09 Januari 2022 saya resmi terdaftar sebagai member di Kompasiana. Saya mengenal blog keroyokan ini pertama kali dari salah seorang kompasianer senior, Wijaya Kusumah. Perkenalan saya bermula saya kegiatan belajar menulis melalui WAG yang dirintis Wijaya Kusumah atau Omjay (sapaan yang paling disukainya). Lebih dari sekadar belajar menulis, peserta diarahkan juga untuk menyebarkan tulisannya melalui platform yang memiliki jangkauan lebih luas seperti Kompasiana.
Sebenarnya saya sendiri sudah lama tertarik dengan aktivitas menulis tetapi sebatas menulis status di facebook. Tulisan itu juga tidak panjang hanya beberapa kalimat, mungkin hanya 100-200 kata, atau hanya 2-4 paragraf. Isinya pun hanya narasi yang berbau lelucon.
Ketika media digital masih dalam rahim sang waktu sejak remaja saya suka menulis dalam buku harian tentang apa saja yang bisa ditulis--tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, harapan anak muda tentang masa depan, atau kegelisahan remaja yang berimajinasi tentang kebebasan tanpa batas.
Sampai akhirnya saya bergabung dengan Kompasiana saya mulai menemukan ruang yang tepat. Sejak bergabung dengan Kompasiana saya baru menghasilkan 330. Angka 330 ditempati artikel berjudul "Fobia Sosial, Social Anxiety Disorder yang Menyebalkan". 99 dari seluruh artikel itu masuk ke dalam kategori headline. Diperlukan satu artikel utama untuk menyentuh angka 100. 4 artikel telah mengalami ekstensi atau masuk program infinite.
99% ke 100%
99 artikel utama bukanlah substansi dalam artikel ini. Saya hanya menjadikannya pintu masuk untuk memaknai angka 99 sebagai acuan sebuah komitmen, prinsip kerja, atau kadar keseriusan dan kesungguhan dalam sebuah situasi.
Sebagian kita bisa jadi memegang kesepakatan bahwa angka 99 merupakan angka yang hampir sempurna dan 100 dalam banyak hal disimbolkan sebagai nilai kesempurnaan.
Namun, di balik angka 99 dan 100, ada sebuah mindset yang diungkapkan dengan kalimat yang terkesan paradoks. Kalimat itu berbunyi, "100% itu mudah, 99% itu sulit".
Bagaimana mungkin 100 lebih mudah daripada 99? Pertanyaan ini mungkin juga muncul dalam pikiran orang lain yang membacanya. Saya membutuhkan waktu cukup lama untuk memahami kalimat itu.
Untuk memahami ungkapan tersebut, saya ingin mengambil sebuah ilustrasi atas pengalaman saya di masa lampau.
Dulu sekali, sekitar tahun 2000-an, beberapa tahun setelah menjalani profesi sebagai guru, saya melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di daerah saya. Saya berpikir, dengan bekal pengetahuan yang diperoleh melalui program diploma saya merasa perlu meningkatkan kompetensi dan keilmuan dengan mengambil kuliah strata satu.
Saya memilih kuliah sambil mengajar pada masa itu memang benar-benar ingin meningkatkan kemampuan saya, menambah pengetahuan, dan memperluas wawasan.
Saya menikmati perkuliahan itu dan menjadi mahasiswa sungguhan. Pihak kampus juga memiliki kebijakan untuk mengkonversi berapa mata kuliah umum. Artinya, beberapa mata kuliah tidak perlu saya ambil lagi karena sudah diikuti saat kuliah pada diploma dua.
Saya juga sempat ikut program KKN (Kuliah Kerja Nyata) sebagai salah satu mata kuliah yang harus diselesaikan. Sayangnya setelah KKN, saya tidak pernah masuk kampus lagi padahal saya sudah layak untuk menyelesaikan tugas skripsi.
Jika diandaikan saya sudah berada di titik 99%, berarti tersiss 1% lagi untuk menyelesaikan kuliah dan berhak diwisuda. Saya hanya membutuhkan satu hentakan langkah saja untuk sampai pada titik 100%.
Di sinilah logika 99% itu sulit dan 100% mudah. Kalau dipikir-pikir, saya telah menyelesaikan 99% perkuliahan dengan tantangan yang tidak ringan. Saya harus menguras banyak sumber daya untuk sampai pada angka 99%. Pagi mengajar sore sampai malam mengikuti kuliah. Hampir setiap hari sepulang dari mengajar, saya menuju kampus selama hampir dua tahun untuk mendengarkan ceramah dosen, mengikuti diskusi di ruang kuliah, atau berkutat dengan tugas-tugas kuliah.
Ketika tantangan 99% itu mampu saya lampaui saya tidak menghabiskan sisa 1% untuk mencapai 100%. Padahal logikanya sisa 1% itu jauh lebih mudah daripada 99% yang telah saya lewati.
Banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa 99% itu sulit dan 100% itu mudah. Seseorang dengan kehidupan alkoholik ingin membebaskan diri secara total. Ia dapat disebut berhasil apabila memiliki target 100% tidak lagi menyentuhnya dalam kondisi apapun tanpa pengecualian. 100% itu benar-benar mudah jika dia tidak menenggaknya dalam berbagai situasi.
Seorang tetangga saya bekerja sebagai petani sekaligus penganut salafi. Dia terlihat mampu menerapkan bahwa 100% itu mudah. Dia begitu total menjalani kesehariannya sebagai petani. Saya hampir tidak melihat sehari melewatkan kesehariannya tanpa kehadirannya di sawah. Dan tak satu waktu shalat lima waktu dia lakukan tanpa berjamaah. Dia begitu teguh menjalankan shalat berjamaah. Pada titik ini dia sudah mencapai 100%. Baginya angka itu menjadi mudah.
Saya pernah mendengar dari Ayah saya tentang seorang pemuka agama perokok berat berhenti secara total (100%). Ini bermula dari kecelakaan kecil akibat salah hisap. Secara tidak sadar saat masih menjadi pecandu berat nikotin, dia menghisap ujung rokok yang membara sehingga membuat bibirnya tersulut. Sejak itu dia mengharamkan diri untuk merokok dan dia berhasil menghentikan kebiasaan merokok. Kata 'haram" yang diteriakkannya saat tersulut bara rokok rupanya berhasil membuatnya berubah dari seorang "pecandu rokok" menjadi "pembenci rokok" secara mutlak.
Kenyataannya betapa sulitnya mencapai 100%
Ilustrasi di atas menggambarkan makna tentang ungkapan "99% itu sulit, 100% itu mudah". Pada dasarnya ungkapan ini dapat menjadi pola pikir, sebuah komitmen, atau--mungkin--sebuah prinsip hidup pada satu atau dua hal. 99% itu sulit dan 100% itu mudah" dapat diterapkan, mulai dari kebiasaan bangun pagi, membaca, menulis, olahraga, atau mungkin menabung.
Sudahkah kita mampu berkomitmen secara total atau 100%. Tentu saja, kita dapat menyelesaikan hal-hal yang ada dalam daftar tugas yang harus diselesaikan tanpa harus berkomitmen 100%. Ada saat dimana kita berhadapan dengan sebuah situasi yang menghalangi kita mencapai 100%.
Kita mungkin sudah berkomitmen untuk menjalani aktivitas sehari-hari tanpa smartphone sejak Senin sampai Rabu. Akan tetapi, suatu ketika--salah satu dari hari-hari tersebut--kita dihubungi orang tua untuk sebuah keperluan mendesak atau anak sulung yang sedang kuliah di luar daerah kehabisan uang. Ini tentu hal yang berbeda.
Komitmen "99 % itu sulit, 100 % itu mudah" adalah tentang semangat dan gairah, motivasi, dan upaya yang sungguh-sungguh. Banyak hal yang ingin kita lakukan tetapi seringkali tertunda.
Lombok Timur, 28 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H