Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Empati Sang Guru terhadap Siswa

7 Agustus 2024   00:36 Diperbarui: 7 Agustus 2024   10:59 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, air selokan di seberang jalan meluap. Airnya menggenang ke jalan tanah dan berbatu yang membelah kampung saya. Kondisi itu dapat dipastikan membuat pengguna jalan merasakan ketidaknyamanan. Jalan rusak ditambah dengan luapan air yang memenuhi jalan kemungkinan akan menggandakan ketidaknyamanan pengguna jalan. 

Melihat kondisi itu kepala dusun setempat kekes betek tangkong (menyingsingkan lengan baju: Sasak Red). Dibantu seorang remaja, dia mulai membersihkan sampah yang menyumbat selokan. Satu-satu sampah itu dikeluarkan. Sebagian sampah itu tidak dapat diangkat karena berada dalam bagian selokan yang tertutup. Satu-satunya cara dengan membongkar penutupnya dan menyingkirkan sampah di dalam selokan. Upaya dua pria itu tidak sia-sia. Air mengalir lancar melalui selokan dan tidak lagi meluap ke jalan.

Tindakan kepala dusun dan remaja itu telah menunjukkan satu hal bahwa mereka ikut merasakan ketidaknyamanan pengguna jalan akibat luapan air tersebut.

Mereka menempatkan diri sebagai pengguna jalan dan ikut memahami bagaimana rasanya berkendara di atas jalanan yang dibalut dengan kerusakan. Ini merupakan salah satu wujud empati yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Membersihkan Lingkungan Sekolah dan Empati

Setiap pagi biasanya saya datang lebih awal ke sekolah. Sesekali saya sedikit terlambat karena satu dan lain hal. Sekali lagi hanya sesekali.

Tiba di sekolah, bersama siswa dan guru, saya ikut membersihkan halaman, memungut sampah, menyingkirkan kerikil yang bertebaran di atas hamparan paving block, atau menyeret bak sampah beroda menuju sampah yang sudah terkumpul pada titik setelah disapu siswa.

Sebagian siswa menunjukkan tanggung jawab dalam kegiatan harian ini. Kelompok siswa lain memperlihatkan sikap apatis terhadap serakan sampah yang sebagian besar dihasilkan oleh mereka sendiri. 

Di sinilah tantangannya. Menumbuhkan kesadaran tentang kebersihan kerap kali tidak relevan dan kurang efektif hanya dengan memberikan perintah dari pengeras suara. Siswa memerlukan contoh bagaimana mewujudkan kesadaran itu.

Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengambil bagian dari kegiatan bersih lingkungan sekolah bersama siswa.

Keterlibatan guru itu mendorong sebagian besar siswa bahu-membahu membersihkan lingkungan sekolah--ikut memungut sampah, memasukkannya ke bak sampah, dan menyeret bak sampah yang telah terisi untuk dibuang ke penampungan yang ada.

Lalu dimana letak empati dalam kegiatan bersih lingkungan sekolah itu? Bagi sebagian siswa bekerja membersihkan lingkungan sekolah merupakan kegiatan yang tidak menyenangkan.

Hal ini karena sampah itu kotor dan bau. Bagi sebagian lagi pekerjaan itu membuat mereka lelah dan membosankan. Apalagi untuk anak-anak yang masih suka bermain dan bercengkerama bersama teman-temannya. 

Selebihnya sikap apatis sebagian siswa itu disebabkan oleh kesadaran yang rendah dalam menjaga kebersihan lingkungan. Ini merupakan bagian dari kesulitan siswa dalam pengembangan karakter. Sama seperti kesulitan menghadapi materi pelajaran, rendahnya kesadaran itu juga merupakan bagian dari kesulitan belajar yang harus diatasi. 

Di sinilah empati itu berlaku. Keterlibatan guru dalam kegiatan kebersihan merupakan bentuk empati kepada siswa atas kegiatan yang tidak menyenangkan.

Ini juga sekaligus empati terhadap rendahnya kesadaran siswa tentang pentingnya kebersihan lingkungan. Pada titik ini, siswa patut mendapatkan empati sebagaimana empati yang diberikan kepada siswa yang mengalami kesulitan memahami materi pelajaran atau siswa yang tidak mampu membeli sepatu.

Dari sisi siswa, empati itu timbul karena dipicu oleh keterlibatan guru dalam kegiatan bersih. Adanya empati itu bisa jadi didorong oleh sebuah kondisi dimana siswa ikut merasakan bahwa guru menghabiskan energi saat membersihkan sampah.

Timbulnya empati siswa bisa juga disebabkan oleh semacam kesadaran etika bahwa bukanlah sikap yang baik bagi siswa saat melihat guru bekerja tanpa ikut membantu. Empati buru menimbulkan empati siswa. 

Empati melingkupi aspek yang sangat luas dan berbagai sendi kehidupan kolektif. Empati adalah ketika seorang tamu hotel merapikan tempat tidur di pagi hari sebelum meninggalkan kamarnya atau membuang sisa makanan ke tempat sampah. Ketika tamu undangan pesta mengambil makanan seperlunya agar tidak tersisa secara sia-sia, juga merupakan bentuk empati karena di luar sana banyak orang tidak memiliki kesempatan menikmati makanan dengan sepuasnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, empati merupakan sikap yang penting karena menjadi semacam kunci yang diperlukan setiap individu dalam membangun hubungan sosial yang sehat dan harmonis dalam kehidupan kolektif.

Empati Guru kepada Siswa

Berbagai literatur sepakat bahwa empati secara umum dapat diandaikan sebagai kemampuan untuk memahami dan merasakan sebuah kondisi yang sedang dirasakan oleh orang lain. Empati adalah menyelami pengalaman subyektif orang lain.

Empati dalam dunia pendidikan merupakan salah satu nilai yang dipercaya memicu semangat belajar. Dalam dunia pendidikan, empati merupakan konsep yang unik. Empati bagi banyak orang seringkali dipandang sebagai atribut dalam kepribadian seseorang. Dewasa ini empati mendapatkan definisi baru sebagai keterampilan yang harus dikuasai dalam menghadapi abad ke-21. Maka, empati sebagai sebuah keterampilan sebaiknya harus diasah oleh guru dalam menjalankan perannya saat berhadapan dan berbaur dengan siswa. (Sumber laman Binus University)

Dalam keseharian di satuan pendidikan, empati itu dapat ditunjukkan pada berbagai situasi. Empati dalam dunia pendidikan menjadi sebuah keterampilan yang istimewa karena menyerupai keterampilan para bijak bestari.

1. Empati dalam Interaksi Sehari-hari.

Empati dalam interaksi sehari-hari (di luar kegiatan belajar) menjadi semacam tuntutan bagi guru. Empati itu dapat ditunjukkan melalui banyak hal, antara lain, saat ngobrol sebaiknya mendengarkan siswa saat berbicara dengan penuh perhatian. 

Saat berhadapan dengan siswa, sangat penting bagi guru menunjukkan bahasa tubuh yang ramah dan terbuka, seperti tersenyum, mengangguk untuk menyetujui sesuatu yang tengah mereka sampaikan atau ceritakan, tidak menyela pembicaraan mereka, dan menjaga kontak mata. Ini merupakan pilihan sederhana yang seringkali sulit diterapkan.

Empati juga dapat dilakukan dengan menyebut atau memanggil nama yang merepesentasikan keramahan, rasa sayang, atau menimbulkan semacam kedekatan hubungan antara guru dan siswa.

Selebihnya empati dapat ditunjukkan dengan menanyakan kabar yang menyangkut kehidupan pribadi dan keluarga dan tentang pembelajaran mereka. 

Bertanya saat melihat siswa terlihat murung atau tertawa merupakan bentuk empati yang perlu dibiasakan. Ini penting untuk memahami permasalahan yang mereka hadapi. Tertawa tidak selalu menunjukkan kebahagiaan. Seseorang bisa saja tertawa karena melihat masalah temannya sebagai sebuah lelucon. Ini bagian dari kesulitan dalam proses interaksi sosial di sekolah. Untuk itulah guru hadir untuk menunjukkan empati atas kesulitan-kesulitan tersebut. 

2. Empati dalam Pembelajaran

Jika empati dimaknai sebagai sikap memahami orang lain, maka empati guru dalam proses pembelajaran sejatinya ditekankan agar memahami kemampuan dan kebutuhan belajar siswa.Guru seyogyanya dapat mengakomodasi perbedaan gaya, kebutuhan, dan kecepatan belajar siswa melalui pendekatan pembelajaran yang kini populer dengan istilah pembelajaran berdiferensiasi. Satu hal yang penting, dengan memahami kemampuan dan kebutuhan siswa, guru tetap harus memiliki ekspektasi bahwa siswa mampu mencapai hasil belajar terbaik. 

Empati guru juga dapat ditunjukkan dengan memberikan kesempatan atau waktu yang cukup kepada setiap siswa untuk mempelajari materi pelajaran. Adanya perbedaan kecepatan belajar merupakan alasan mendasar sehingga setiap siswa membutuhkan waktu yang berbeda dalam mempelajari sebuah materi pelajaran.

Wujud empati yang penting bagi seorang guru adalah menciptakan aktivitas pembelajaran dan suasana kelas yang inklusif. Ini mengacu kepada sebuah situasi dimana semua siswa merasa dapat diterima dan dihargai dalam perbedaan latar belakang status sosial, ekonomi, budaya, dan berbagai atribut lainnya.

Penting untuk diingat bahwa hak mendapatkan empati tidak saja bagi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar. Siswa yang telah berhasil mencapai tujuan pembelajaran juga layak mendapatkannya. Tidak saja ikut merasakan kesedihan, empati juga dapat ditunjukkan dengan ikut berbahagia atas keberhasilan siswa. Kebahagiaan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan pujian atau apresiasi sederhana.

3. Empati dalam Mengatasi Permasalahan

Beberapa waktu yang lalu, seorang siswa di sekolah saya hampir putus sekolah karena satu dan lain hal. Ini bagian dari tantangan yang dihadapi guru. Sekitar satu bulan siswa tersebut tidak masuk sekolah. Selama itu pula, pihak sekolah (guru dan kepala sekolah) melakukan kunjungan sebagai upaya agar siswa yang bersangkutan kembali ke sekolah.

Upaya di atas merupakan salah satu bentuk empati yang ditunjukkan pihak sekolah (baca: guru) terhadap salah satu dari sejumlah permasalahan yang dihadapi siswa. 

Permasalahan lainnya yang dihadapi sekolah adalah konflik antar siswa. Ini kerap tidak dapat dihindarkan. Kehadiran konflik itu dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya, kalah dalam permainan yang berujung perkelahian, perundungan, pemalakan, rebutan tempat duduk, atau, pada siswa usia remaja, bisa ditimbulkan oleh persaingan asmara. Dalam kondisi ini, guru hadir untuk melakukan mediasi dan membangun kembali hubungan positif antar siswa yang terlibat konflik. Ini merupakan wujud empati guru dalam menyelesaikan konflik antar siswa.

Bentuk empati lain dalam mengatasi masalah yaitu dengan memberikan dukungan emosional kepada siswa yang memerlukan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa sekolah selalu secara niscaya diwarnai perbedaan latar belakang siswa. Ada siswa yang yang datang ke sekolah dari keluarga yang penuh konflik. Sebagian lagi tumbuh dalam keluarga yang terpecah. Ada siswa remaja yang mengalami kemelut asmara atau menghadapi tekanan ekonomi. 

Semua itu merupakan merupakan jenis permasalahan yang dihadapi siswa. Lagi-lagi guru dituntut hadir di samping mereka dengan berbekal empati untuk memberikan dukungan emosional--memberikan semangat dan motivasi, menunjukkan kepedulian, membantu mencari solusi, atau sekadar mendengarkan cerita siswa tentang permasalahannya.

Mendefinisikan empati mungkin semudah membalik telapak tangan tetapi berat untuk diwujudkan.

Lombok Timur, 6 Agustus 2024

Sumber bacaan : https://binus.ac.id/knowledge/2020/01/mendorong-sikap-empati-di-sekolah-institusi/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun