Saya memilih kuliah sambil mengajar pada masa itu memang benar-benar ingin meningkatkan kemampuan saya, menambah pengetahuan, dan memperluas wawasan.
Saya menikmati perkuliahan itu dan menjadi mahasiswa sungguhan. Pihak kampus juga memiliki kebijakan untuk mengkonversi berapa mata kuliah umum. Artinya, beberapa mata kuliah tidak perlu saya ambil lagi karena sudah diikuti saat kuliah pada diploma dua.
Saya juga sempat ikut program KKN (Kuliah Kerja Nyata) sebagai salah satu mata kuliah yang harus diselesaikan. Sayangnya setelah KKN, saya tidak pernah masuk kampus lagi padahal saya sudah layak untuk menyelesaikan tugas skripsi.
Jika diandaikan saya sudah berada di titik 99%, berarti tersiss 1% lagi untuk menyelesaikan kuliah dan berhak diwisuda. Saya hanya membutuhkan satu hentakan langkah saja untuk sampai pada titik 100%.
Di sinilah logika 99% itu sulit dan 100% mudah. Kalau dipikir-pikir, saya telah menyelesaikan 99% perkuliahan dengan tantangan yang tidak ringan. Saya harus menguras banyak sumber daya untuk sampai pada angka 99%. Pagi mengajar sore sampai malam mengikuti kuliah. Hampir setiap hari sepulang dari mengajar, saya menuju kampus selama hampir dua tahun untuk mendengarkan ceramah dosen, mengikuti diskusi di ruang kuliah, atau berkutat dengan tugas-tugas kuliah.
Ketika tantangan 99% itu mampu saya lampaui saya tidak menghabiskan sisa 1% untuk mencapai 100%. Padahal logikanya sisa 1% itu jauh lebih mudah daripada 99% yang telah saya lewati.
Banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa 99% itu sulit dan 100% itu mudah. Seseorang dengan kehidupan alkoholik ingin membebaskan diri secara total. Ia dapat disebut berhasil apabila memiliki target 100% tidak lagi menyentuhnya dalam kondisi apapun tanpa pengecualian. 100% itu benar-benar mudah jika dia tidak menenggaknya dalam berbagai situasi.
Seorang tetangga saya bekerja sebagai petani sekaligus penganut salafi. Dia terlihat mampu menerapkan bahwa 100% itu mudah. Dia begitu total menjalani kesehariannya sebagai petani. Saya hampir tidak melihat sehari melewatkan kesehariannya tanpa kehadirannya di sawah. Dan tak satu waktu shalat lima waktu dia lakukan tanpa berjamaah. Dia begitu teguh menjalankan shalat berjamaah. Pada titik ini dia sudah mencapai 100%. Baginya angka itu menjadi mudah.
Saya pernah mendengar dari Ayah saya tentang seorang pemuka agama perokok berat berhenti secara total (100%). Ini bermula dari kecelakaan kecil akibat salah hisap. Secara tidak sadar saat masih menjadi pecandu berat nikotin, dia menghisap ujung rokok yang membara sehingga membuat bibirnya tersulut. Sejak itu dia mengharamkan diri untuk merokok dan dia berhasil menghentikan kebiasaan merokok. Kata 'haram" yang diteriakkannya saat tersulut bara rokok rupanya berhasil membuatnya berubah dari seorang "pecandu rokok" menjadi "pembenci rokok" secara mutlak.
Kenyataannya betapa sulitnya mencapai 100%
Ilustrasi di atas menggambarkan makna tentang ungkapan "99% itu sulit, 100% itu mudah". Pada dasarnya ungkapan ini dapat menjadi pola pikir, sebuah komitmen, atau--mungkin--sebuah prinsip hidup pada satu atau dua hal. 99% itu sulit dan 100% itu mudah" dapat diterapkan, mulai dari kebiasaan bangun pagi, membaca, menulis, olahraga, atau mungkin menabung.
Sudahkah kita mampu berkomitmen secara total atau 100%. Tentu saja, kita dapat menyelesaikan hal-hal yang ada dalam daftar tugas yang harus diselesaikan tanpa harus berkomitmen 100%. Ada saat dimana kita berhadapan dengan sebuah situasi yang menghalangi kita mencapai 100%.