Dalam pasal yang dimaksud disebutkan bahwa pelaksana dan atau tim kampanye dalam kegiatan kampanye pemilu dilarang mengikutsertakan warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak pilih. Sedangkan anak-anak sendiri belum memiliki hak pilih. Pelibatan anak juga bertentangan dengan UU perlindungan anak. Ini tergolong pelanggaran berat karena mengeksploitasi anak-anak untuk kepentingan politik.
Demikian juga dengan kampanye yang mendahului jadwal yang telah ditentukan. Ini bagian dari pelanggaran pemilu. Beberapa sumber menggolongkannya sebagai pelanggaran ringan.
Selain dua jenis pelanggaran di atas, masih banyak lagi potensi pelanggaran yang dapat ditemukan dalam setiap pemilu maupun pilkada. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ada ASN yang terlibat sebagai pendukung salah satu caleg dari partai tertentu.
Netralitas pejabat kepala dusun, kepala desa, sampai camat, juga merupakan pelanggaran yang cenderung banyak dilakukan. Ada yang terang-terangan ada yang sembunyi-sembunyi.
Di dunia virtual kampanye pemilu malah lebih ekstrem dan membabi buta. Sering kali kita menemukan bagaimana para pendukung menggunakan isu SARA untuk mendapatkan dukungan atau menjatuhkan pesaingnya. Semua itu merupakan jenis pelanggaran yang terus menerus menjadi kebiasaan dan pada akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang normal dan halal. Belum lagi pelanggaran peserta pemilu menggunakan pendekatan politik uang.
Pusat Anti Korupsi melansir bahwa hasil penelitian LIPI menyimpulkan bahwa, pada pemilu 2019, masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang "bagi-bagi rezeki".
Rupanya pandangan itu masih berlaku sampai sekarang. Seorang teman saya ditawarkan sebuah aksi untuk menyebarkan sejumlah uang menjelang pilkada dengan target suara tertentu. Ini salah satu bentuk politik uang.
Lalu mengapa pelanggaran terus terjadi? Berikut ini beberapa penyebab.
Pertama, menurut teman saya, dua pelanggaran yang saya uraikan di atas disebabkan oleh lemahnya pengawasan. Dalam hal ini, Panwaslu sebagai pengawas yang langsung bersinggungan dengan kejadian politik di lapangan kerap melaporkan hal tersebut kepada pimpinannya atau ketuanya.
Bahkan tidak jarang anggota Panwaslu melaporkan hal tersebut ke pihak Bawaslu kabupaten. Namun, pelanggaran tersebut tidak ditindaklanjuti dan diselesaikan. Sikap toleransi pengawas pemilu seperti ini membuat pelanggaran demi pelanggaran terus terjadi.
Adanya sikap toleransi itu disebabkan oleh hubungan caleg dan pengawas pemilu yang sudah saling mengenal. Hal ini membuat pengawas cenderung rikuh untuk memberikan teguran. Bisa jadi atas nama hubungan baik pengawas di lapangan hanya bisa melirik.