Upaya di atas merupakan salah satu bentuk empati yang ditunjukkan pihak sekolah (baca: guru) terhadap salah satu dari sejumlah permasalahan yang dihadapi siswa.
Permasalahan lainnya yang dihadapi sekolah adalah konflik antar siswa. Ini kerap tidak dapat dihindarkan. Kehadiran konflik itu dapat disebabkan oleh banyak hal, misalnya, kalah dalam permainan yang berujung perkelahian, perundungan, pemalakan, rebutan tempat duduk, atau, pada siswa usia remaja, bisa ditimbulkan oleh persaingan asmara. Dalam kondisi ini, guru hadir untuk melakukan mediasi dan membangun kembali hubungan positif antar siswa yang terlibat konflik. Ini merupakan wujud empati guru dalam menyelesaikan konflik antar siswa.
Bentuk empati lain dalam mengatasi masalah yaitu dengan memberikan dukungan emosional kepada siswa yang memerlukan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa sekolah selalu secara niscaya diwarnai perbedaan latar belakang siswa. Ada siswa yang yang datang ke sekolah dari keluarga yang penuh konflik. Sebagian lagi tumbuh dalam keluarga yang terpecah. Ada siswa remaja yang mengalami kemelut asmara atau menghadapi tekanan ekonomi.
Semua itu merupakan merupakan jenis permasalahan yang dihadapi siswa. Lagi-lagi guru dituntut hadir di samping mereka dengan berbekal empati untuk memberikan dukungan emosional--memberikan semangat dan motivasi, menunjukkan kepedulian, membantu mencari solusi, atau sekadar mendengarkan cerita siswa tentang permasalahannya.
Mendefinisikan empati mungkin semudah membalik telapak tangan tetapi berat untuk diwujudkan.
Lombok Timur, 6 Agustus 2024
Sumber bacaan : https://binus.ac.id/knowledge/2020/01/mendorong-sikap-empati-di-sekolah-institusi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H