Apa kira-kira nama bagi tahun 2025? Rasanya seperti lautan-waktu yang baru akan kita selami, tetapi arus gelombangnya belum kita kenali. Tepat seminggu di tahun yang baru kemarin, sejenak kita terdiam di tengah gelombang arus lautan yang dalam.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kebanyakan orang mestinya beranggapan bahwa semua tahun pada akhirnya bisa di lalui, meskipun tetap saja ada rasa menyesakan berada di ruang-waktu negeri ini. Inilah negeri yang berulang kali ingin memperbaiki diri, tapi setiap kali kita dapati sedang menghancurkan diri.
Para pengepul kebijakan publik sudah mencoba berbagai macam cara. Umumnya, ada cara Hukum, Ekonomi, dan atau cara Politik. Namun seperti raksasa yang sedang pingsan, bahkan di hadapan kepemimpinan nasional dan daerah yang baru saja lahir, begitu sulit untuk membayangkan negeri ini bisa segera siuman.
"Meski saat mengawali tahun ini, terdengar satu kebijakan--seperti dongeng--yang sedang membangunkan raksasa untuk memberi makan siang gratis, setelahnya yang diberi makan harus siap menjadi santapan makan malam sosok raksasa ini".
Begitulah kebanyakan produk kebijakan yang telah lahir di negeri ini, tetap saja tidak menemui perubahan. Demikian pula dengan begitu banyaknya program ekonomi yang dilakukan, akan tetapi tetap saja mendorong semakin banyak orang ke jurang kemiskinan. Dan, pada akhirnya rutinitas pergantian kepemimpinan pun kembali dilakukan, hasilnya masih sama: melahirkan pemimpin pesakitan dan syarat akan relasi kuasa padat modal.
Adapun setiap keputusan dan kebijakan yang dianggap melalui standar peraturan--sesungguhnya selalu dijalankan di atas endapan kebiasaan politik demokrasi prosedural yang akhirnya membentuk kehidupan berbangsa yang jauh dari kebaikan bersama "Common Will", seperti yang sedang dan akan kita jalani di tahun yang baru ini. Dan, kebiasaan seperti itu, rupanya akan jauh lebih keras, apalagi lagi ditangan kepemimpinan yang punya cara pandang "politik integratif"--yang mau menyamaratakan seluruh kekuatan sosial-politik serta anti oposisi.
"Kebiasaan itulah yang sesungguhnya selalu kita rasakan setiap tahunya, atau setiap kali pergantian pemimpin. Meski dengan varian yang berbeda, namun, telah membentuk apa yang kita sebut habitus dan cara pandang masyarakat kita".
Habitus, sesungguhnya merupakan istilah yang umumnya bisa berarti kebiasaan, bisa pula kecenderungan atau bawaan serta bentukan cara pandang kehidupan. Habitus, memang erat kaitannya dengan worldview atau dalam bahasa Jerman weltanschauung yakni satu cara pandangan hidup atau cara pandang dunia.Â
Habitus dan cara pandang ini umumnya bisa digunakan secara netral--baik untuk setiap kebiasaan yang baik ataupun yang buruk. Kita misalnya, bisa menunjuk kebanyakan dari para politisi kita yang punya cara pandang bahwa urusan politik di negri ini--sampai kapanpun--semata-mata hanyalah urusan perebutan dan pembagian kekuasaan beserta uang. Sebagaimana sebuah kebiasaan dan sikap terhadap cara pandang. Perilaku demikian, sadar maupun tidak, selalu hadir setiap tahunya dengan berbagai macam jelmaan watak kekuasaan.Â
Kebanyakan pemimpin di negeri ini, tidak pernah sadar akan habitus dan cara pandang mereka terhadap politik yang sangat bermasalah. Sebagaimana ketidaksadaran mereka--bahwa dari kebiasaan itulah; kemiskinan, ketidakadilan, dan ketidaksetaraan, selalu mungkin menghampiri kehidupan di negeri ini.Â
Kebiasaan-kebiasaan cara pandang pemimpin seperti inilah, yang membuat mereka kukuh dengan sikap megalomania dan anggapan bahwa kita adalah kerumunan yang bisa dibentuk menjadi apa saja sesuai dengan arah program kebijakan. Adapun, perilaku atau habitus hidup bersama kita seolah-olah bisa menyesuaikan dengan jelmaan dari corak kebijakan tersebut.