Nama pada batu nisan itu menyajikan gerakan bibir Ibu yang selalu komat kamit mengucap doa dan istighfar dalam kesendiriannya. Wajah yang selalu basah dan bercahaya oleh air wudhu.
Masih jelas terdengar suara Ibu yang selalu melantunkan bacaan al-Qur'an usai maghrib. Ibu menjeda bacaannya dengan shalat Isya untuk kemudian kembali membacanya sampai waktu istirahat tiba.
Satu jam menjelang fajar beliau bangun dan menyeret kakinya menuju kamar mandi untuk buang air dan wudhu. Selanjutnya beliau tahajjud, berzikir, dan kembali membaca al-Qur'an hingga subuh.
Di pusara Ibu saya bersimpuh. Beberapa saat berlalu, Fitri, adik perempuan saya datang dan bergabung bersama saya membaca surah yasin dan mengamini do'a yang saya panjatkan.
Dalam doa itu saya kembali membayangkan wajah perempuan paling tulus yang pernah ada dalam kehidupan saya dan saudara-saudara saya. Wajah yang selalu berbinar. Bahkan saat Ibu dalam keadaan sakit. Wajah yang tidak pernah meminta apapun dari kami.
Kini wajah itu hanya sebuah endapan kenangan dalam pikiran dan kesadaran saya. Tetapi sangat jelas menyisakan kesabaran
"Sama siapa?" tanya Ibu jika mendengar saya sedang ngobrol di kamar saya saat masih lajang.
"Teman, Bu."
"Sudah dibuatkan minuman?"
Ibu selalu bertanya tentang hidangan untuk setiap orang yang bertamu. Tidak saja tamu Ayah. Bahkan tamu anak-anaknya. Untuk tetamu, Ibu berusaha memberikan penghormatan. Paling tidak dengan segelas kopi atau teh.
Ibu tetap memegang erat kebiasaan sosial di kampung dimana rasa hormat pada tamu diukur dengan standar berupa salah satu dari dua jenis minuman itu. Maka bagi Ibu adalah tidak elok jika ada tetamu yang datang tanpa disuguhi minuman.