Mohon tunggu...
M Zein Rahmatullah
M Zein Rahmatullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di Kompas Group

Kadang menulis, kadang jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengilhami Anak Selayak Gelas Kosong

28 April 2024   23:08 Diperbarui: 29 April 2024   00:20 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak. (Sumber: pixabay.com) 

BUKAN hal asing mendengar nasihat agar para orangtua memperlakukan anak-anak mereka layaknya gelas yang kosong. Secara umum, nasihat ini bisa saja benar adanya. Bayi yang baru lahir datang ke dunia tanpa pengetahuan atau pengalaman apa pun. Kita tidak perlu mengajukan klarifikasi kepada para ahli untuk membuktikannya. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan lingkungan dan budaya di sekitar mereka yang memberikan contoh.

Namun, mari kita perluas pandangan. Jika anak adalah "gelas kosong," maka orangtua adalah tangan yang memegang gelas tersebut. Tanggung jawab orangtua bukan hanya mengisi gelas dengan pengetahuan dan pengalaman, tetapi juga membentuk karakter dan moral anak. Seperti seorang seniman yang mengukir patung dari batu, orangtua memiliki peran penting dalam membentuk anak-anak menjadi individu yang berbudi luhur, berempati, dan berdaya saing.

Ibu sering digadang-gadang sebagai sekolah pertama bagi anak-anak. Dalam pelukannya, anak-anak belajar tentang cinta, kehangatan, dan keamanan. Ibu mengajarkan nilai-nilai dasar seperti kesabaran, pengertian, dan kerja keras. Dia adalah penerang pertama dalam kehidupan anak-anak, membimbing mereka melalui setiap langkah pertumbuhan.

Sehingga para orangtua dituntut melulu selektif untuk memberi pendidikan. Sudah barang tentu agar si anak tidak salah jalan. Baik itu dari segi pergaulan, moral pun agama. Tidak salah memang. Namun dalam konteks ini, kita tidak mengikutsertakan orangtua gila, alias orangtua yang memang peduli setan dengan buah hatinya sendiri. Jadi, lebih baik lupakan orangtua macam itu. Suruh pergi ke ujung dunia saja, seperti kata Gita Gutawa.

Lanjut.

Perlu diakui, kita seperti tertampar realita. Kenyataan yang beredar sejauh ini merobek lebar kelopak mata. Ada kasus anak menggugat orangtuanya sendiri, mempermalukan hingga membunuh orangtuanya sendiri. Seperti berita viral belakangan; seorang anak tega memukul Ibunya hingga babak belur hanya karena perkara tak dibelikan motor. Bayangkan saja. Ini baru dalam lingkaran dua pihak, yakni orangtua dan anak. Belum sampai pada anak dan dunia luar. Baru membayangkan dari lingkaran terdalam saja sudah membuat mayoritas kita bergidik.

Beragam perspektif lahir. Sebagian menyalahi anaknya yang tidak tahu terimakasih, sebagian menyalahi orangtua salah didik, sebagian menyalahi lingkungan dan menyalahi lain-lainnya. Lalu, patutkah kita menghakimi siapa yang salah? Oh, bisa jadi patut. Karena ini perkara moral. Bukan tidak mungkin akan menjadi perkara pidana semisal si anak tadi membunuh orangtuanya sendiri.

Kendati demikian, aksi saling menyalahkan semacam itu akan menjadi sebuah dilema. Karena bagaimanapun, karakter seorang anak tak lebih merupakan sebuah produk. Produk dari contoh dan pengalaman diri bagaimana si anak tumbuh kembang. Dan dimana orangtua tak mungkin lepas dalam sepakterjangnya.

Kembali ke ilustrasi gelas kosong. Baik yang sudah menjadi orangtua atau belum, sudah pasti sebagian kita sepakat, si gelas kosong ini harus diisi dengan muatan edukasi yang berkualitas. Sudah pasti demi kebanggaan. Tak cuma bagi sang rahim, tapi juga lingkungan sekitar.

Sampai hari ini kita bisa melihat, mendengar dan meraba. Demi si anak dapat terisi dengan sempurna, tak ayal para orangtua rela merogoh kocek dalam-dalam demi menempatkan anaknya di sekolah favorit. Sekolah terbaik yang dituding mampu membentuk anaknya menjadi anak yang cerdas dan pintar.

Lalu, apakah bisa terwujud? Bisa. Tapi tentu tidak semudah itu, Ferguso!

Sekolah favorit mungkin bisa jadi faktor anak akan berkembang sesuai harapan. Menjadi pintar dengan nilai terbaik sejauh ini yang dianggap sebagai tujuan. Hingga pada akhirnya, sekolah tak ubahnya arena duel berbasis mentoring. Alibinya, memacu insting anak untuk jadi pemenang. Bagus saja. Tapi sayang tidak semua tenaga didik akan bijak menyikapi itu. Kenapa? Karena bukan tak mungkin bagi anak dengan langganan nilai merah akan jadi contoh objek untuk tak diikuti oleh gurunya. Bahkan kalau perlu tak usah ditemani. Bukankah itu bisa menyisakan trauma?

Sudah mulai menarik? Belum? Baik.

Begini, teman-teman. Saya bukan pakar,tapi saya belajar ini dari orangtua saya. Tentunya saya juga Anda, yang bisa dibilang sebuah produk. Jauh sebelum mendidik anak, ada hal yang perlu diperhatikan. Sebab edukasi pada anak tak bisa jika berhenti pada batas hak dan kewajiban belaka.

Maksudnya, gimana, Kak?

Batas hak dan kewajiban ini seperti ketika anak diberi kewajiban untuk belajar untuk mendapat hak. Si anak dituntut merapal rumus dan teori demi mengejar nilai yang mantap. Kelak si anak mendapat haknya berupa hadiah. Bisa juga ketika sudah bisa menyelesaikan satu pekerjaan dengan baik, sang anak akan mendapat ganjaran positif. Jika hanya demikian, lalu apa bedanya orangtua dengan instruktur hewan.

Nah, kita boleh saja menempatkan sesosok anak layaknya gelas kosong. Kita selaku orangtua akan habis-habisan menciptakan formula paling gahar yang akan dituang dalam gelas tersebut. Hanya saja, jangan sampai menjadi kebablasan dan cenderung perfeksionis.

Ada satu kisah nyata menarik yang bisa jadi ajang renungan. Ceritanya datang dari seorang sarjana jebolan kampus favorit di Yogyakarta. 

Sebut saja Fulan, namanya. Fulan lahir dalam keluarga yang dimana ayah dan ibunya merupakan dokter. Satu dokter spesialis, satu dokter umum. Kedua orangtuanya berpacaran sejak bangku kuliah dan meneruskan sampai ranjang rumah tangga. Hitungan tahun menikah, lahirlah Fulan.

Singkat cerita, Fulan dikenalkan dengan teori dasar kedokteran sejak kecil. Tak hanya itu. Berikut cara hidup serba higienis, Fulan alami. Kehidupan berlanjut hingga Fulan memasuki jenjang perkuliahan. Fulan diminta masuk ke fakultas kedokteran. Dengan harapan bisa meneruskan cita-cita orangtuanya membangun rumahsakit dan menjadi semacam dokter utama.

Fulan hanya mengiyakan. Tak banyak berontak.

Kemudian tiba saat akhir jenjang kuliah. Fulan memasuki masa-masa wisuda. Hebatnya, Fulan termasuk dalam 10 mahasiswa dengan nilai terbaik dari seluruh angkatan yang diwisuda dengan predikat cumlaude. Orangtua Fulan? Wah, sudah bukan kepalang girangnya.

Dipajang di depan umum, disuguhi tepuk tangan dan pujian. Semua orang mudah saja menghakimi: wajar saja dia mendapat nilai terbaik. Lha, wong, bapak ibunya saja dokter.

Lalu peristiwa menyakitkan terjadi. Keesokan setelah Fulan wisuda, persis satu hari umur kegirangan kedua orangtuanya, Fulan didapati gantung diri di kamarnya. Tubuhnya kaku dan biru. Ibunya yang tak kuasa melihat, sekejap lunglai dan pingsan.

Meja belajarnya, ditemukan sepucuk surat. Dimana secara tertulis Fulan merasa sudah cukup. Dalam suratnya, Fulan merasa impiannya di kebiri sedari dini. Hak eksplorasi diri dibatasi. Semasa hidupnya, Ia merasa dirinya hanya sebuah robot. Patuh dan dipacu siang-malam demi menuruti kemauan majikan. Tiba saatnya, Ia sudah memenuhi segala kemauan orangtuanya, ia memilih pergi. Karena menurut Fulan, bagi orangtuanya, sebatas nilai dan pengakuan. Terlebih pada dunia di luar kesukaannya.

Fulan tiada, orangtuanya berbalik sedih sejadinya.

Sepenggal cerita tersebut bisa memberi gambaran umum. Betapa anak seringkali karena hanya dianggap gelas kosong, kemudian diisi dengan brutal oleh orangtuanya. Imajinasinya diperkosa oleh birahi impian orangtuanya sendiri.

Berangkat dari cerita Fulan, apakah kita perlu menyalahi orangtuanya? Bisa perlu, bisa tidak. Tergantung bagaimana kita menyusun stigma relasi anak dengan orangtua.

Ada hal yang harus diperhatikan. Anak bukan benda padat yang bisa dipahat lalu awet. Orangtua memang sepatutnya mengisi gelasnya dengan benar, tapi hal penting lain yang harus dipahami: bagaimana bentuk gelas tersebut. Berapa banyak kapasitasnya. Bagaimana karakternya.

Ini penting. Sebab kita bukan orang bodoh yang akan menuang air ke gelas sampai tumpah atau menuang air mendidih ke gelas plastik.

Jadi, jauh sebelum kita terlalu melangit untuk 'menuang' isi ke anak, ada patutnya kita pahami bagaimana karakter anak. Karena pada hakikatnya, orangtua bukan melahirkan bahan mentah untuk dijadikan gelas. Melainkan gelas yang utuh dan sudah berbentuk untuk selanjutnya kita isi.

Jika memang Anda melahirkan sesosok anak dengan karakter seperti gelas alumunium, wajar saja jika dituang air panas. Tentu ia akan berguna bagi banyak orang disekitarnya. Tapi semisal Anda menuang air panas ke gelas plastik, harapan melayang, gelaspun bukan mustahil akan meleleh. Betul, betul, betul?

Nah, buat Ayah dan Bunda di rumah, sebelum terlalu egois menentukan formulanya, kenali dulu wadahnya. Karena bagaimanapun, kita tak mungkin menyalahkan wadahnya yang rusak karena kita bebal merasa formulanya sudah benar. Itu hanya akan menjadi tabiat setan. Dalam taraf depresi, orangtua justru menyalahi si anak atau gelas kosong.

****

Disclaimer: artikel ini pernah saya terbitkan di akun Medium saya pada 23 Februari 2020, diolah kembali dengan beberapa penyuntingan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun