Judi merupakan aktivitas yang merusak mental baik secara individu maupun sosial. "Judi meracuni kehidupan," pekik Bang Rhoma dalam lagunya berjudul "Judi".
Judi identik dengan taruhan, sebuah aktivitas permainan dengan mempertaruhkan uang atau barang-barang berharga dan barang lain yang mungkin untuk dipertaruhkan dalam permainan tersebut.
Judi pada dasarnya memiliki sejarah panjang dalam peradaban manusia. Dilansir dari Nasional Geographic Indonesia, judi telah menjadi salah satu peradaban tertua di dunia. Dalam sejarahnya aktivitas judi telah diatur dan dibatasi atau bahkan dilarang.
Peraturan judi telah diberlakukan dalam sejarah hukum Cina kuno, Romawi, Talmud Yahudi, hukum Islam, dan ajaran Buddha. Masih dari sumber yang sama, di Mesir kuno, misalnya, para pelaku atau pemain penjudi dapat dihukum pemerintah dengan melakukan kerja paksa di tambang.
Dalam dalam pandangan Islam, para ulama telah mensyaratkan ciri-ciri permainan yang mengandung unsur judi. Pertama, permainan disertai oleh dua orang/lebih atau dua kumpulan manusia/lebih.
Kedua, setiap pihak mempertaruhkan sesuatu harta atau manfaat. Ketiga, pihak yang menang akan memperoleh harta atau manfaat dari pihak yang kalah.
Ciri-ciri di atas mengingatkan kembali ke masa kanak-kanak jauh ketika teknologi digital masih dalam rahim sang waktu. Permainan dengan unsur judi juga sudah dikenal anak-anak ketika sedang mencari rumput untuk hewan peliharan sapi, kerbau, atau kambing.
Dalam sebuah permainan, anak-anak pencari rumput menggunakan rumput hasil ngarit sebagai taruhan. Pemenangnya akan mendapatkan rumput lawan yang telah terkumpul.
Biasanya permainan dilakukan dengan menggunakan batang pohon ilalang. Ilalang itu dipilin dan salah satu ujungnya dibiarkan agak panjang dari ujung ilalang yang lain.
Salah seorang anak memegang ilalang dan anak lainnya mengambil ilalang dengan mencabutnya dari pangkal. Anak yang berhasil mengambil mencabut dengan ujung yang lebih panjang akan menjadi pemenangnya dan rumput lawan berhak menjadi miliknya.
Permainan lainnya dengan melempar sabit ke arah sebuah titik, semacam gawang kecil yang dibuat dengan menancapkan dua ranting. Anak yang berhasil melemparkan sabit di antara dua tancapan ranting berhak membawa pulang rumput lawannya.
Jika kembali kepada ciri-ciri judi dalam pandangan Islam di atas, permainan yang dilakukan anak-anak itu merupakan permainan yang memiliki unsur judi. Mereka menggunakan taruhan berupa rumput dalam sebuah permainan.
Permainan ilalang dan lempar sabit merupakan bentuk judi sederhana yang dilakukan. Namun apa jadinya jika judi sudah merambah ke berbagai sendi kehidupan?
Judi dapat dilakukan dalam berbagai situasi. Penonton bisa memasang taruhan pada pertandingan sepak bola, pertanndingan tinju, atau balapan motor GP.
Ketika nonton bareng di kampung, bentuk taruhan bisa berupa uang puluhan sampai ratusan ribu, sebungkus rokok, handphone, atau barang-barang lain yang mungkin dapat dipertaruhkan.
Di berbagai daerah kita mengenal berbagai permainan lokal yang melibatkan aspek perjudian atau taruhan, misalnya, sabung ayam, adu domba, karapan sapi, sampai balapan kuda. Permainan dengan unsur judi paling populer berupa permainan kartu remi, domino, dan bilyar. Ada pula judi buntut
Ajang pemilihan kepala desa yang saya ketahui hampir selalu menjadi ruang judi paling seru dan menarik. Taruhannya bisa berupa uang ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah, sapi, kuda, ayam, itik, sampai merpati peliharaan.
Judi bahkan mampu mempengaruhi suara pemilih pada pemilihan kepala desa. Modus yang digunakan juga unik.
Menurut pengakuan para pelaku, mereka biasanya menggunakan modus dengan membayar pemilih untuk mencoblos calon yang dipertaruhkan. Pelaku judi seperti ini biasa bagian dari tim sukses.
Ada pula yang memang dimotivasi oleh kemenangan judi itu sendiri. Kelompok ini biasanya bermain pada tingkat TPS.
Mereka terlebih dahulu memetakan pemilih berdasarkan TPS di mana kemungkinan calon yang dipasang akan memberikan peluang kemenangan yang paling memungkinkan.
Oleh karena itu, bisa jadi di setiap TPS para pemain akan memegang calon yang berbeda-beda. Ini sangat tergantung pada pertimbangan kekuatan kandidat yang ada di TPS yang bersangkutan.
Rupanya praktek perjudian juga terjadi dalam pesta demokrasi di tingkat pilkada. Dalam jurnal berjudul Hegemoni Pejudi Dalam Pilkada Di Indonesia, Agus Machfud Fauzi, akademisi dari Unesa, telah disinyalir bahwa perjudian dalam pilkada menjadi salah satu modus pemenangan para calon.
Modus perjudian di tingkat pilkada tidak berbeda dengan pilkades. Agus menulis bahwa para pebotoh (penjudi) menggelar operasi politik uang demi mendongkrak suara jagoannya, contohnya bertaruh Rp 1 milyar, maka jika memperoleh kemenangan, sang pebotoh mendapat Rp 2 milyar.
Supaya mendapat kemenangan maka ia siap berinvestasi Rp 500 juta lagi ditebar sebagai politik uang pada pemilih. Hal ini yang mencederai proses demokrasi di lapangan.
Belakangan judi dianggap menjadi aktivitas yang meresahkan oleh pemerintah, terutama judi online.
Keresahan itu kemudian membuat pemerintah mengkambinghitamkan platform tertentu yang dianggap sebagai pemicu utama berkembangnya judi online. Hal ini mengakibatkan terancamnya Platform X diblokir Kominfo.
Tentu tidak salah jika pemblokiran tersebut bertujuan memberantas perjudian. Platform X (twitter) memang cenderung memberikan kebebasan untuk beredarnya konten negatif dan perjudian.
Namun harus diakui pula platform yang kini dikuasai Elon Musk menjadi salah satu media untuk menyampaikan opini tentang berbagai isu yang berkembang di tengah masyarakat.
Sebagai catatan, jika pemerintah serius memberantas perjudian seharusnya tidak saja menyasar judi online tetapi juga berbagai bentuk perjudian yang berkembang di masyarakat. Judi dalam politik harus ditangani secara serius.
Edukasi dan kesadaran jauh lebih penting dan bersifat jangka panjang tinimbang ancaman blokir terhadap platform tertentu. Sejauh ini pelaku judi kerap dianggap berasal dari masyarakat dengan penghasilan pas-pasan.
Padahal, perjudian dalam pilkada melibatkan orang-orang berduit. Jadi, perilaku judi bukan soal kemiskinan tetapi permasalahan mental yang perlu mendapatkan edukasi dan kesadaran.
Lombok Timur, 18 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H