Sepanjang jalan beberapa warga tampak tertarik saat melintas di hadapan mereka. Mungkin mereka melihat saya seperti guru Umar Bakri dalam salah satu lagu lawas Iwan Fals.
"Wah, luar biasa," seru seorang warga saat saya berpapasan.
"Ini patut dicontoh," kata warga lainnya.
Saya berusaha merespon sapaan warga dengan senyum sambil menikmati guncangan akibat jalan desa yang tidak rata karena kerusakan parah.
Kerusakan jalan terjadi terutama pada tanjakan akibat kikisan air musim hujan. Drainase yang tidak terurus membuat air selokan meluap ke permukaan jalan dan menghanyutkan tanah di atasnya.
Saat melintas di jalan desa yang mulus, saya mulai lebih nyaman mengayuh. Tubuh tidak terguncang-guncang dan tidak perlu lagi menghindari lubang jalanan.
Sekitar 200-250 meter berlalu, roda sepeda saya mulai lagi menggilas jalan berlubang dan penuh kerikil sampai di sekolah. Kondisi jalan membuat saya tersengal. Atau bisa jadi karena saya jarang naik sepeda.
Paha dan betis sedikit terasa pegal. Saat pulang saya mencari alternatif jalan lain dengan jarak tempuh yang lebih panjang. Namun sebagian jalan itu juga tidak cukup nyaman untuk dilintasi.
Jalanan di kampung atau di desa tidak dikenal adanya pemisahan jalan berdasarkan jenis kendaraan. Mobil, motor, sepeda, cidomo, delman/cikar, dan berbagai jenis kendaraan lainnya. Maka tidak ada jalan khusus sebagai jalur sepeda.
Sayang budaya bersepeda saat ini sangat kurang. Bisa jadi disebabkan oleh tingkat mobilitas masyarakat yang ingin lebih cepat sampai tujuan.
Khusus di daerah saya, mungkin juga di daerah lain di Nusantara, kurangnya budaya bersepeda juga tampak di kalangan siswa. Anak-anak SMA bahkan SMP lebih banyak menggunakan motor untuk pergi ke sekolah.