Mohamad Endy Yulianto, Malika Pintanada Kaladinanty dan Belinda Azhara
Salah satu sektor dalam kegiatan pembangunan adalah kegiatan industri. Kegiatan ini di beberapa sisi memberi berbagai manfaat dalam kehidupan manusia, namun ada sisi lain yang dianggap dapat menimbulkan kerugian yaitu adanya limbah industri yang mencemari lingkungan. Salah satunya adalah limbah industri biodisel berupa gliserol.
Produk samping (gliserol) seringkali mengandung impuritas hingga 50%. Impuritas tersebut berupa biodiesel dan metanol. Hal tersebut merupakan permasalahan utama dalam pemprosesan gliserol. Untuk produksi dalam skala besar, pilihan yang terbaik adalah penggunaan gliserol sebagai bahan bakar. Namun demikian gliserol adalah bahan bakar yang berkualitas rendah, yang tidak terbakar didalam petroleum atau mesin diesel.
Oleh karenanya, perlu pengembangan proses yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan. Salah satu teknologi yang sesuai untuk mengolah limbah industri biodisel berupa gliserol (C3H8O3) adalah dengan pengolahan secara biologis menjadi plastik yang terdegradasi (PHA), seperti gagasan inovatif oleh Tim Riset Prodi Teknologi Rekayasa Kimia Industri (TRKI) Vokasi Undip, yakni Mohamad Endy Yulianto, Malika Pintanada Kaladinanty dan Belinda Azhara.
Malika menyampaikan bahwa sampah plastik sangat mengganggu keindahan kota, menimbulkan banjir di berbagai daerah dan menyebabkan kematian pada banyak hewan. Suatu program TV di India telah melaporkan kematian 100 ekor sapi per hari akibat tak sengaja memakan kantong plastik. Sedangkan laporan terbaru dari Amerika menyimpulkan adanya lebih dari 100.000 hewan laut yang mati per tahun karena sebab yang sama. Dalam perut setiap hewan tersebut ditemukan plastik, yang menyebabkan pencernaan terhalang dan mengakibatkan kelaparan.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh plastik tersebut adalah dengan membuat material plastik yang dengan mudah dapat diuraikan oleh alam. Plastik semacam ini dinamakan plastik biodegradabel, terang Malika.
Sementara Belinda menambahkan bahwa plastik biodegradabel sangat sesuai dengan siklus karbon alami, karena ketika dibuang ke lingkungan dan didegradasi oleh mikroorganisme diperoleh hasil CO2. Peristiwa biodegradasi dapat terjadi di semua lingkungan, baik pada kondisi aerob maupun anaerob, dan di dalam tubuh hewan. Bila plastik biodegradabel dibakar, hasil pembakaran tersebut bukan merupakan senyawa beracun.
Â
Endy mengungkapkan bahwa Polihidroksialkanoat (PHA) adalah salah satu jenis plastik biodegradabel yang termasuk dalam kelompok poliester. PHA dapat terdegradasi sempurna dan memiliki sifat yang mirip dengan kelebihan yang dimiliki oleh plastik konvensional. Nilai tambah PHA dibandingkan dengan plastik biodegradabel lain adalah bahan bakunya selalu dapat diperbaharui (renewable), seperti glukosa dan asam lemak volatil.
PHA dapat dihasilkan dari bermacam-macam bakteri, seperti Alcaligenes latus, Pseudomonas oleovorans dan Escherichia coli. Masing-masing bakteri akan menghasilkan PHA dengan komposisi yang berbeda. Jenis substrat yang dikonsumsi oleh bakteri pun menentukan jenis PHA yang diproduksi, tutur Endy.
Produksi PHA saat ini semakin berkembang luas karena kebutuhan plastik yang 'ramah lingkungan' semakin meningkat. Namun demikian, pemakaian PHA sebagai material pengganti plastik konvensional dibatasi oleh harga jual yang sangat mahal. Kendala ini berasal dari biaya produksi yang cukup tinggi, terutama biaya untuk memenuhi kebutuhan substrat dan biaya pengambilan dan pemurnian PHA dari biomassa. Untuk menekan biaya substrat dilakukan upaya pemanfaatan substrat yang selama ini  terbuang, yaitu bahan-bahan organik yang terdapat dalam limbah industri, ujar Endy.
Endy mengatakan bahwa pemanfaatan limbah industri biodisel berupa gliserol (C3H8O3) merupakan suatu alternatif dalam memproduksi PHA, mengingat limbah tersebut merupakan sumber karbon yang berpotensi menghasilkan kopolimer PHA. Pengolahan limbah secara biologis ini menggunakan sistem lumpur aktif yang mengandung bermacam-macam mikroorganisme. Selain dapat menghasilkan PHA dengan biaya substrat rendah, cara ini dapat mengurangi lumpur hasil pengolahan limbah dengan sistem lumpur aktif.
Sequencing batch reactor (SBR) sebagai salah satu modifikasi sistem lumpur aktif diharapkan mampu mengatasi kelemahan sistem lumpur aktif konvensional, sehingga PHA dapat terakumulasi semaksimal mungkin. Untuk itu, perlu pengembangan produksi bioplastik dari limbah industri biodisel berupa gliserol dan aplikasinya pada kerajinan elemen interior dan fashion stuff, papar Endy.
Hasil kajian yang berupa informasi teknologi ini diharapkan nantinya dapat dikembangkan, dimanfaatkan dan diproduksi secara terpadu oleh industri-industri kerajinan plastik secara komersial, tutup Endy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H