Hidup ini makin terasa tergesa-gesa saja. Kita seakan dikejar sesuatu dari belakang. Atau ada semacam objek yang begitu jauh di depan mata yang membuat kita harus berlari secepat mungkin agar dapat menggapainya. Sayangnya kecepatan kita yang terbatas membuat kita memilih berkendara daripada berlari atau berjalan. Dengan bantuan putaran mesin, kita seakan ingin melesat dengan kecepatan paling maksimal di atas punggung jalan. Seiring perkembangan gaya hidup kebiasaan berjalan kaki berubah menjadi kebiasaan berkendara.
Karnaval Budaya
Tabuh alat musik gendang beleq terdengar menggema dari tengah terminal. Sekelompok pemain gendang beleq dengan penuh semangat memainkan alat musik masing-masing. Mereka seolah tidak merasakan terpaan panas matahari yang menjerang kulit siang itu.
Permainan musik gendang beleq tersebut merupakan bagian dari kegiatan karnaval sebagai bagian dari peringatan memeriahkan HUT RI ke 79 tahun 2024.
Gendang beleq dikenal sebagai seni musik tradisional masyarakat Sasak paling populer. Disebut gendang beleq (gendang besar: Sasak) karena alat musik paling menonjol berupa gendang berukuran besar. Penabuh gendang biasanya berada di posisi paling depan dalam barisan pemain pengusung berbagai alat musik pendukung gendang beleq. Alat musik itu berupa cemprang, rincik, petuk (gong berukuran kecil), gong, dan seruling.
Di depan gendang beleq ada pengusung sepasang jaran praja menari mengikuti alunan musik penuh semangat dari para penabuh. Setiap jaran praja diusung empat laki-laki dengan pakaian tradisional Sasak. Dengan beban jaran di pundaknya, pengusung atau pemikul itu melangkah pelan tetapi penuh energi seolah tidak ada beban di pundaknya.
Di atas punggung salah satu jaran praja tampak duduk menunggang Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lombok Timur sambil tersenyum dan melambaikan tangan kepada orang-orang di sekelilingnya.
Di atas punggung jaran lainnya seorang perempuan juga duduk sambil memegang leher jaran. Kedua penunggang bergerak melenggok dan mengangguk mengikuti gerakan penari pengusung jaran. Kedua penunggang jaran itu mengenakan pakaian adat Sasak.
Jaran praja merupakan kuda-kudaan yang terbuat dari kayu. Jaran ini dikenal sebagai salah satu instrumen dalam kegiatan adat dan budaya masyarakat Sasak. Dulu jaran praja digunakan untuk mengusung sepasang pengantin yang sedang nyongkolan.
Tradisi nyongkolan merupakan salah satu ritual perkawinan dalam masyarakat Sasak untuk mengarak pasangan pengantin dari rumah mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan. Nyongkolan, dalam istilah lain disebut nyombe, merupakan kunjungan pertama pasangan pengantin ke rumah orang tua dan keluarga pihak perempuan setelah menjalani beberapa proses pernikahan. Nyongkolan pada dasarnya bertujuan untuk menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa si A dan si B telah resmi menjadi pasangan suami istri yang sah.
Di samping untuk mengarak pengantin, jaran praja juga digunakan untuk mengarak anak-anak yang akan disunat atau dikhitan. Sebelum disunat anak-anak itu diarak keliling kampung untuk menyenangkan hatinya agar tidak takut menghadapi pisau sunat. Arak-arakan itu biasanya diiringi musik tradisional Sasak gendang beleq.
Saat ini penggunaan jaran praja sudah jarang digunakan sebagai instrumen dalam kegiatan adat dan budaya. Pada zamannya jaran praja menjadi impian tunggangan anak-anak saat berlangsungnya pesta penikahan atau sunatan.
Peserta karnaval mulai bergerak sekitar pukul dua siang saat udara sedang berada pada puncak gerahnya. Mereka menembus kombinasi udara panas yang datang dari matahari siang dan pantulan panas dari aspal panas yang menutupi permukaan jalan. Peserta bergerak dari terminal bus Pancor, Lombok Timur, menuju ke arah timur dan berakhir di lapangan tugu Selong yang terletak di sebelah barat kantor DPRD Kabupaten Lombok Timur.
Karnaval yang dilaksanakan 2 September 2024 itu sebenarnya bagian dari rangkaian kegiatan memperingati HUT RI 2024. Karnaval tersebut sebenarnya akan dilaksanakan pada bulan Agustus. Namun, karena satu dan lain alasan, pelaksanaannya melampaui bulan bulan kemerdekaan.
Karnaval yang melibatkan ribuan orang itu menjadi semacam parade budaya Sasak karena peserta karnaval sebagian besar tampil dengan berbagai macam atribut budaya lokal. Di belakang pengusung jaran praja, terlihat pasukan pembawa tombak. Melihat pasukan ini imaginasi saya terbang ke masa lalu seakan menyaksikan tentara kerajaan yang sedang melangkah menuju medan perang untuk menghadapi musuh kerajaan.
Barisan paling panjang terdiri dari barisan perempuan yang mengusung dulang yang ditutup dengan tebolak beak di atas kepalanya. Peserta ini berasal dari siswa SD, SMP, guru, berbagai instansi, dan masyarakat luas. Tidak kurang dari tiga ribu pembawa dulang mengular di jalan utama kota kecil Pancor dan Selong. Sejumlah aparat keamanan diturunkan untuk mengatur jalannya karnaval.
Dulang merupakan nampan yang digunakan sebagai wadah untuk menyajikan makanan. Dulang itu ditutup dengan tebolak beak, semacam tudung saji yang terbuat dari daun lontar dan dicat dengan warna warna merah.
Salah seorang remaja siswa SMP menjadi perhatian penonton dan sesama peserta. Mungkin karena gadis usia belasan itu menggunakan kostum yang terlihat unik (entah terbuat dari bahan apa). Dia tampil dengan sayap seperti ibu peri dalam cerita dongeng, melenggang dengan hati-hati, seakan takut sayapnya patah.
Di sela peserta karnaval ada pasangan pengantin di sebuah pelaminan yang ditempatkan pada kendaraan roda tiga. Sepanjang perjalanan pasangan pengantin itu tampak tersenyum bahagia sebagaimana pasangan pengantin di sebuah pelaminan sebenarnya.
Di sepanjang jalan karnaval itu menjadi rangkaian tontonan hiburan bagi masyarakat Pancor dan Selong. Terlihat mereka begitu bersemangat dan bergembira melihat berbagai atribut peserta karnaval.
Iringan peserta karnaval di bahu jalan dan penonton di kiri kanan jalan menciptakan interaksi kedua belah pihak. Sapaan penonton kepada peserta atau lambaian tangan peserta kepada penonton merupakan bentuk interaksi yang ditunjukkan sepanjang karnaval.
Karnaval itu yang diinisiasi oleh pemerintah kabupaten Lombok Timur itu melibatkan semua isntansi pemerintah dan masyarakat luas.
Jalan kaki massal
Jika dihubungkan dengan paragraf awal artikel ini, karnaval tersebut dapat disebut sebagai jalan kaki massal. Dari terminal bus Pancor peserta harus menempuh perjalanan dengan jalan kaki menuju Taman Tugu Selong sepanjang kurang lebih 3 km. Berdasarkan kalkulasi kasar rentang perjalanan itu membutuhkan sekitar 1.200 sampai 1.500 langkah kaki.
Bagi para pejalan kaki sejati jarak itu bukanlah jarak yang jauh. Namun bagi yang tidak biasa akan menjadi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Sebagian peserta karnaval terdengar mengeluh karena pegal-pegal yang timbul pada kaki, paha, hingga ke pinggang. Saya sendiri merasakan hal yang sama.
Beberapa siswa bertanya berapa lama lagi karnaval itu akan tiba di garis finish. Mencapai setengah perjalanan mereka sudah terlihat lelah. Dengan berjalan santai dan normal jarak 3 km mungkin dapat ditempuh sekitar 1 jam atau kurang. Namun langkah peserta karnaval yang lamban dan banyak berhenti membuat perjalanan itu menjadi lama dan melelahkan.
Karnaval bagi saya bukan sekadar seremoni peringatan 17 Agustus atau parade budaya. Kegiatan ini sekaligus menjadi ajang jalan kaki massal. Jalan kaki dewasa ini menjadi kebiasaan yang sudah ditinggalkan banyak orang. Hidup kita semakin terasa tergesa-gesa sehingga memilih menggunakan kendaraan agar lebih cepat tiba di tujuan. Jalan dalam karnaval itu tidak sampai 10 ribu la gkah. Namun paling tidak peserta dapat berlatih untuk tidak selalu bergantung pada kendaraan.
Lombok Timur, 03 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H