Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Sambut Ramadan dengan 1001 Tebolak Beak dan Makan Gratis

8 Maret 2024   23:25 Diperbarui: 9 Maret 2024   12:40 2220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual menyambut Ramadan dengan 1001 tebolak beak (tribunlombok.com/AHMAD WAWAN SUGANDIKA)

Ramadan merupakan bulan yang sangat dinantikan umat Islam. Bulan ini diyakini sebagai bulan penuh berkah. Umat Islam percaya bahwa Ramadan memberikan kebaikan yang berlipat ganda bagi mereka yang menjalankan perintah-Nya untuk puasa dengan ikhlas dan sungguh-sungguh. Keyakinan paling populer adalah bahwa bulan suci ini merupakan bulan paling mulia di antara bulan-bulan lainnya.

Keyakinan tersebut mendorong kaum Muslim di Nusantara, khususnya, melahirkan tradisi penyambutan kedatangan Ramadan dengan beragam cara di berbagai daerah.

Tradisi ini berkembang menjadi kekayaan budaya Nusantara yang tidak saja memiliki nilai religius dan spiritual tetapi juga nilai sosial budaya yang penting sebagai ciri khas Nusantara di setiap daerah.

Dikutip dari berbagai sumber, di Aceh ada Meugang atau Mak Meugeng, tradisi menyembelih sapi, kerbau, atau kambing menjelang Ramadan, Idul Fitri, idul Adha.

Daging sembelihan itu kemudian dimasak dan dihidangkan secara bersama-sama. Di Jakarta (Betawi) ada Nyorog, Tabuh Bedug di Jawa tengah, atau Beli Emas di Jawa Timur.

Masyarakat Sasak, sebagai penganut mayoritas Islam, juga memiliki tradisi menyambut Ramadan dengan caranya sendiri. Tradisi itu telah menjadi bagian dari identitas masyarakat Sasak yang telah ada selama berabad-abad.

Roah Topat, Roah Kebian, dan Roah Tebolak Beak

Rabu, 06 Maret 2024, siang menjelang sore, jalan kecil itu menjadi berubah menjadi merah menyala. Kontras dengan hijau persawahan yang menghampari alam di sekitarnya, warna merah itu bergerak perlahan menutupi jalan menuju pemakaman. Bukan karpet tetapi dulang yang ditutup dengan tebolak beak.

Dalam masyarakat Sasak tradisional, dulang dikenal sebagai baki atau nampan dari kayu dengan kaki yang agak tinggi untuk menyajikan makanan dalam acara pesta.

Tebolak dalam bahasa Sasak berarti tudung saji, sedangkan beak berarti merah. Tebolak beak merupakan tudung saji berwarna merah yang terbuat dari daun lontar, berfungsi sebagai penutup makanan untuk melindungi makanan agar tidak terkena debu, kotoran, atau kerumunan lalat dan serangga lainnya. 

Dulang dengan penutup tebolak beak itu dibawa barisan para perempuan menuju Tempat Pemakaman Umum (TPU) Batu Ngereng, Dusun Gelanggang Bowoh, Desa Gelanggang, Sakra Timur. Apa yang dilakukan kelompok perempuan itu merupakan ritual menyambut bulan suci Ramadan yang dikenal dengan istilah roah tebolak beak.

SS Youtube Samalas Media
SS Youtube Samalas Media

Di Lombok, masyarakat Sasak memiliki cara tersendiri untuk menyambut Ramadan. Di tempat saya, tradisi menyambut ramadan dilakukan dengan cara sederhana.

Namanya roah topat. Roah (ruwah) berarti selamatan, syukuran (pesta), dan topat artinya ketupat. Roah topat, dengan demikian, berarti selamatan dengan menyajikan ketupat. 

Mengapa topat atau ketupat? Saya belum mendapatkan penjelasan historis mengapa memilih ketupat. Namun, satu hal yang pasti bahwa topat merupakan salah satu kearifan lokal di berbagai daerah di Nusantara. Topat makanan sederhana yang bisa jadi mewakili masyarakat Nusantara.

Roah topat biasanya dilakukan dengan doa bersama di masjid atau langgar. Semua warga, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang tua, datang secara bersama-sama untuk berkumpul. Para perempuan tidak lupa membawa topat dengan berbagai jenis makanan.

Ritual roah topat didahului dengan doa dan zikir yang dipimpin oleh tokoh agama, kadang diisi dengan ceramah atau pengajian, bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Bagian akhir roah topat dilakukan dengan begibung atau makan bersama. Roah topat dilakukan satu dua hari menjelang Ramadan. 

Di tempat lain di Lombok Tengah dan beberapa desa di Lombok Timur dan beberapa tempat lainnya, tradisi menyambut Ramadan dikenal dengan roah kebian. Kebian memiliki makna yang mengacu pada waktu sore karena umumnya dilaksanakan pada waktu sore.

Kembali ke roah tebolak beak yang dilakukan masyarakat Sakra Timur di atas. Ritual ini pada dasarnya sama dengan roah kebian atau roah topat.

Ritual itu menjadi unik karena diselenggarakan di tempat pemakaman umum dan dilakukan secara massal yang melibatkan masyarakat dari 3 desa, yaitu, Desa Sakra Selatan, Desa Lepak, dan Desa Gelanggang di Kecamatan Sakra Timur.

Pemilihan TPU Batu Ngereng sebagai pusat kegiatan mungkin karena ada ikatan sejarah dimana leluhur masyarakat dari tiga desa tersebut dimakamkan di tempat itu.

Roah tebolak beak pada dasarnya telah dilakukan secara turun temurun. Mengapa di kuburan? Ritual ini secara historis merupakan tradisi ziarah kubur menjelang Ramadan.

Ada juga yang melakukannya saat lebaran Idul Fitri atau Idul Adha. Saat ziarah mereka membawa dulang tebolak beak yang berisi berbagai jenis makanan. 

Saya ingat lamat-lamat saat masih kecil dulu, almarhum kakek sering mengajak saya menghadiri undangan warga untuk mengikuti ziarah kubur. 

Dalam ziarah itu kakek diminta memimpin doa untuk keluarga yang telah meninggal dunia dan keselamatan bagi yang masih hidup. Setelah berdoa kemudian diikuti dengan membuka dulang tebolak beak dan makan bersama di kuburan.

Sekarang tradisi berdoa dengan membawa makanan ke kuburan sudah jarang. Tradisi ini masih berlangsung hanya di beberapa tempat. Salah satunya di Dusun Gelanggang Bowoh, Desa Gelanggang, Sakra Timur melalui roah tebolak beak.

Tradisi roah tebolak beak ini dihidupkan kembali oleh masyarakat dan pemerintah Kabupaten Lombok timur dalam rangka menjaga warisan budaya para leluhur. Ritual penyambutan Ramadlan melibatkan para ulama, tokoh masyarakat, santri, para pemuda, dan masyarakat luas.

Roah tebolak beak sudah menjadi kalender daerah Lombok Timur dan bagian dari acara adat yang berlangsung setiap tahun. Dalam 3-4 tahun terakihr, roah tebolak beak dirancang dengan ritual yang lebih formal. Kegiatan itu melibatkan pemerintah, masyarakat, ulama, kiyai, tokoh masyarakat, dan elemen lainnya.

Roah tebolak beak yang melibatkan ribuan dulang itu juga dipopulerkan dengan "roah 1001 tebolak beak". Dulang tebolak beak itu dibawa oleh masyarakat sendiri secara sukarela. 

Angka 1001 itu bukan semata-mata mengacu kepada kuantitas dulang tebolak beak yang dapat dihadirkan warga tetapi dimaknai sebagai sebuah kondisi yang menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan. 1001 dulang merupakan simbol dari kehidupan bersama yang diwarnai dengan saling berbagi. Tidak saja makanan tetapi juga pemberian santunan kepada masyarakat yang berhak menerimanya.

Proses roah tebolak beak bukan saja makan bersama tetapi dikemas dengan sejumlah rangkaian acara, yang meliputi doa bersama dan ceramah oleh para pemuka agama. Roah tebolak beak juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat. 

Roah tebolak beak sebagai bentuk ziarah kubur juga ditandai dengan menyiram air ke atas pusara keluarga dan sebagian lainnya melakukan tabur bunga. 

Tahapan akhir dari acara itu adalah makan bersama atau begibung. Semua yang hadir melepaskan semua bentuk stratifikasi sosialnya. Mereka berbaur dan melebur dalam makan bersama, bersyukur atas segala rahmat Allah SWT yang telah dinikmati.

Roah topat, roah kebian, atau roah tebolak beak merupakan bentuk kegembiraan umat Islam di Lombok atas kedatangan bulan suci ramadan. Roah identik dengan kumpul dan makan bersama.

Jika akhir-akhir ini, kita ribut dengan program makan gratis dari salah satu paslon capres-cawapres, masyarakat Sasak telah melakukannya sejak berabad-abad lalu. Roah merupakan sebuah tradisi menyajikan makan gratis kepada tetangga, kerabat, dan masyarakat sekitar.

Tradisi roah sebenarnya telah menjadi bagian dari masyarakat di Nusantara yang dikenal dengan istilah yang berbeda-beda. Namun memiliki esensi yang sama yaitu, membangun kebersamaan, menghilangkan sekat sosial, dan saling berbagi.

Lombok Timur, 08 Maret 2024

Sumber 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun