Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu 2024 dalam Pusaran Badai Vote Buying

14 Februari 2024   23:16 Diperbarui: 14 Februari 2024   23:18 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi vote buying sumber https://nasional.kompas.com

Usai nyoblos saya jalan-jalan melihat-lihat suasana pencoblosan di tempat lain. Kapasitas saya tentu saja bukan sebagai pemantau resmi seperti Panwaslu atau Bawaslu. Tidak lebih dari sekadar ingin mengetahui situasi.

Perjalanan saya terhenti di sebuah kedai kecil pinggir jalan desa milik teman saya. Secangkir kopi disuguhkannya sebagai pengiring obrolan.

"Saya jadi pusing dengan peredaran uang semalam," katanya.

"Uang apa?"

"Uang caleg."

"Serangan pajar?"

"Ya. Begitulah."

"Dapat berapa?"

Ditanya seperti itu, dia hanya tertawa lepas.

"Saya tidak berani ambil," katanya.

Beberapa hari sebelumnya seorang teman juga bertandang ke rumah saya. Dia bercerita bagaimana para kontestan, khususnya caleg di level daerah, berusaha merebut suara pemilih dengan berbagai cara. Dia menyebut sederet nama caleg lokal yang menggunakan metode perolehan suara dengan vote buying 'beli suara'.

Hal yang menarik dari obrolan tersebut adalah transaksi antara kontestan (caleg) dengan pemilih pada umum tidak lebih dari transaksi jual beli di pusat perbelanjaan. Tidak ada transaksi cash on delivery apalagi bayar setelah barang dipakai. Informasi yang berkembang bahwa transaksi politik antara caleg dengan pemilih yang berlaku adalah "Anda memberikan saya uang hari ini dan saya coblos Anda tanggal 14 Februari 2024". Bentangan kalimat ini dapat disederhanakan menjadi, "Anda bayar di depan, saya pilih Anda". 

Kabarnya, banyak caleg menggunakan cara tak bermartabat itu. Fakta jual beli suara dalam pemilu diperkuat oleh pengakuan beberapa warga di kampung. Mereka diberikan kepercayaan mencari sasaran pemilih yang bersedia dibayar untuk mencoblos caleg dari partai tertentu.

Hanya saja tindakan vote buying sulit dibuktikan karena menggunakan strategi gerakan bawah tanah. Sikap masyarakat yang cenderung apatis juga menjadi penyebab cara meraup suara itu sulit dihentikan.

Sebagian para caleg itu melakukan praktek vote buying dengan uang tunai. Tidak ada modus dan istilah lain, seperti uang transport. Sekali lagi beli suara.

Nilai uangnya bervariasi. Ini sangat tergantung dari kemampuan anggaran caleg yang bersangkutan. Seorang caleg berani membayar 50 ribu rupiah untuk setiap suara. Caleg lainnya sanggup menembak seorang pemilih dengan nilai tembakan 60 sampai 75 ribu rupiah. Caleg yang lebih bermodal nekat membeli harga diri pemilih hingga 100-150 ribu per suara.

Tidak sedikit pemilih yang tertarik dengan tawaran tersebut. Namun, pemilih tersebut rerata memiliki sikap konsisten. Jika mereka berani menerima uang, dapat dipastikan bahwa mereka akan memilih caleg yang bersangkutan. Mereka tidak akan keluar dari komitmen mereka.

Saya belum pernah menyaksikan bagaimana transaksi gila itu terjadi. Namun hal ini telah menjadi cerita dari mulut ke mulut. Isu praktik jual beli suara itu kemudian dianggap sebagai kecurangan yang diwajarkan. Praktek tersebut tidak saja terjadi dalam pemilu tetapi juga dalam pilkada sampai pemilihan kepala desa.

Praktek curang vote buying menunjukkan sebagian besar peserta pemilu tidak memiliki kesiapan untuk merebut simpati pemilih dengan cara yang lebih masuk akal. Para kontestan belum benar-benar mampu bersaing secara sehat dan jujur untuk merebut suara rakyat. Demikian pula dengan sebagian pemilih mata duitan, mereka tidak memiliki sikap yang cukup matang untuk menentukan pilihan mereka secara rasional. Sebagian masyarakat hanya berpikir tentang keuntungan jangka pendek.

Fenomena jual beli suara pada dasarnya sangat ditentukan oleh perilaku elit politik di berbagai level. Pada umumnya, para wakil rakyat yang telah terpilih memberikan kesan hanya mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan konstituen yang dia wakili.

Sebagian besar penerima bayaran beranggapan bahwa hanya uang itu yang dapat mereka peroleh setelah pemilihan berlangsung. Selebihnya hanya keuntungan untuk mereka yang menduduki kursi. Anggapan itu sebenarnya disebabkan oleh perilaku sebagian caleg yang kurang memperjuangkan nasib rakyat setelah mereka terpilih.

Tentu saja tidak semua wakil rakyat mengabaikan kepentingan rakyat. Namun perilaku sebagian mereka membuat kepercayaan masyarakat memudar.

Satu dua caleg yang masuk ke kampung saya juga datang begitu saja tanpa memiliki visi dan misi yang jelas. Mereka datang dengan modal pasir dan semen untuk perbaikan gang kampung. Mereka hanya datang dengan membawa tanah urug untuk menimbun jalan desa. Apa yang mereka lakukan bisa saja termasuk dalam kategori vote buying karena mereka hadir hanya untuk mendapatkan suara. Dan cara paling ekstrem adalah membeli kemiskinan pemilih dengan metode vote buying.

Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) sejak awal mensinyalir bahwa salah satu potensi kecurangan pada Pemilu 2024 adalah praktek vote buying. (Sumber BBCNews Indonesia) kecurangan ini telah terjadi pada pemilu sebelumnya.

Sudah banyak narasi yang membahas tentang dampak vote buying baik dari sudut pandang sosial budaya dan agama. Dalam konteks sosial budaya, vote buying dapat norma dan nilai sosial. Praktek ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kebebasan, dan kejujuran.

Praktik vote buying juga dapat merusak budaya partisipasi politik yang sehat. Ketika pemilih merasa bahwa suaranya hanya dihargai dengan uang, mereka mungkin kehilangan kepercayaan pada proses politik dan mengurangi partisipasi mereka dalam pemilihan selanjutnya.

Pada akhirnya vote buying juga mencerminkan pola pikir yang mungkin telah tertanam dalam budaya politik tertentu. Ketika praktik ini dianggap biasa atau diterima secara luas dalam masyarakat tentu dapat membahayakan integritas dan nilai-nilai demokratis.

Dari sudut pandang Islam vote buying setara dengan sogok menyogok atau raswah. Hadist Rasulullah SAW tentang raswah yang cukup populer yaitu, "Laknat Allah SWT kepada pemberi suap dan penerima suap." (HR Ahmad).

Saya membatin dalam kesenyapan malam, "Sampai kapan pesta demokrasi ini dapat diwujudkan dengan cara-cara yang rasional tanpa vote buying yang memanfaatkan kemiskinan pemilih demi meraup keuntungan suara.

Lombok Timur, 14 Februari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun