Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Santukaka Perlawanan terhadap Dominasi Jakartasentris dan Budaya Ibu Kota

9 September 2024   10:36 Diperbarui: 9 September 2024   16:39 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan. Hal ini telah menjadi sebuah komitmen sejak 28 Oktober 1928 melalui tiga ikrar para pemuda yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. Tiga ikrar itu adalah sebagai berikut.

Pertama: "Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia". 
Kedua: "Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia". 
Ketiga: "Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia".

Ikrar yang diucapkan 17 tahun sebelum Indonesia merdeka itu menunjukkan bahwa bahasa memiliki peran penting bagi sebuah bangsa. Tidak saja sebagai alat komunikasi dalam proses interaksi. Lebih dari itu,

Bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai instrumen untuk menumbuhkan semangat persatuan bangsa dan menjadi inspirasi untuk membangun perjuangan membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. 

Dalam era kemerdekaan, Bahasa Indonesia ditempatkan sebagai sebuah identitas nasional atau sebagai jati diri bangsa. Sebagai identitas, Bahasa Indonesia menjadi salah satu pembeda dengan bangsa-bangsa yang lain di dunia.

Peran penting bahasa Indonesia juga diyakini dapat meleburkan perbedaan bahasa, budaya, suku, dan agama ke dalam satu persamaan identitas tunggal tanpa menafikan pluralisme yang ada.

Seluruh keberagaman itu diikat oleh simpul bahasa, yaitu, Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Keragaman Dialek dan Jakartasentris

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda. Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud Ristek, bahasa daerah di Indonesia yang telah terdata berjumlah 718 bahasa. Diperkirakan masih banyak bahasa daerah yang belum tercatat.

Perbedaan bahasa daerah tersebut memicu beragamnya dialek bahasa Indonesia sebagai pengaruh bahasa daerah masing-masing. Jika terdapat 718 bahasa daerah, berarti ada kemungkinan jumlah dialek bahasa Indonesia ekuivalen dengan bahasa daerah yang ada. 

Dialek, dalam istilah lain disebut juga basapraja, adalah varietas bahasa yang melingkupi suatu kelompok penutur. (Sumber Wikipedia). Dialek--ada yang menyebut dengan logat bahasa--mengacu kepada sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat untuk membedakan dari masyarakat lain. 

Dialek dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Dialek regional, dikenal juga dengan istilah regiolek, merupakan suatu varietas bahasa yang digunakan dan berkembang di wilayah geografis tertentu. Dalam konteks Bahasa Indonesia, misalnya, ada dialek Jakarta, dialek Medan, dialek Bali, dialek Papua, dan sebagainya.

Dialek lainnya adalah dialek sosial atau sosiolek. Dialek ini merupakan pengelompokan dialek yang berlaku dan digunakan dalam kelompok sosial atau yang menandai strata sosial tertentu. Kelompok sosial yang dimaksud mengacu pada golongan masyarakat dengan kesamaan profesi, status sosial, atau kesamaan dalam bidang kemasyarakatan. Misalnya, dialek remaja, dialek pedagang di pasar, dialek akademisi, atau dialek lain dalam komunitas tertentu. 

Di samping dua dialek di atasada dialek temporal atau dialek historis. Dialek ini merujuk secara khusus kepada bentuk bahasa yang diperbedakan menurut pemakaiannya pada kurun waktu tertentu.

Contoh yang kerap disebut dalam berbagai sumber untuk dialek temporal ini, yaitu, dialek Melayu kuno, dialek Melayu klasik, dan dialek Melayu modern.

Dalam konteks keragaman bahasa daerah, bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang unik. Keragaman itu melahirkan keragaman dialek bahasa Indonesia itu sendiri.

Hal ini juga sekaligus menjadi sebuah keistimewaan karena bahasa Indonesia tetap dapat berfungsi dengan baik sebagai alat komunikasi antar daerah dalam pergaulan sehari-hari. 

Dengan dialek yang berbeda penutur bahasa Indonesia dapat saling berkomunikasi tanpa hambatan atau kendala semantik. Sebagai ilustrasi, saya tidak memiliki kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan orang Papua walaupun menggunakan dialek yang berbeda selama menggunakan bahasa Indonesia. 

Perbedaan dialek bahasa Indonesia tidak lepas dari keragaman bahasa daerah di wilayah Nusantara. 

Keberagaman bahasa daerah di atas secara niscaya membentuk dialek bahasa Indonesia yang juga menunjukkan keberagaman. Jika ada 718 bahasa daerah, berarti ada kemungkinan jumlah dialek bahasa Indonesia yang ekuivalen dengan jumlah bahasa daerah tersebut. 

Namun di balik keberagaman itu, selama ini ada perilaku berbahasa yang berkembang dimana penggunaan dialek tertentu dinilai lebih "bergengsi" daripada dialek lainnya.

Perilaku berbahasa ini sering ditunjukkan oleh anak-anak daerah (luar Jakarta) yang memandang lebih keren menggunakan Bahasa Indonesia dialek ragam Jakarta dibandingkan dengan ragam bahasa daerah lain. 

Mantan Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia Katharina Endriati Sukamto menghubungkan perilaku berbahasa ini dengan fenomena Jakartasentris. 

Apa itu Jakartasentris? Dilansir dari Wikipedia, Jakartasentris adalah istilah yang mengacu kepada dominasi budaya, ekonomi, dan politik Jakarta terhadap wilayah-wilayah lain di Indonesia. Jakartasentris tidak saja terkait dengan kebijakan pemerintah tetapi juga menyangkut perspektif masyarakat luas tentang Jakarta. 

Dominasi dalam konteks Jakartasentris berarti bahwa adanya kecenderungan banyak orang berkiblat pada kehidupan Jakarta sebagai parameter dalam banyak hal. Jakarta dengan segala kehidupan gemerlapnya kerap dipersepsikan banyak orang sebagai pusat kemapanan dan keunggulan gaya hidup, trend pakaian, hingga gaya komunikasi. Dalam kalimat pendek persepsi itu dapat disederhanakan menjadi "Jakarta adalah kiblat kehidupan masyarakat".

Salah satu wujud fenomena ini adalah penggunaan bahasa ragam Jakarta dalam perbincangan sehari-hari di kalangan anak-anak muda di daerah. Penggunaan "lu" dan "gue" merupakan dua kata ganti yang mewakili penggunaan dialek bahasa Indonesia ragam Jakarta. Ada juga "ngapain", "gimana", "gitu", "nggak" merupakan kosakata yang biasa digunakan dalam percakapan dialek Jakarta.

Fenomena Jakartasentris, khususnya dalam percakapan, diduga tidak lepas dari peran media massa. Kita dapat melihat bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia dialek Jakarta mendominasi dialog dalam sinetron, bahasa iklan, podcast, sampai panggung hiburan. Penggunaan ragam bahasa Jakarta bahkan juga menghias ruang diskusi para politisi, ekonom, sampai para akademisi.

Saya tidak melihat ragam bahasa Jakarta sebagai ragam bahasa yang negatif. Namun kita kerap menunjukkan perilaku yang menunjukkan bahwa dialek Jakarta seakan dijadikan standar status sosial anak-anak muda dan sebagian masyarakat Indonesia. Ini satu dari fenomena Jakartasentris yang mewarnai kehidupan sebagian masyarakat. 

Santukaka, unjuk dialek bahasa daerah

Kehadiran media sosial saat ini memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mempopulerkan budaya dan bahasa daerah. Banyak para konten kreator daerah dengan percaya diri tampil menggunakan dialek bahasa Indonesia sesuai dengan bahasa daerah masing-masing.

Salah satu channel YouTube yang konsisten menggunakan dialek bahasa daerah, yaitu, Santukaka. Channel ini menghadirkan konten film pendek dengan pemeran anak-anak dari Poso, Sulawesi Tengah. Mereka adalah Noel Tampale, Rivan Sanggalea, Kristin Tadene, Fano Kumpa, Julio Penyami, Adel, dan Vincent Megea.

Film pendek produksi Santukaka, yang cukup menyita perhatian banyak orang itu, mengangkat tema-tema sederhana kehidupan sosial dan budaya sehari-hari. Beberapa sumber menyebutkan bahwa pada awalnya percakapan anak-anak Santukaka itu menggunakan Bahasa Pamona, dikenal sebagai Bahasa Poso, sebuah bahasa daerah yang digunakan oleh suku Pamona, Kabupaten Poso, di Sulawesi Tengah, Indonesia. Karena kurangnya penonton, Ordianus Tampale, sosok pencetus mengganti dialog itu dengan Bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan dialek bahasa Pamona.

Dalam perkembangannya, strategi Ordianus membuahkan hasil. Saat ini channelnya telah mencapai 67,017,761 views, 338 ribu subscriber, dan telah memproduksi 518 video pendek yang diunggah melalui channel mereka. (Sumber Channel Santukaka)

Aksi anak-anak Poso itu menjadi menarik karena dua hal. Pertama, film-film pendek mereka dikemas dengan dialog yang diwarnai dengan adu argumentasi tetapi sarat gaya humor. Hampir setiap celetukan anak-anak itu mengundang senyum dan tawa. Ini menjadi sisi yang membuat channel Santukaka sangat populer. 

Kedua, Secara keseluruhan tema film meliputi berbagai permasalahan kehidupan sehari-hari di rumah tangga dan masyarakat. Lebih dari itu mereka kerap mengangkat isu-isu politik, ekonomi, sampai permasalahan lingkungan.

Dalam salah satu video misalnya, ketika anak-anak Santukaka itu diundang ke Jakarta untuk tampil dalam sebuah acara workshop Nasional yang diadakan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Berikut ini merupakan penggalan dialog anak-anak Santukaka di hadapan peserta workshop akhir Agustus 2024 lalu.

"Kenapa Kakak Adel dan Vano lambatnya ke panggung?” tanya Julio saat menyambut Adel dan Vano naik ke panggung.
“Kayak pembangunan di timur datang terlambat?” Kristin nyeletuk dari salah satu sisi panggung.

Penggalan dialog di atas merupakan salah satu bentuk kritik anak-anak Santukaka terhadap pembangunan yang belum merata. Dalam dialog yang lain mereka juga mengangkat isu lingkungan. Ini terlihat ketika Vincen bertanya kepada Kristin.

"Apa kelebihannya torang anak-anak Indonesia Timur?" tanya Vincen.
"Torang masih menghirup udara segar. Polusi hampir tidak ada. Sekolah tidak pernah ketemu macet," jawab Kristin

Hal yang unik dari dialog anak-anak itu terletak pada dialek khas daerah mereka. Dialog yang sarat dengan humor dan sarkasme itu konsisten menggunakan dialek bahasa asal mereka. Tidak ada "lu", " gue", "nggak", "ngapain" atau kata-kata lain yang mencirikan dialek anak-anak Jakarta. Mereka tampak begitu nyaman dan percaya diri menggunakan pilihan kata "torang", "dorang", "kamu orang", atau kata lain yang menunjukkan ciri dialek bahasa daerah Pamona. 

Penampilan anak-anak Santukaka itu ternyata mampu menyedot perhatian banyak orang. Channel mereka yang sudah mencapai ratusan ribu subscriber menunjukkan bahwa aksi-aksi anak dari wilayah timur itu mampu menarik perhatian banyak kalangan dari seluruh Nusantara. 

Apa yang dilakukan anak-anak itu mampu menandingi gaya berbicara Jakartasentris,  dengan dialek Bahasa Indonesia dialek Jakarta, yang selama ini mendominasi percakapan anak-anak dan remaja Indonesia. Memang benar bahwa, dialek anak-anak Santukaka itu tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari sebagaimana penggunaan dialek Jakarta di kalangan remaja. Namun dialog mereka telah membuat dialek bahasa Pamona menjadi populer dan (mungkin saja) menjadi salah satu faktor yang membuat channelnya mendapatkan banyak pengikut.

Lombok Timur, 9 September 2024

  • KBBI Online
  • wikipedia.org
  • mediasulawesi.id
  • m.kumparan.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun