Mohon tunggu...
Mohamad BirulWalidhain
Mohamad BirulWalidhain Mohon Tunggu... Guru - Guru Pondok Modern Darussalam Gontor

Penulis menggandrungi dan senantiasa menuangkan gagasan, pemikiran dan buah karya imajinatif dan atraktif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bab Tentang Hukum-Hukum Ikrar

13 Juli 2024   07:53 Diperbarui: 13 Juli 2024   13:38 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal 1- 6  Kitab Fathul Qarib Al Mujib

Bab berkenaan Hukum -Hukum Ikrar  (Pengakuan )

Iqrar ditinjau dari segi Bahasa merupakan  langkah  menetapkan . Secara syara’ ataupun   ,definisi iqrar yaitu  menyampaikan hak yang menjadi tanggungannya. Dengan definisi tersebut maka mengecualikan syahadah (kesaksian ) . Sebab syahadah adalah menyampaikan hak yang dimiliki seseorang yang berada di dalam tanggungan orang lain Hak yang diakui itu terbagi menjadi dua ;

Pertama , hak Allah SWT seperti mencuri dan berzina .

Untuk Hak Allah ,iqrar boleh dicabut . Seperti orang yang telah ,mengakui perbuatan zinanya mengatakan :” Aku mencabut pengakuan zinaku” atau áku berdusta di dalam pengakuan zinaku”.

Dan memang disunahkan bagi orang yang telah mengakui perbuatan zina untuk mencabut pengakuannya itu . Sedangkan  untuk hak adami, Iqrar  tidak boleh dicabut.

Perbedaan ini dikarenakan hak Allah dibangun atas dasar kemurahan . Sementara hak adami itu dibangun atas dasar perselisihan.

Keabsahan Iqrar itu memerlukan tiga syarat . Pertama, baligh. Sehingga tidak sah iqrar anak kecil meskipun mendapat restu dari walinya.

Kedua berakal . Maka tidak sah Iqrar orang gila ,orang yang sedang terkena epilepsi dan orang yang mengalami gangguan akal yang disebabkan sesuatu yang ditoleril , maka hukumnya sebagaimana orang yang mabuk.

Ketiga , murni kehendak sendiri. Maka tidak sah pengakuan seseorang yang dipaksa.

Apabila yang diakui adalah harta maka dipertimbangkan juga syarat keempat, yaitu rusydu .Maksudnya ,muqir (orang yang iqrar) adalah orang yang bebas mengatur kekayaannya sendiri .

Dengan kata “harta” pengarang mengecualikan iqrar atas selain  harta, seperti talak ,dzihar dsb, Maka orang yang iqrar di dalam hal ini tidak disyaratkan rusydu , bahkan sah dilakukan orang yang safih .

Jika ada seseorang yang iqrar atas sesuatu yang tidak jelas, misalnya ia mengatakan “aku mempunyai hutang kepada si fulan”, maka penjelasannya kepada orang tersebut.

Sehingga dapat diterima penjelasan berupa setiap benda yang mempunyai nilai jual meskpun sedikit, seperti uang receh.

Dan jika penjelasannya berupa benda yang tidak mempunyai nilai jual akan tetapi masih sejenis , seperti satu biji gandum atau bukan dari jenis benda yang memiliki nilai jual namun halal untuk disimpan ,seperti kulit bangkai ,anjing yang sudah terlatih menjadi pemburu dan kotoran Binatang , maka semua penjelasan itu dapat diterima menurut qaul ashoh .

Kemudian jika orang tersebut enggan memberikan penjelasan setelah ia dimintai keterangan atas benda yang tidak jelas itu , makai a harus dipenjara sampai ia memberikan klarifikasi .

Dan apabila ia mati sebelum memberikan klarifikasi , maka yang dimintai keterangan adalah ahli waris dan harta warisannya dibekukan untuk sementara waktu .

Menyebutkan pengecualian (istitsna ) di dalam iqrar itu dianggap sah apabila masih disambung dengan sesuatu yang dikecualikan (mutstasna minhu ) .

Sehingga, apabila keduanya dipisah dengan diam yang lama atau ucapan lain yang Panjang maka pemisah tersebut dapat mempengaruhi keabsahan iqrar . Sedangkan diam dalam waktu singkat seperti menarik nafas , itu tidak mempengaruhi keabsahannya.

Istitsana juga disyaratkan tidak menghabiskan individu makna dalam mustatsna minhu. Sehingga jika istitsna’ menghabiskan mustatsna mihu-nya seperti contoh : aku memiliki hutang sepuluh kepada Zaid kecuali sepuluh”, maka istitsna ‘ tersebut dapat mempengaruhi keabsahan iqrar.

Iqrar , dalam keadaan sehat maupun sakit itu memiliki posisi yang sama . Sehingga jika seseorang mengaku berhutang kepada Zaid saat ia sehat dan kepada Umar saat ia sakit maka tidak dimenangkan iqrar yang pertama . Dan Ketika terjadi kasus seperti ini maka hutang yang diakui orang tersebut dibagikan kepada keduanya secara rata

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun