Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Ngaji, di Antara Peran, Penghargaan, dan Janji Capres

11 Januari 2024   21:27 Diperbarui: 12 Januari 2024   02:28 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Taslim, sopir truk pengangkut pasir (kiri), dibantu dengan murid yang sudah senior, mengajari anak-anak di kawasan Desa Cisauk, Kabupaten Tangerang, Banten, belajar mengaji, Sabtu (16/4/2022). (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)

Setiap malam sekumpulan anak-anak usia pra-sekolah, sekolah dasar, dan SMP duduk berbaris mengantre di hadapan saya untuk mendapatkan bimbingan baca Al Quran. Hal itu menjadi aktivitas rutin setelah sholat maghrib sampai isya. 

Anak-anak itu berasal dari kampung sekitar. Mereka berjumlah lebih dari dua puluh orang dengan berbagai tingkatan usia dan perkembangan.

Satu-satu mereka beringsut maju secara bergiliran dan membuka buku Iqra mereka untuk dibaca. Saya mendengarkan mereka untuk memastikan mereka membaca dengan benar huruf demi huruf yang tertera dalam buku Iqronya.

Beberapa anak lainnya membawa mushaf Al Quran. Mereka melakukan hal yang sama, membaca kitab suci itu baris demi baris. Kemampuan membaca mereka beragam. Beberapa dari mereka cukup lancar. Beberapa lainnya masih terbata-bata.

Saya masih menggunakan metode klasik, memberikan bimbingan secara individual, khusus pada belajar membaca Al Quran.

Di lain waktu, secara bergantian anak-anak yang lebih senior memimpin teman-temannya membaca surah-surah pendek pada juz terakhir kitab Al Quran. Dengan membaca berulang secara bersama-sama, lambat laun mereka dapat menghafal sejumlah surah pendek tersebut.

Anak-anak yang masih usia pra-sekolah dan duduk di bangku kelas awal sekolah dasar belum seutuhnya mengenal tata cara shalat. Untuk itu, salah satu cara yang ditempuh adalah melakukan simulasi atau praktik shalat secara berjamaah. 

Sambil shalat mereka mengeraskan bacaannya secara bersamaan sejak takbiratul ihram sampai rukun shalat terakhir atau salam. Bahkan niat sholat juga dibaca dengan nyaring agar anak-anak yang belum menghafalnya dapat mengikuti bacaan tersebut.

Dulu metode-metode itu digunakan guru ngaji yang mengajar saya di surau. Saat ini metode tersebut masih relevan untuk digunakan.

Ilustrasi Guru Ngaji di kampung (Sumber: duniasantri.co)
Ilustrasi Guru Ngaji di kampung (Sumber: duniasantri.co)

Peran Guru Ngaji

Banyak masyarakat (muslim) mungkin tidak menyadari bahwa peran guru ngaji cukup mendasar. Guru ngaji tidak semata-mata mengajarkan kemampuan membaca Al Quran. Mereka juga mengajarkan aspek sederhana tentang banyak hal tetapi bersifat fundamental. 

Saya ingat bagaimana guru ngaji saya mengajarkan etika kepada sesama, seperti, sikap kepada orangtua, cara melintas saat orang sedang duduk, atau cara bergaul dan berkomunikasi dengan teman-teman. 

Orangtua selalu mengajarkan agar berpamitan dan bersalaman jika hendak pergi ke sekolah atau mengaji. Begitupun saat kembali ke rumah. Guru ngaji kemudian berperan membentuk kebiasaan luhur itu sampai anak-anak tumbuh remaja. Kebiasaan itu selanjutnya mengalami internalisasi sampai dewasa.

Orangtua mengajarkan agar tidak melakukan perundungan--perilaku yang saat ini mewarnai kehidupan sosial kita. Guru ngaji menegaskan bahwa menyebut teman dengan mengacu kepada bentuk fisik merupakan salah satu larangan agama. 

Guru ngaji secara konsisten mengingatkan bahwa berkata "Uup!" kepada orangtua merupakan bentuk ketidaksopanan. Bisa jadi ini juga termasuk perundungan verbal kepada orangtua.

Saat makan orangtua meyakinkan anak-anaknya agar menghabiskan makanan sehingga tidak ada yang sia-sia atau terbuang percuma. Guru ngaji memperkuat keyakinan anak-anak bahwa setiap kesia-siaan yang disengaja itu sama saja menjalin hubungan dengan setan.

Pendeknya, guru ngaji tidak saja mengajarkan ibadah tetapi juga menanamkan etika kepada sesama, cara memperlakukan makanan, dan bahkan lingkungan.

Guru ngaji kerap bercerita tentang kisah para nabi dengan berbagai mukjizat yang mereka miliki. Saya masih ingat kisah Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang telah meninggal dunia, Nabi Musa AS yang mampu membelah lautan, atau Yunus AS yang mampu bertahan dalam perut ikan, menurut sebuah riwayat, selama 40 hari. 

Saya juga masih teringat kisah Muhammad SAW yang sanggup membelah bulan, melakukan Isra' dan Mi'raj, dan, tentu saja, Al Quran yang diyakini sebagai mukjizat terbesarnya.

Lebih dari itu, mukjizat besar para nabi bagi kehidupan manusia tentu saja bukan semata-mata tentang kekuatan dan keajaiban melainkan juga mukjizat berupa kesabaran, ketulusan, kebijaksanaan, kejujuran, empati, dan berbagai nilai kebajikan lainnya. 

Jika dihubungkan dengan kurikulum formal, bagi siswa beragama Islam, keberadaan guru ngaji sangat membantu pendalaman terhadap pemahaman mata pelajaran Agama di sekolah yang berdurasi sekitar 3-4 jam per minggu.

Apresiasi terhadap Guru Ngaji

Pada umumnya guru ngaji (khususnya di kampung) identik dengan kebersahajaan, kesabaran, dan ketulusan. Jika dewasa ini ada guru ngaji yang diberitakan berperilaku negatif, itu oknum dan tidak mencerminkan kehidupan guru ngaji yang sesungguhnya.

Guru ngaji dapat dikatakan pekerjaan langka. Pernah ada seorang guru ngaji bersama saya mengajar ngaji untuk anak-anak itu. Namun, karena yang bersangkutan ada indikasi sebagai penganut paham yang suka membid'ahkan dan mengkafirkan sesama, masyarakat memintanya mengundurkan diri. Masyarakat khawatir pikiran anak-anak polos itu didoktrin dengan ajaran-ajaran yang berpeluang menimbulkan perpecahan agama dan sosial.

Saya mengajak satu dua orang sarjana agama dan pernah nyantri untuk menjadi guru ngaji. Namun, tidak ada yang konsisten dan bertahan.

Sejak dulu seseorang yang menjalani peran sebagai guru ngaji lebih banyak didorong oleh ketulusan dan sikap sukarela. Kebanyakan mereka melakukannya karena faktor niat yang jauh dari pamrih. 

Pada umumnya guru ngaji memiliki pekerjaan utama untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, mereka tidak berpikir tentang imbalan dalam menjalani peran sebagai guru ngaji.

Namun demikian, adalah fakta bahwa peran guru ngaji tidak begitu mendapatkan penghargaan yang cukup layak dari masyarakat. Masih kuat dalam ingatan saya saat mengaji dulu, anak-anak hanya membayar iuran untuk membeli minyak lampu teplok. Tidak lebih dan tidak ada iuran lainnya. 

Dikutip dari Detiknews, keberadaan guru ngaji mulai diakui oleh negara sejak lahirnya UU nomor 20 tahun 2003 yang diatur lebih teknis dalam PP 55/2007. Ini tentu sebuah wujud tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan guru ngaji. Sayangnya, sebagian besar guru yang tersebar di berbagai pelosok kampung tidak terdata. Hal ini membuat mereka tidak tersentuh.

Kenyataan di atas membuat kita memahami banyak orang yang memiliki kapasitas keilmuan ogah menjadi guru ngaji. Pekerjaan ini nyaris sama dengan guru honor. Keduanya sama-sama menjalani peran sebagai guru yang belum mendapatkan kompensasi yang layak. 

Bedanya guru ngaji (setahu saya) tidak dapat berharap akan diangkat menjadi P3K, ASN, atau menjadi guru yang berkesempatan mengikuti proses sertifikasi. Guru honor masih memiliki setitik harapan bahwa suatu saat nanti akan ada perubahan kehidupan yang lebih baik.

Bagi guru ngaji yang memiliki pekerjaan utama tentu tidak terlalu berpikir tentang honor atau insentif. Dia dapat hidup bersama keluarga dengan penghasilan dari pekerjaan utamanya. 

Berbeda dengan guru yang tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap. Mereka patut mendapatkan perhatian yang layak dari masyarakat dan pemerintah. Maka pantas salah satu pasangan capres/cawapres mengangkat isu guru ngaji sebagai materi debat dan kampanye.

Semoga para guru ngaji di seluruh nusantara selalu sehat dalam kesederhanaan dan ketulusannya.

Lombok Timur, 11 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun