Saya mengambil tempat duduk di sudut belakang ruang kelas 1. Kehadiran saya di ruangan itu untuk memenuhi jadwal supervisi pembelajaran yang telah disepakati bersama. Dan artikel ini merupakan catatan hasil supervisi ke 4.
Waktu sudah memasuki jam ke 3 berdasarkan jadwal pelajaran. Matahari di ujung musim panas tahun ini mulai menyengat di luar kelas. Sebagian sengatan itu menyelinap masuk melalui pintu, jendela, dan ventilasi ruangan. Untung ada rimbun pepohonan di belakang sekolah. Setidaknya itu mengurangi suasana gerah.
Situasi kelas cukup riuh oleh siswa. Siswa kelas 1 SD memang demikian, masih berada pada fase perkembangan yang sulit diatur. Tiga orang bocah laki-laki terlihat berkejar-kejaran sambil baku lempar dengan kertas. Suara kakinya menghentak lantai. Seorang siswa lainnya tampak masuk ke kolong meja mengambil sesuatu. Seorang siswa perempuan berdiri di pintu ruang kelas sambil mempermainkan daun pintu.
Siswa laki-laki lainnya menyeret-nyeret kursi plastik milik teman perempuannya. Sadar kursinya dirampas, perempuan kecil itu berusaha mempertahankan tempat duduk itu sampai mendapatkan kembali apa yang dianggap miliknya.
Seorang siswa bermain mengitari tiang penyangga bambu yang menopang balok tarik. Balok kayu yang membentang di tengah ruangan.
Kondisi ruang kelas itu memang sudah tidak cukup layak untuk dijadikan ruang belajar. Lapisan tembok ruangan sudah mengelupas di sana sini membentuk lukisan yang tidak dapat dimaknai. Sejumlah retakan di dindingnya semakin membesar bagai paruh bayi burung yang menganga tengah menanti asupan makanan dari induknya.
Plafon anyaman bambu penutup langit-langit ruangan, lambat tapi pasti, terus melapuk lalu luruh satu demi satu dari hari ke hari. Di berbagai tempat banyak sekolah memperlihatkan kondisi serupa. Namun sekolah hanya boleh melakukan perbaikan ringan. Urusan yang berat menjadi tanggung jawab pemerintah.
Mari kembali ke observasi pelaksanaan pembelajaran. Sebelum mulai belajar guru berupaya menenangkan siswa. Beberapa saat berlalu riuh kelas sudah dapat dikendalikan lebih cepat dari yang saya bayangkan.
Memasuki jam ke 3 guru tidak perlu memeriksa kehadiran siswa karena sudah dilakukan di awal. Karena pergantian mata pelajaran, guru meminta siswa mengumpulkan buku pelajaran sebelumnya lalu membagikan buku pelajaran sesuai dengan mata pelajaran yang akan dipelajari.
Apa yang dilakukan guru hanya mengalihkan perhatian siswa dari mata pelajaran sebelumnya ke mata pelajaran selanjutnya. Proses transisi ini dilakukan dengan bernyanyi dan tepuk tangan.
Setelah anak-anak menunjukkan sikap tenang, guru mulai menyampaikan topik dan tujuan pembelajaran. Sesuai jadwal pelajaran, mata pelajaran saat itu adalah Matematika, dengan topik bilangan, subtopik mengenal bilangan lebih dari 10.
Guru mencoba menjelajahi pemahaman siswa tentang bilangan yang telah dipahami. Ini dilakukan dengan bertanya jawab tentang bilangan. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa tentang bilangan-bilangan yang lebih dari 10.
Sebuah mulut kecil menjawab lantang, "11, 12, 14, 16, 20." Mulut kecil lainnya menyebut bilangan 13, 17, 18, dan sebagainya.
Tahapan selanjutnya guru membagikan buku pelajaran kepada siswa. Anak-anak diminta membuka buku tersebut pada halaman yang berkaitan topik.
Dialog terus terjadi saat siswa sudah membuka buku masing-masing. Guru menanyakan nama benda dalam gambar, jumlah benda, dan menanyakan perbandingan benda dengan bilangan 10.
Tidak hanya mengenal bilangan, pembelajaran juga menyangkut operasi penjumlahan bilangan lebih dari 10. Ini tampak dari pertanyaan guru tentang jumlah dua himpunan benda yang digabungkan.
"Ada 8 apel dan 10 apel jadi berapa?" demikian salah satu pertanyaan guru.
Tidak cukup dengan gambar dalam buku, guru menggambar ulang di papan tulis agar lebih mudah memberikan penjelasan. Secara umum pembelajaran lebih banyak diwarnai dengan tanya jawab. Belasan menit berlalu, konsentrasi siswa mulai terpecah. Melihat kondisi itu guru mengajak siswa menyanyi.
Guru kemudian menugaskan siswa untuk mengerjakan lembar kerja yang telah disiapkan. Selama mengerjakan tugas guru dengan sabar membimbing siswa yang belum memahami topik pembelajaran secara utuh.
Secara keseluruhan proses pembelajaran membuat siswa relatif mengalami keterlibatan yang cukup baik. Saat tanya jawab sebagian besar siswa memberikan respon.
Ketika mengerjakan tugas suasana kelas lebih tenang. Siswa tampak lebih terkendali karena berkonsentrasi pada tugas yang diberikan. Ini sisi positif hasil observasi pelaksanaan permbelajaran saat itu. Namun demikian, penting untuk membuat masukan terhadap pembelajaran tersebut.
Pembelajaran kurang mengembangkan kemampuan numerasi
Matematika bukan semata-mata tentang bilangan dan operasinya. Dikaitkan dengan pengembangan keterampilan numerasi yang digaungkan saat ini, pembelajaran Matematika lebih ditekankan kepada penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Apa itu keketerampilan numerasi?
Dikutip dari Platform Merdeka Mengajar, kemampuan numerasi dimaknai sebagai kemampuan individu untuk belajar secara matematis dalam merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika untuk menyelesaikan masalah dalam beragam konteks dunia nyata. Numerasi tersebut mencakup konsep, prosedur, fakta, dan alat untuk mendeskripsikan menjelaskan dan memprediksi fenomena sehari-hari.
Dalam konteks pembelajaran bilangan di kelas 1, guru cenderung mengenalkan bilangan hanya sampai pada keterampilan berhitung. Guru mengabaikan bagaimana penerapan bilangan dalam kehidupan seharo-hari.
Guru dapat merancang pembelajaran memungkinkan siswa menerapkan pengetahuan tentang bilangan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak pengalaman sehari-hari yang melibatkan aspek numerasi.
Misalnya, untuk mengambil buku pelajaran guru tidak perlu membagi buku kepada siswa. Siswa dapat menggunakan kartu bilangan yang digunakan sebagai kartu antrean untuk mengambil buku secara mandiri. Ini merupakan salah satu bentuk penerapan keterampilan numerasi yang banyak ditemukan di rumah sakit, bank, kantor pos, dan berbagai ruang layanan publik lainnya.
Pada siswa kelas 1, guru juga dapat mengajarkan bilangan dengan memanfaatkan benda-benda yang ada di dalam ruang kelas. Siswa dapat ditugaskan menghitung jumlah bangku atau meja, jumlah buku pelajaran, atau jumlah siswa laki-laki dan perempuan. Dari hasil penghitungan tersebut dapat dikembangkan kepada operasi penjumlahan atau pengurangan sederhana. Ini juga akan membantu siswa memahami konsep lebih dari atau kurang dari dalam elemen bilangan.
Numerasi tidak saja tercermin dalam pembelajaran matematika tetapi dapat dintegrasikan pada mata pelajaran lain. Dalam pelajaran IPA, misalnya, keterampilan numerasi dapat dilibatkan untuk mengukur pertumbuhan tanaman setiap minggu dengan menggunakan alat ukur yang dibutuhkan.
Pembelajaran Matematika sebaiknya menyenangkan
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran kerap dianggap sulit dan menakutkan. Pada semua jenjang, hanya sedikit siswa yang memperlihatkan antusiasme tinggi pada mata pelajaran ini.
Ketika sebagian besar melihat Matematika sebagai horor dan mimpi buruk, saya termasuk salah satu kelompok orang yang saat masih sebagai pelajar sampai menjadi mahasiswa melihat Matematika sebagai hantu. Bahkan sampai sekarang Matametika bagi saya tetap terlihat sebagai sesuatu yang sulit. Apalagi jika mengenang materi Matematika saat duduk dibangku SMA.
Matematika pada jenjang sekolah dasar tentu masih sederhana bagi mereka yang duduk di bangku SLTA atau perguruan tinggi. Namun, bagi sebagian besar anak-anak SD tetap saja membutuhkan proses dan waktu yang lebih lama untuk belajar.
Oleh karena itu, pembelajaran matematika perlu menggunakan pendekatan, strategi, dan media yang menarik serta menyenangkan. Apa yang telah dilakukan oleh guru berdasarkan hasil observasi di atas bukan berarti membuat siswa terlihat tidak menyenangkan. Akan tetapi, penting untuk memperhatikan proses pembelajaran yang dapat mengakomodir kebutuhan dan gaya belajar siswa.
Salah satu media yang dapat digunakan guru dalam mengajarkan bilangan adalah kalender. Dengan mengamati kalender siswa dapat menunjukkan bilangan yang lebih dari 10.
Dengan kalender juga guru dapat mengajarkan tentang penjumlahan dan pengurangan. Misalnya, jika hari ini tanggal 11, guru dapat meminta siswa untuk menentukan tanggal dalam beberapa hari ke depan atau beberapa hari yang telah lewat.
Alternatif lainnya, guru dapat menggunakan permainan-permainan yang melibatkan bilangan. Bermain sambil belajar adalah cara yang tetap dipandang efektif untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan seseorang.
Dengan permainan ular tangga, misalnya, guru dapat mengenalkan bilangan di kelas awal. Hal ini akan memberikan antusiasme dan motivasi belajar siswa sehingga stigma negatif tentang pelajaran Matematika dapat dihilangkan dari pikiran mereka.
Banyak strategi yang memungkinkan siswa tertarik untuk belajar matematika dengan cara yang menyenangkan. Ini tentu memerlukan kreativitas sekolah (guru) untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
Lombok Timur, 13 November 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H