Senin pagi, 3 Juni 2024, ada sedikit gerimis bersamaan dengan munculnya mentari di ufuk timur. Titik air itu menerpa atap rumah, rimbun daun lengkeng, dan membilas bunga-bunga. Rintik itu juga menyiram pekarangan dan menjinakkan debu halaman dan jalan tanah di depan rumah.
Kondisi cuaca tersebut menjadi salah satu tantangan saya hari ini untuk berangkat ke sekolah. Tantangan lainnya motor macet. Saat dikeluarkan dari gudang, kuda besi tua itu ngambek macam kuda betulan belum disuguhi rumput.
Berulang kali saya mencoba menginjak tangkai starter sampai betis terasa pegal. Namun, sang kuda bergeming. Tidak ada tanda-tanda mau hidup. Saya di ambang putus asa. Kuda itu benar-benar tidak dapat mengantarkan saya ke sekolah.
Jarak dari rumah ke sekolah jika ditempuh dengan jalan kaki lumayan jauh, antara 2-2.5 km. Saya membayangkan seloroh warga kampung sepanjang jalan melihat saya jalan kaki.
“Koreknya hilang ya Pak?”
Seloroh itu biasa dilontarkan kepada seseorang yang biasa berkendara lalu terlihat jalan kaki. Pernyataan itu bukan sebuah hinaan, hanya seloroh sebagai respon karena menjadi terlihat ganjil seseorang yang lalu lalang dengan motor, tiba-tiba tampak jalan kaki.
Mau dibawa ke bengkel saya bisa terlambat ke sekolah. Bisa jadi juga seharian baru bisa selesai diperbaiki. Perkiraan kedua ini dapat menghambat kehadiran saya ke sekolah.
Sejenak saya berpikir mencari jalan keluar, mencari cara supaya saya bisa ke sekolah. Dalam beberapa tarikan asap rokok saya menemukan pilihan tepat.
Saya ingat ada sepeda di gudang. Akhirnya saya memutuskan menggunakan kendaraan kayuh itu untuk pergi ke sekolah. Saya masuk gudang dan mengeluarkan sepeda itu. Saya menuntunnya hingga gerbang halaman.
Saya pun mulai mengayuh. Sekitar 500 meter saya harus menempuh jalanan desa yang parah. Lubang pada punggung jalan di sana sini membuat saya terguncang di atas sepeda. Roda sepeda kadang meleset saat menggilas kerikil yang berserakan. Untungnya semuanya masih di bawah kendali. Sepanjang jalan banyak warga memperhatikan saya sambil tersenyum karena mendayung sepeda.
Sepanjang jalan beberapa warga tampak tertarik saat melintas di hadapan mereka. Mungkin mereka melihat saya seperti guru Umar Bakri dalam salah satu lagu lawas Iwan Fals.
"Wah, luar biasa," seru seorang warga saat saya berpapasan.
"Ini patut dicontoh," kata warga lainnya.
Saya berusaha merespon sapaan warga dengan senyum sambil menikmati guncangan akibat jalan desa yang tidak rata karena kerusakan parah.
Kerusakan jalan terjadi terutama pada tanjakan akibat kikisan air musim hujan. Drainase yang tidak terurus membuat air selokan meluap ke permukaan jalan dan menghanyutkan tanah di atasnya.
Saat melintas di jalan desa yang mulus, saya mulai lebih nyaman mengayuh. Tubuh tidak terguncang-guncang dan tidak perlu lagi menghindari lubang jalanan.
Sekitar 200-250 meter berlalu, roda sepeda saya mulai lagi menggilas jalan berlubang dan penuh kerikil sampai di sekolah. Kondisi jalan membuat saya tersengal. Atau bisa jadi karena saya jarang naik sepeda.
Paha dan betis sedikit terasa pegal. Saat pulang saya mencari alternatif jalan lain dengan jarak tempuh yang lebih panjang. Namun sebagian jalan itu juga tidak cukup nyaman untuk dilintasi.
Jalanan di kampung atau di desa tidak dikenal adanya pemisahan jalan berdasarkan jenis kendaraan. Mobil, motor, sepeda, cidomo, delman/cikar, dan berbagai jenis kendaraan lainnya. Maka tidak ada jalan khusus sebagai jalur sepeda.
Sayang budaya bersepeda saat ini sangat kurang. Bisa jadi disebabkan oleh tingkat mobilitas masyarakat yang ingin lebih cepat sampai tujuan.
Khusus di daerah saya, mungkin juga di daerah lain di Nusantara, kurangnya budaya bersepeda juga tampak di kalangan siswa. Anak-anak SMA bahkan SMP lebih banyak menggunakan motor untuk pergi ke sekolah.
Penerapan budaya bersepeda di sekolah penting untuk dilakukan. Tidak saja saja menyehatkan tetapi mengurangi penggunaan energi fosil dan menekan tingkat polusi yang dihasilkan kendaraan bermotor. Diperlukan campur tangan berbagai pihak tentunya.
Beberapa sekolah menengah memang memiliki aturan bahwa siswa tidak diperbolehkan menggunakan sepeda motor ke sekolah. Namun aturan itu tidak memberikan pengaruh secara signifikan. Masih banyak siswa membawa motor sendiri. Hanya saja motor itu dititipkan pada jasa parkir yang disediakan masyarakat di sekitar sekolah.
Andai saja ada regulasi pemerintah daerah yang mengatur tentang penerapan penggunaan sepeda di sekolah mungkin budaya bersepeda dapat diwujudkan.
Lombok Timur, 03 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H