Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pencegahan Pernikahan Dini Melalui Aksi KKN Universitas Mataram

7 Agustus 2024   23:13 Diperbarui: 7 Agustus 2024   23:16 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebut saja Dodi (maaf jika ada kesamaan nama). Dia masih kerabat dekat saya. Dodi sebaya dengan anak sulung saya, 21 tahun. Mereka sekelas saat masih duduk si bangku sekolah dasar. Ayah Dodi juga masih terhitung sepupu saya.

Kalau tidak salah Dodi tidak tamat SD. Dia keluar (sendiri) dari sekolah saat duduk di bangku kelas 6 SD beberapa bulan sebelum ujian akhir sekolah. 

Sehari-hari Dodi bekerja sebagai sopir. Di usianya yang ke 21 tahun Dodi sudah menikah dua kali. Kedua pernikahannya mengalami kegagalan. Pernikahan Dodi yang pertama saat dia berumur sekitar 16 atau 17 tahun. Sedangkan pernikahan kedua mungkin setahun atau dua tahun setelahnya. 

Dari dua kali pernikahannya, Dodi mendapatkan seorang anak dari istri kedua. Anak itu sekarang masih balita dan diasuh neneknya (Ibu Dodi). 

Saat ini balita itu jelas belum memahami dia sedang hidup bersama siapa. Dalam perkembangannya anak itu akan tumbuh dan mulai mengenali dirinya, orang lain, dan lingkungannya. Satu hal yang pasti bahwa anak itu suatu saat akan mengajukan sederet pertanyaan, "Mengapa saya hidup bersama nenek?", "Mengapa saya tidak hidup bersama kedua ayah dan ibu sebagaimana anak-anak lain?", atau "Mmengapa ayah dan ibu berpisah dan meninggalkan saya?".

Jika dikaitkan dengan Undang-Undang No 16 tahun 2019 tentang perkawinan, usia pernikahan yang diizinkan apabila pria dan wanita telah mencapai 19 tahun. Artinya, pernikahan Dodi dengan istri pertama dan keduanya belum cukup umur untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Saat menikah mereka masih di bawah umur karena masih duduk di bangku SLTA.

Apa yang terjadi pada Dodi merupakan salah satu akibat pernikahan dini. Usia yang masih sangat belia tidak cukup memberikan kekuatan kepada mereka untuk hidup bersama. Ketidaksiapan itu membuat mereka tidak mampu melawan riak yang mengganggu batera rumah tangganya. Keputusan akhirnya adalah perceraian.

Perceraian merupakan dampak negatif pernikahan dini. Ingat. Ini hanya dampak awal. Selebihnya ada imbas jangka panjang jika pasangan itu telah memiliki anak. Dilansir dari laman Australian Family Lawyer, Michael Sheahan menulis bahwa perceraian dapat menjadi pengalaman traumatis bagi anak-anak. Perpisahan orang tua dapat dapat mengganggu keyakinan mereka yang paling berharga. Ini menyangkut fondasi kehidupan dalam hal ini hubungan orang tua dan anak. 

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ada dampak psikologis yang ditimbulkan oleh keluarga yang terpecah. Ini sangat berpotensi memberikan pengaruh prestasi akademik dan kepribadian anak. Anak-anak akan mengalami tekanan emosional karena merasa hidup dalam ketidakpastian. Muaranya, akan membuat anak-anak mengalami kesulitan untuk fokus dan berkonsentrasi dalam menjalani kehidupan akademisnya.

Ini sedikit dari banyak alasan mengapa pernikahan dini perlu dicegah. Bayangkan jika banyak individu tumbuh dalam keluarga terbelah. Di masa depan sangat mungkin berakibat pada munculnya masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan mental, hingga sumber daya manusia yang rendah. Klimaks akan berdampak terhadap kualitas hidup sebuah bangsa.

Kisah Dodi merupakan satu dari banyak kasus pernikahan dini yang belum dapat diatasi secara tuntas. Dilansir dari laman media online Kumparan, UNICEF mencatat bahwa Indonesia menempati urutan ke delapan kasus pernikahan dini pada tahun 2022. Di Asia Tenggara (ASEAN) Indonesia berada di urutan ke dua pada tahun yang sama. 

Di Nusa Tenggara Barat, tren pernikahan dini termasuk dalam kategori yang memprihatinkan. Dilansir dar laman RRI, Badan Pusat Statistik merilis bahwa persentase perkawinan anak di NTB tahun 2023 meningkat ke angka 17,32% dari tahun sebelumnya sebesar 16,23%.

Data-data tersebut di atas merupakan pernikahan dini yang tercatat. Belum lagi pernikahan yang dilakukan secara siri,tidak tercatat di Kantor Urusan Agama.

Pencegahan pernikahan dini membutuhkan keterlibatan semua pihak. Pemerintah tidak cukup hanya mengandalkan regulasi tentang perkawinan. Dibutuhkan tindakan nyata berupa edukasi kepada masyarakat tentang risiko yang dapat ditimbulkan oleh pernikahan. Tidak saja dampak jangka pendek, seperti, perceraian, tetapi juga konsekuensi jangka panjang sebagaimana dijelaskan di atas.

Fakta pernikahan dini tersebut di atas mendorong mahasiswa KKN Universitas Mataram (UNRAM) mengambil bagian dari upaya pencegahan. Kegiatan KKN--dipusatkan di desa Pengembur, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, NTB--menjadikan pencegahan pernikahan dini sebagai salah satu programnya.

Bersama Karang Taruna Desa Pengembur, mahasiswa KKN UNRAM berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat setempat dengan menggelar sosialisasi pencegahan pernikahan dini. Kegiatan tersebut dipusatkan di Balai Desa Pengembur pada Sabtu, 20 Juli 2024. 

Kegiatan yang dihadiri oleh para remaja dan orang tua itu menyajikan berbagai materi penting tentang pernikahan di bawah umur yang meliputi dampak negatif terhadap kesehatan fisik dan mental, pendidikan, dan masa depan anak. 

Para peserta juga diberikan pemahaman tentang pentingnya menunda pernikahan hingga usia ideal dan persyaratan hukum pernikahan.

Ketua KKN, Rifki Ramadhan, seorang mahasiswa fakultas hukum, bersama rekan-rekannya memilih program kerja ini sebagai salah satu prioritas karena tingginya angka pernikahan usia dini.

Pencegahan pernikahan dini tentu tidak bisa dilakukan hanya dalam sekali sosialisasi. Perlu upaya berkelanjutan untuk memberikan pesan pencegahan secara berkala kepada masyarakat. Hal terpenting dari pencegahan itu adalah peran keluarga (orang tua) yang senantiasa mendampingi dan membangun komunikasi positif antar anggota keluarga, khususnya orang tua dan anak.

Lombok Timur, 07 Agustus 2024

1. https://www.australianfamilylawyers.com.au/information-centre/how-divorce-affects-children
2. https://www.rri.co.id/daerah/599923/perkawinan-anak-di-ntb-meningkat-plan-internasional-indonesia-prihatin
3. https://lombokpost.jawapos.com/ntb/1504760000/capai-246-persen-angka-pernikahan-dini-di-ntb-masih-tinggi
4. https://kumparan.com/beritaanaksurabaya/unicef-indonesia-peringkat-8-dunia-banyaknya-kasus-pernikahan-dini-20eMLxG2FyL/4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun