Pagi menjelang siang, sebuah mobil bak terbuka berhenti di sisi jalan. Pagi itu saya sedang duduk mengikuti sebuah acara di seberang jalan. Dari tempat saya terlihat tiga pemuda menurunkan baliho. Media promosi itu terlihat telah dilengkapi dengan rangka kayu yang siap ditancapkan ke sedalam-dalamnya ke tanah agar tetap tegak dan tidak goyah oleh terjangan angin dan hujan yang luruh di awal musim.
Bersama tiga pemuda tadi terlihat juga tiga bocah usia di bawah sepuluh tahun. Mereka berada di atas mobil yang membawa baliho. Rupanya mereka bagian dari kelompok pemuda yang memasang baliho.
Sepintas saya melihat bahwa baliho itu bergambar seorang caleg mengenakan kopiah hitam dan berjas dengan warna yang serupa dengan penutup kepalanya.
Caleg itu seorang laki-laki yang tidak terlalu tampan tetapi berusaha memberikan senyum paling manis. Mungkin saja itu senyum termanis sepanjang hidupnya.
Beberapa bulan lalu, jauh sebelum masa kampanye pemilu 2024 dimulai, saya bercakap-cakap dengan panwaslu kecamatan tentang maraknya baliho para caleg di berbagai sudut jalanan. Kehadiran baliho itu sendiri tidak menjadi masalah karena saat itu mereka mulai melakukan sosialisasi, memperkenalkan diri.
Permasalahannya adalah kehadiran baliho itu menunjukkan indikator bahwa di antara caleg itu mulai memasang gambar yang tergolong upaya kampanye.
Menurut teman panwaslu, itu termasuk mencuri start kampanye karena caleg yang bersangkutan telah menampilkan gambar yang menunjukkan dirinya menempati nomor tertentu di dalam partai yang mengusungnya.
Dua pengalaman di atas merupakan indikator bahwa pelanggaran pemilu dari waktu ke waktu menjadi hal yang lazim dan dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Pada kasus yang pertama, adanya kegiatan melibatkan anak-anak dalam pemasangan baliho seorang caleg merupakan salah satu bentuk pelanggaran. Masalah ini telah diatur dalam Pasal 280 ayat (2) huruf k UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.