab kita bukan orang bodoh yang akan menuang air ke gelas sampai tumpah atau menuang air mendidih ke gelas plastik.

Jadi, jauh sebelum kita terlalu melangit untuk 'menuang' isi ke anak, ada patutnya kita pahami bagaimana karakter anak. Karena pada hakikatnya, orangtua bukan melahirkan bahan mentah untuk dijadikan gelas. Melainkan gelas yang utuh dan sudah berbentuk untuk selanjutnya kita isi.

Jika memang Anda melahirkan sesosok anak dengan karakter seperti gelas alumunium, wajar saja jika dituang air panas. Tentu ia akan berguna bagi banyak orang disekitarnya. Tapi semisal Anda menuang air panas ke gelas plastik, harapan melayang, gelaspun bukan mustahil akan meleleh. Betul, betul, betul?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun