Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebutir Nasi, Krisis Pangan, dan Pemanasan Global

28 Desember 2023   23:04 Diperbarui: 29 Desember 2023   19:54 1038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sebutir Nasi (Sumber steemit.com/life/@husnoelaini)

Sebutir nasi tergeletak di atas tikar plastik. Butiran nasi itu merupakan remah yang terjatuh dari piring saat saya menyantap jamuan makan acara tahlilan di malam kesembilan atas meninggalnya salah seorang keluarga di kampung saya.

Melihat butiran remah itu saya teringat sebuah video TikTok dalam beberapa hari ini yang menayangkan pidato seorang pria tua dengan rambut telah memutih. Rambutnya terurai acak-acakan seakan tidak terurus. Dia adalah Danu Surono, seorang ilmuwan padi yang sepanjang hidupnya melakukan penelitian untuk menghasilkan padi berkualitas.

Berikut ini merupakan penggalan kalimat yang disampaikan pria dari Lampung itu.

"Apabila kita menyisakan sebutir nasi setiap kali makan, sama artinya kita menyisakan satu butir beras. Satu gram beras sama dengan 50 butir beras. Satu kilo, 50.000 butir. Apabila penduduk Indonesia menyisakan satu butir nasi dalam 200 juta penduduk berarti ada 4 ton beras dibuang setiap kali makan, dua kali makan 8 ton, ... dst."

Perhitungan sisa nasi terbuang dalam penggalan kalimat di atas mengandaikan bahwa sebutir nasi itu merupakan remah yang sangat berharga. Secara tersirat, Pak Danu ingin menjelaskan bahwa betapa kita sering tidak menghargai nasi.

Dalam konteks kebiasaan makan masyarakat Indonesia, nasi dalam narasi di atas dapat diandaikan sebagai representasi dari makanan secara umum. Kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa perilaku menyia-nyiakan makanan merupakan pilihan gaya hidup yang dianggap biasa. 

Setiap kali kita menyantap makanan, bisa dipastikan bahwa selalu ada makanan yang tersisa, tidak dihabiskan. Sisa makanan tersebut lalu kita buang percuma dan menjadi bagian dari limbah rumah tangga. 

Saat kita dirundung lapar, kita akan menumpuk piring kita dengan porsi yang tidak jarang melampaui batas. Ketika perut sudah terisi penuh kita akan berhenti makan dan nasi dalam piring masih tersisa tidak saja satu butir tetapi bisa puluhan, ratusan, atau ribuan butir.

Bahkan saat menyuap makanan butiran-butiran nasi itu kerap tidak masuk ke dalam mulut dan menjadi remah yang terserak di atas meja atau sekitar piring. Remah itu akan terbuang sia-sia, masuk ke bak sampah atau ke tempat pencucian piring. 

Banyak makanan sia-sia dan terbuang percuma. Fenomena makanan yang disia-siakan menjadi pemandangan lumrah dan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan saat hajatan, syukuran, atau pesta. Perilaku menyia-nyiakan makanan terjadi di mana saja; di restoran, warung, atau kedai makanan.

Dalam setiap kegiatan yang menyediakan jamuan, kita kerap menyaksikan bagaimana prilaku orang-orang mengambil makanan secara berlebihan dan menyisakan makanan tersebut karena tidak tertampung lagi di lambungnya. Sisanya lagi-lagi akan terbuang percuma.

Perilaku membuang makanan merupakan sikap moral, sebuah sikap bagaimana kita belum seutuhnya menghargai makanan. Secara jujur saya harus mengakui bahwa saya juga tidak selalu dapat menghabiskan makanan secara utuh. Faktor penyebabnya bisa disebabkan oleh rasa kenyang atau tidak sesuai dengan selera makanan.

Saya yakin bahwa setiap agama juga mengajarkan bahwa membuang-buang makanan merupakan perilaku yang tidak baik. Dilansir dari Berita Satu, misalnya, Paus Fransiskus mengecam kebiasaan membuang makanan di tengah dunia yang kian konsumeristis. Beliau menyebutkan bahwa mereka yang membuang makanan sama dengan mencuri makanan orang-orang miskin.

Dalam ajaran agama Hindu terdapat pesan dalam Taitiriya Upanisad, Bhurguvali, Anuvak 1: "Jangan pernah menunjukkan rasa tidak hormat kepada makanan." (Sumber Republika) 

Pesan ini menunjukkan bahwa makanan ditempatkan sebagai kebutuhan dasar yang sangat berharga. Oleh karena itu manusia dituntut untuk menghargai setiap proses dalam mengkonsumsi makanan.

Dalam ajaran Islam perbuatan menyisakan makanan merupakan sikap yang sangat tidak dianjurkan. Hal ini ditandai dengan hadits Rasulullah SAW. 

"Sesungguhnya setan menyertai salah satu dari kalian dalam segala hal hingga menyertai kalian ketika makan. Oleh karena itu, apabila suapan makanan salah seorang di antara kalian jatuh, ambilah kembali lalu buang bagian yang kotor dan makanlah bagian yang bersih. Jika sudah selesai makan, makan hendaknya menjilati jari-jarinya. Karena dia tidak tahu makanan mana yang membawa berkah." (HR. Bukhari Muslim)

Anjuran menjilati jemari setelah selesai makan dalam hadist di atas bisa jadi terkesan jorok jika dilakukan di depan umum. Namun, di balik anjuran itu terdapat pesan untuk tidak menyia-nyiakan makanan yang tersisa, bahkan makanan yang masih melekat di jemari. 

Dampak membuang makanan

Dikutip dari laman Diskapang NTB, Food loss and waste (FLW) atau susut dan limbah pangan menjadi persoalan di banyak negara termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia menjadi negara penyumbang FLW setelah Arab Saudi. FLW diandaikan sebagai sebuah kondisi kehilangan pangan pada tahap produksi dan distribusi (Food Losses) dan kehilangan pangan pada tahap konsumsi (Food Waste).

Dilansir dari Tempo, Berdasarkan riset dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2021, selama dua dekade terakhir (2000-2019), FLW di Indonesia sekitar 23-48 juta ton per tahun. Ini setara dengan 115 hingga 184 kilogram per kapita per tahun.

Indonesia Environment & Energy Center meyakini bahwa dampak FLW tidak saja bermuara pada krisis pangan tetapi juga menjadi salah satu pemicu pemanasan global sebagai efek gas rumah kaca akibat gas metana yang dihasilkan oleh makanan sia-sia.

Berawal dari sebutir nasi, seiris apel, atau sekerat daging, jika dibuang secara sia-sia oleh orang satu kampung, satu kelurahan, atau satu negara dapat berakibat dampak yang tidak terbayangkan.

Kita tidak saja menyia-nyiakan sumber energi tetapi juga memberikan dampak lingkungan yang cukup signifikan bagi lingkungan global.

Menyelamatkan makanan yang terbuang

Menghentikan secara total kebiasaan menghasilkan makanan sisa mungkin agak sulit. Namun paling tidak, yang dapat dilakukan adalah mengurangi kebiasaan itu. Untuk itu penting bagi sebuah keluarga untuk melakukan pengelolaan makanan secara bijaksana dan terukur. 

Mengurangi kebiasaan buruk membuang makanan juga dapat dimulai dengan membeli makanan sesuai dengan kebutuhan, terutama untuk makanan yang tidak tahan lama, seperti sayur dan buah-buahan. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan memasak makanan secukupnya atau sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga.

Melakukan pengomposan sisa makanan juga merupakan salah satu cara menghindari makanan terbuang percuma. Di kampung saya, salah satu cara yang kerap dilakukan adalah dengan memberi makanan sisa kepada unggas peliharaan. Itu sebabnya, sebagian keluarga biasanya selalu memiliki beberapa ekor hewan peliharaan seperti ayam atau itik agar makanan sisa tidak terbuang percuma.

Dalam beberapa bulan terakhir ini, istri saya juga terlihat mengeringkan makanan sisa dengan cara dijemur. Saya kerap melihatnya menjemur nasi dan sisa makanan lain yang telah menjamur. Usut punya usut, ternyata makanan yang telah dikeringkan itu dijual kepada pengepul dari kampung sebelah yang datang setiap dua atau tiga hari.

Lombok Timur, 28 Desember 2023

Sumber : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun