Mohon tunggu...
M Zein Rahmatullah
M Zein Rahmatullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di Kompas Group

Kadang menulis, kadang jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mengilhami Anak Selayak Gelas Kosong

28 April 2024   23:08 Diperbarui: 29 April 2024   00:20 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak. (Sumber: pixabay.com) 

Lalu, apakah bisa terwujud? Bisa. Tapi tentu tidak semudah itu, Ferguso!

Sekolah favorit mungkin bisa jadi faktor anak akan berkembang sesuai harapan. Menjadi pintar dengan nilai terbaik sejauh ini yang dianggap sebagai tujuan. Hingga pada akhirnya, sekolah tak ubahnya arena duel berbasis mentoring. Alibinya, memacu insting anak untuk jadi pemenang. Bagus saja. Tapi sayang tidak semua tenaga didik akan bijak menyikapi itu. Kenapa? Karena bukan tak mungkin bagi anak dengan langganan nilai merah akan jadi contoh objek untuk tak diikuti oleh gurunya. Bahkan kalau perlu tak usah ditemani. Bukankah itu bisa menyisakan trauma?

Sudah mulai menarik? Belum? Baik.

Begini, teman-teman. Saya bukan pakar,tapi saya belajar ini dari orangtua saya. Tentunya saya juga Anda, yang bisa dibilang sebuah produk. Jauh sebelum mendidik anak, ada hal yang perlu diperhatikan. Sebab edukasi pada anak tak bisa jika berhenti pada batas hak dan kewajiban belaka.

Maksudnya, gimana, Kak?

Batas hak dan kewajiban ini seperti ketika anak diberi kewajiban untuk belajar untuk mendapat hak. Si anak dituntut merapal rumus dan teori demi mengejar nilai yang mantap. Kelak si anak mendapat haknya berupa hadiah. Bisa juga ketika sudah bisa menyelesaikan satu pekerjaan dengan baik, sang anak akan mendapat ganjaran positif. Jika hanya demikian, lalu apa bedanya orangtua dengan instruktur hewan.

Nah, kita boleh saja menempatkan sesosok anak layaknya gelas kosong. Kita selaku orangtua akan habis-habisan menciptakan formula paling gahar yang akan dituang dalam gelas tersebut. Hanya saja, jangan sampai menjadi kebablasan dan cenderung perfeksionis.

Ada satu kisah nyata menarik yang bisa jadi ajang renungan. Ceritanya datang dari seorang sarjana jebolan kampus favorit di Yogyakarta. 

Sebut saja Fulan, namanya. Fulan lahir dalam keluarga yang dimana ayah dan ibunya merupakan dokter. Satu dokter spesialis, satu dokter umum. Kedua orangtuanya berpacaran sejak bangku kuliah dan meneruskan sampai ranjang rumah tangga. Hitungan tahun menikah, lahirlah Fulan.

Singkat cerita, Fulan dikenalkan dengan teori dasar kedokteran sejak kecil. Tak hanya itu. Berikut cara hidup serba higienis, Fulan alami. Kehidupan berlanjut hingga Fulan memasuki jenjang perkuliahan. Fulan diminta masuk ke fakultas kedokteran. Dengan harapan bisa meneruskan cita-cita orangtuanya membangun rumahsakit dan menjadi semacam dokter utama.

Fulan hanya mengiyakan. Tak banyak berontak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun