Minggu, 28 Juli 2024, saya menengok anak saya yang sedang mengikuti kegiatan KKN. Lokasinya berada di Desa Pengembur, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Bersama 9 orang temannya, selama 45 hari, dia tengah menjalani salah satu mata kuliah itu dengan berbagai program.
Memasuki Desa Pengembur, sepanjang jalan dan sejauh mata memandang tampak hamparan persawahan yang landai. Sebagian persawahan itu terlihat kerontang. Hanya terlihat sisa batang padi yang telah dipanen.
Sebagian lagi mulai hijau dengan tanaman tembakau. Di samping itu ada tanaman semangka, kedelai, dan hortikultura lainnya yang menjadi andalan para petani.
Desa Pengembur memiliki wilayah yang cukup luas. Desa ini terletak di sebelah selatan Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid (Bizam), Praya, Lombok Tengah. Jarak tempuh dari Bandara ke Desa Pengembur sekitar 8 km.
Satu hal yang menarik di Desa Pengembur adalah keberadaan sebuah kelompok tani yang mewadahi para petani di desa tersebut. Kelompok Tani tersebut bernama Kelompok Tani Semu Dane.
Adalah Pajarudin nama ketua kelompok Tani tersebut. Laki-laki berusia mendekati 70 tahunan itu tergopoh-gopoh melihat kedatangan saya ke rumahnya. Dia begitu ramah menyapa saat melihat saya duduk menunggu di teras rumahnya ketika pulang dari sawah.
Kami duduk di kursi yang terbuat dari ban bekas. Di atas meja bundar yang juga berbahan ban bekas ada kopi yang disuguhkan anak perempuan Pak Pajar saat saya datang.
Di halaman terlihat selembar terpal berwarna oranye melingkupi dua buah traktor. Alat pertanian itu merupakan bantuan dari dinas pertanian kabupaten setempat.
Kelompok Tani yang dikelola Pak Pajarudin beranggotakan sekitar 40 orang. Melalui kelompok tani itu, Pajarudin berusaha memberikan edukasi kepada anggota dan masyarakat setempat untuk melakukan perawatan tanaman secara organik dengan memanfaatkan produk berbahan alami.
Pajar menunjukkan salah satu botol pupuk cair yang dibuat dan diproduksi sendiri. Semua bahan pupuk itu diambil dari alam sekitar. Bahannya berupa akar bambu, kapur Sirih, terasi, molase (gula), penyedap makanan (vetsin), dan air kelapa/air cucian beras.
Produk lain yang dihasilkan Pajar bersama kelompoknya berupa pestisida nabati. Sama dengan pupuk pestisida organik itu dibuat dengan memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada, seperti, gadung, biji/daun mimba, lengkuas, dan kunyit.
Lelaki itu rupanya paham betul soal tetek bengek pertanian. Saat menyebut tentang asam amino, misalnya, Pak Pajar mengaku terbiasa memproduksi sendiri.
Asam amino, menurutnya, merupakan pengganti pupuk NPK yang berfungsi meningkatkan kualitas rasa tanaman, mempercepat proses pembungaan dan pembuahan tanaman, hingga meningkatkan berat atau bobot biji dan buah tanaman.
Bahan asam amino yang dibuat Pak Pajar terdiri dari buah nanas muda, pisang yang telah matang, ikan lele/ikan teri, eceng gondok, dan molase/gula, EM.4, dan Air cucian beras.
Semua bahan dihaluskan lalu dimasukkan ke air beras yang telah disiapkan dan difermentasi selama 30 hari.
Saat ini kelompok tani yang dipimpinnya juga memproduksi pupuk kompos. Katanya, tahun ini produksinya sudah mencapai sekitar 40 ton pupuk kompos. Sebagian pupuk itu digunakan anggotanya dan sebagian lagi dijual.
Satu hal menarik dari cerita Pajarudin adalah teknik pembasmian hama tikus dengan pembuatan sarang dan budi daya burung hantu.
Seekor burung hantu, katanya, dapat menghasilkan 12 butir telur. Setiap burung hantu dapat mengkonsumsi 5-7 tikus.
Kalkulasi sederhana itu memberikan gambaran bahwa pembasmian hama tikus dengan burung hantu tergolong efektif.
Pak Pajar berkesimpulan bahwa teknik pembasmian hama dengan burung hantu ternyata cukup efektif karena dalam beberapa tahun terakhir nyaris tidak ada keluhan kerusakan tanaman dari para petani setempat akibat serangan binatang pengerat tersebut.
Di beberapa tempat yang berbeda teknik pembasmian tikus ini mulai dijadikan alternatif sejumlah petani.
Ngobrol soal dunia pertanian, Pak Pajar terlihat begitu bersemangat. Pria yang sudah melampaui usia paruh baya itu mengaku tidak tamat sekolah dasar. Berbagai pengetahuan dalam dunia pertanian didapatkan melalui sejumlah pelatihan yang dia ikuti.
Pak Pajar memegang prinsip para leluhur, semacam ungkapan dalam Sasak, bahwa hidup itu terpusat tiga hal. Ngaro, ngarat, dan ngaji.
Ngaro dalam bahasa Sasak merupakan istilah pertanian yang berarti mengolah tanah. Ngaro secara filosofi merujuk kepada serangkaian aktivitas pertanian.
Pak Pajar menggambarkan dengan pikiran sederhana bahwa apa jadinya jika kehidupan manusia lepas sama sekali dari dunia pertanian sebagai satu-satunya aktivitas yang menghasilkan kebutuhan dasar manusia yaitu, kebutuhan pangan (makanan).
Ngarat secara harfiah dalam bahasa Sasak berarti memelihara hewan. Ngarat menurutnya bukan hanya memelihara hewan tetapi semua makhluk hidup dan alam.
Dengan menggunakan teknik pertanian yang bersandar pada alam merupakan cara paling masuk akal untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Ngaji biasanya identik dengan belajar al-Qur'an. Dalam konsep Pak Pajar, ngaji lebih dari itu. Istilah itu mengacu kepada belajar sebagai bagian dari kebutuhan manusia.
Belajar, baginya, bukan hanya di bangku pendidikan formal tetapi juga belajar dari alam. Seseorang harus terus belajar bagaimana memanfaatkan alam tanpa harus membuatnya tercemar dan rusak oleh aktivitas yang melibatkan hal-hal instan.
"Dari alam untuk alam". Demikian kurang lebih jargon Pajarudin.
Lombok Timur, 29 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H