Mohon tunggu...
Mohamad Firman Alviansyah
Mohamad Firman Alviansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Airlangga

Nama saya mohamad firman alviansyah. Dengan hobi menulis yang saya miliki, saya memiliki keinginan untuk mempublikasikan artikel, jurnal, dan penelitian di beberapa media massa. Saya tertarik dengan isu isu politik terkini yang menurut saya perlu untuk ditanggapi agar sebagai mahasiswa kita tahu arah sistem pemerintah yang berjalan di panggung politik indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menanggapi Stigma Masyarakat mengenai Mahalnya Biaya Perguruan Tinggi

15 Juni 2024   20:30 Diperbarui: 15 Juni 2024   20:40 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Pendidikan tinggi adalah Tertiary Education jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK wajib masuk perguruan tinggi," ucap salah satu pejabat Kemendikbudristek. Pernyataan ini tentu perlu dipertanyakan, terutama jika kita mempertimbangkan bahwa banyak lowongan kerja mensyaratkan pendidikan minimal setara sarjana. Hal ini semakin memperburuk stigma masyarakat mengenai tingginya biaya perguruan tinggi. Banyak sekali masyarakat yang masih menganggap bahwa kuliah hanya untuk mereka dengan kemampuan ekonomi tinggi.

Realitas Biaya Pendidikan Tinggi

Tugas pemerintah yang seharusnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, namun kenyataannya justru mereka membuat kontroversial terkait biaya pendidikan terutama pada perguruan tinggi. Biaya perguruan tinggi di Indonesia memang menjadi tantangan besar bagi banyak keluarga. Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus meningkat menjadi salah satu penyebab utama. Mahasiswa dan orang tua seringkali mengeluhkan kenaikan biaya ini, yang dianggap tidak sebanding dengan pendapatan sebagian besar masyarakat.

Menurut data Kemendagri, jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi masih sangat rendah dibandingkan total populasi. Tingkat D1 dan D2 hanya sebesar 1,11 juta orang atau 0,4% dari total penduduk, D3 sebanyak 3,56 juta orang atau 1,28%, dan S1 sebanyak 12,44 juta orang atau 4,47%. Adapun tingkat S2 sebanyak 882.113 orang atau 0,31%, dan S3 hanya 63.315 orang atau 0,02%.

Dampak Stigma Sosial

Stigma bahwa kuliah hanya untuk orang kaya menciptakan kesenjangan sosial dan menghambat potensi banyak individu yang sebenarnya mampu secara akademis namun terkendala biaya. Hal ini dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia pada masa depan. Negara yang ingin maju harus memastikan akses pendidikan tinggi bagi semua warga tanpa memandang status ekonomi.

Masyarakat Indonesia masih memandang pendidikan tinggi sebagai sesuatu yang eksklusif, bahkan lebih parahnya lagi mereka menganggap bahwa kuliah adalah suatu privilege. Artinya, kuliah hanya adalah suatu hal yang istimewa atau hanya orang orang tertentu saja yang bisa merasakannya. Banyak orang tua yang ragu untuk mengirim anaknya ke perguruan tinggi karena khawatir tidak mampu menanggung biaya. Ketakutan ini diperparah dengan minimnya informasi mengenai beasiswa dan bantuan finansial yang sebenarnya tersedia.

Pendidikan Tinggi sebagai Investasi

Pendidikan tinggi merupakan investasi jangka panjang yang dapat memberikan banyak manfaat. Dalam Laporan Pembangunan Dunia (2019) dari Bank Dunia, disebutkan bahwa pendidikan tinggi penting dan relevan di tengah persaingan tenaga kerja global. Pendidikan tinggi juga menjadi salah satu cara untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan tinggi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Studi Goastellec berjudul "Higher Education, Welfare States, and Inequalities" (2017) menemukan bahwa pendidikan tinggi terbukti bisa menaikkan kesejahteraan hidup seseorang. Selain itu, riset "Pengaruh Pendidikan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat" (2021) dari Sahbuki Ritonga menunjukkan bahwa tingginya angka masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi dapat meningkatkan pendapatan ekonomi. Karena mereka dapat mengeksplorasi hal yang mereka pelajari, serta mudah untuk mendapat pekerjaan yang layak karena kuliah mempermudah akses seseorang dalam meraih pekerjaan.

Solusi untuk Mengatasi Stigma

Untuk mengatasi stigma bahwa kuliah hanya untuk orang kaya, diperlukan kebijakan yang berpihak kepada masyarakat luas. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain :

  • Subsidi Pendidikan : Pemberian subsidi pendidikan bagi mahasiswa berprestasi atau yang kurang mampu. Subsidi ini bisa berupa pengurangan biaya kuliah atau bantuan finansial langsung.
  • Beasiswa : Memperbanyak program beasiswa, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, yang dapat diakses oleh lebih banyak mahasiswa. Beasiswa ini harus dipromosikan secara luas agar informasi mengenai beasiswa lebih mudah diakses.
  • Pinjaman Pendidikan dengan Bunga Rendah : Menyediakan skema pinjaman pendidikan dengan bunga rendah yang mudah diakses oleh mahasiswa. Pinjaman ini sebaiknya memiliki sistem pembayaran yang fleksibel, misalnya mulai dibayar setelah mahasiswa bekerja.
  • Kerjasama dengan Industri : Mendorong kerjasama antara universitas dengan industri untuk menyediakan program magang yang dapat mengurangi beban biaya kuliah. Kerjasama ini juga dapat membuka peluang kerja bagi mahasiswa setelah lulus.
  • Kebijakan Pemerintah : Pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung aksesibilitas pendidikan tinggi, seperti mengontrol kenaikan biaya UKT dan memperluas akses terhadap pendidikan berkualitas di seluruh wilayah Indonesia.

Peran Lembaga Pendidikan

Lembaga pendidikan juga memiliki peran penting dalam mengurangi stigma ini. Universitas dan perguruan tinggi harus lebih proaktif dalam memberikan informasi mengenai berbagai macam bantuan keuangan yang tersedia. Mereka juga harus mendorong budaya inklusivitas di kampus, sehingga semua mahasiswa merasa diterima dan didukung.

Program bimbingan dan konseling dapat membantu mahasiswa mengelola stres dan beban keuangan. Selain itu, universitas dapat bekerja sama dengan alumni untuk menyediakan dana bantuan atau program mentoring bagi mahasiswa yang membutuhkan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan stigma mengenai biaya tinggi pendidikan dapat dikurangi dan lebih banyak mahasiswa merasa mampu dan termotivasi untuk melanjutkan pendidikan mereka.

Menghapus stigma bahwa kuliah hanya untuk orang kaya adalah tugas bersama. Masyarakat perlu didorong untuk melihat pendidikan tinggi sebagai hak dan kesempatan yang bisa diakses oleh semua, bukan sebagai kemewahan. Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan semua anak bangsa bisa meraih pendidikan tinggi tanpa terkendala biaya.

Edukasi masyarakat mengenai pentingnya pendidikan tinggi dan peluang beasiswa atau bantuan finansial juga sangat penting. Pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan terjangkau. Dengan begitu, Indonesia dapat memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan siap bersaing di kancah internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun