Lombok dikenal dengan banyaknya bangunan masjid yang bertebaran di berbagai tempat. Di setiap desa minimal ada satu bangunan masjid. Di Desa saya ada lima masjid yang dijadikan tempat ibadah shalat Jumat. Belum lagi mushalla atau surau di setiap gubuk atau kampung. Di sepanjang jalan, tempat shalat berupa masjid atau surau dapat ditemukan. Anda tidak perlu bingung untuk menunaikan shalat jika melakukan perjalanan keliling Lombok
Keberadaan masjid yang begitu banyak membuat Lombok dijuluki pulau 1000 masjid. Julukan ini bisa jadi memberikan kesan betapa religius dan fanatiknya masyarakat Sasak terhadap Islam agama yang dianutnya. Fanatik tentu saja diperlukan karena menjadi pondasi dasar seseorang dalam beragama sehingga benar-benar dapat menghayati ajaran agama yang diyakininya.
Namun, dibalik kesan itu Anda akan menemukan betapa tingginya toleransi umat Islam masyarakat Sasak. Fanatik beragama dalam masyarakat Sasak tentu bukanlah fanatik buta yang dapat memicu intoleransi.
Masyarakat Sasak tetap memegang teguh larangan Allah SWT untuk mencela agama lain yang tertuang dalam Al-Qur'an.
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka pasti akan memaki Allah dengan melampaui batas… “(QS.Al an’Am:108)
Ayat di atas menunjukkan hubungan yang erat dengan keyakinan orang lain sekaligus menjelaskan bahwa betapa Islam melarang umatnya untuk mencela seseorang karena perbedaan keyakinan. Inilah yang menjadi pedoman sehingga terciptanya harmoni kehidupan beragama.
Klaim bahwa betapa kentalnya nuansa toleransi dalam kehidupan beragama masyarakat Sasak dapat dibuktikan dengan keberagaman keyakinan yang berkembang. Di tengah mayoritas Muslim di Lombok, ada minoritas Hindu sebagai umat terbesar kedua yang hidup berdampingan sejak berabad secara damai. Kedua agama itu telah lama hidup berbaur dalam harmoni.
Memang benar bahwa selalu ada potensi konflik dalam keberagaman. Namun sejauh ini tidak terlalu signifikan mengingat masyarakat dan pemerintah selalu berupaya untuk meredam setiap potensi perpecahan.
Memasuki wilayah Lombok Barat, Kota mataram, atau Lombok Utara, sudah menjadi pemandangan biasa umat Hindu mondar mandir di jalanan dengan pakaian adat yang digunakan ke pura untuk beribadah dan hari-hari besar lainnya.
Sejumlah pura peninggalan agama Hindu juga masih terawat dengan baik dan tetap berfungsi sebagai pusat persembahyangan. Pura Narmada, Pura Mayura (Meru), Pura Lingsar, Pura Suranadi, dan sejumlah pura lainnya merupakan tempat suci umat Hindu yang telah menjadi bagian dari khazanah keagamaan dan budaya di Lombok.
Pura Meru, yang terletak di Taman Mayura Cakranegara, merupakan bangunan suci umat Hindu yang diklaim sebagai pura terbesar dan tertua di Lombok. Pura Meru memiliki arsitektur yang cukup unik berupa meru dengan atap bertingkat.
Meru merupakan gunung suci dalam kosmologi Hindu dan Budha yang dianggap sebagai pusat alam semesta, baik secara fisik maupun metafisik spiritual. (Sumber Wikipedia)
Menurut sejarah, Pura Meru dibangun pada abad ke-18 yang melibatkan 33 desa di Pulau Lombok. Pura ini didirikan di bawah pemerintahan Anak Agung Made Karangasem. (Sumber Tripadvisor)
Situs-situs keagamaan itu tetap dipertahankan tidak saja sebagai pusat peribadatan tetapi juga pusat wisata dan saksi sejarah keberadaan Hindu, khususnya, di Lombok.
Demikian pula ritual ibadah umat Hindu. Perayaan hari-hari besar keagamaan juga tetap berlangsung, seperti, Nyepi dan Galungan.
Salah satu ritual umat Hindu di Lombok yang paling meriah adalah parade Ogoh-Ogoh. Parade ogoh ogoh berlangsung sebelum Nyepi atau Malam Tahun Baru Saka. Patung-patung Ogoh-Ogoh itu diarak dari satu tempat ke tempat lain dalam parade yang disaksikan oleh berbagai lapisan masyarakat.
Setelah diarak, semua ogoh-ogoh sebagai simbol Bhuta Kala, yang merupakan simbol dari keburukan sifat manusia dan hal negatif dalam alam semesta, akan dibakar sebagai makna menghilangkan sifat buruk manusia dan kejahatan. (Dikutip dari berbagai sumber)
Tahun 2024, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, ritual arak-arakan Ogoh-Ogoh di Lombok berlangsung menjelang kedatangan bulan suci Ramadhan. Namun kondisi itu tidak membuat parade kehilangan makna dan kemeriahan. Masyarakat seakan mendapatkan hiburan menjelang Ramadan. Mereka tumpah ruah memenuhi jalan untuk menyaksikan peristiwa itu.
Minggu, 10 Maret 2024, lebih dari 100 patung Ogoh-Ogoh diarak sepanjang Jalan Pejanggik menuju Cakra Negara. Arak-arakan dimulai dari simpang empat Bank Indonesia sampai simpang empat Cakranegara menuju jalan Selaparang, Cakranegara.
Sejumlah ruas jalan ditutup demi kelancaran parade ogoh-ogoh di tahun ketiga pasca COVID. Ini sudah menjadi rutinitas tahunan umat Hindu di Lombok dan telah berlangsung berabad-abad. Sejauh ini tidak ada protes dari umat Islam setempat.
Umat Islam di Lombok selalu menunjukkan sikap toleransi dan dukungan yang telah ditunjukkan masyarakat pulau 1000 Masjid. Parade itu bahkan menjadi momentum yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat dan menarik perhatian wisatawan.
Ogoh ogoh berukuran raksasa itu diarak dengan iringan musik gamelan khas Bali. Sejumlah kesenian musik khas Sasak, ale-ale dan kecimol, juga berpartisipasi dalam meramaikan arak-arakan Ogoh Ogoh.
Ogoh-ogoh tidak saja menjadi medium ritual umat Hindu. Patung-patung yang menggambarkan hawa nafsu kejahatan itu sekaligus mengekspresikan seni dan kreativitas. Di balik rupa dan bentuknya yang menyeramkan, pembuatan ogoh-ogoh itu jelas melibatkan kemampuan imajinasi dan daya kreatif rekan-rekan umat Hindu.
Saat Nyepi berlangsung, toleransi itu juga tetap terjaga. Jalan-jalan di pemukiman umat Hindu ditutup untuk menjamin ketenangan umat Hindu menjalankan kegiatan ibadahnya. Masjid yang dekat dengan kegiatan Nyepi juga tidak menggunakan pengeras suara sebagai bentuk penghormatan terhadap umat Hindu.
Sikap toleransi juga ditunjukkan oleh umat Hindu setiap kali umat Islam melaksanakan kegiatan hari-hari besar keagamaan. Bahkan ada tradisi perang topat, sebuah tradisi saling lempar dengan ketupat yang diselenggarakan secara tahunan di Pura Lingsar Narmada. (Sumber lombokbaratkab.go.id) Aksi itu melibatkan umat Islam dan umat Hindu. Ritual ini merupakan bentuk komunikasi dan kebersamaan antara warga Hindu dan Islam di daerah setempat sebagai perwujudan toleransi dan moderasi kehidupan beragama di pulau Lombok
Itulah sedikit catatan kecil tentang toleransi kehidupan beragama Lombok. Hidup damai dalam keberagaman tetap terjaga dari masa ke masa.
Lombok Timur, 12 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H