Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dibutuhkan Satu Desa untuk Mendidik Seorang Anak

22 Agustus 2023   23:08 Diperbarui: 23 Agustus 2023   12:52 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sinergitas guru dan orang tua (Sumber: laman Gerakan Sekolah Menyenangkan)

Saat pulang dari masjid usai shalat isya beberapa malam sebelumnya, saya menerima sebuah pesan WA via jalur pribadi dari nomor salah seorang siswa. Pesan itu dikirim oleh ibunya untuk menyampaikan dua hal. 

Pesan pertama, permohonan izin untuk anaknya yang tidak dapat masuk sekolah. Alasannya ada acara haul atas neneknya yang meninggal. Tempat acaranya di luar kecamatan yang cukup jauh dari sekolah sehingga mereka harus menginap. Mereka tidak dapat pulang sebelum acara selesai.

Pesan berikutnya semacam masukan kepada saya untuk menegur salah seorang siswa yang mengirimkan komentar kasar di grup WAG kelas. Sebagai bukti dia menyertakan screenshot komentar tersebut.

Saya terkejut karena benar-benar tidak tahu tentang hal itu. Sepengetahuan saya pesan dan komentar anak-anak di grup tersebut hanya berupa candaan versi bocah. Selebihnya, semacam baku ledek dalam batas yang wajar. 

Obrolan itu memang sangat banyak. Setiap pesan rata-rata singkat, terdiri dari 1-3 kata saja tetapi intensitasnya ramai padahal isi anggotanya hanya belasan orang. Padatnya obrolan membuat celetukan kasar itu terlewatkan. Saya tidak sempat membacanya.

Saya scroll pesan ke atas untuk memastikan informasinya. Ternyata benar, salah seorang siswa menuliskan kata-kata umpatan. Mungkin maksudnya bercanda tetapi menyebut nama hewan kepada temannya tentu bukan sesuatu yang dapat digunakan sebagai pilihan kata untuk sebuah lelucon.

Setelah memastikan bahwa memang ada siswa berkomentar kasar, saya membalas saran wali murid itu dengan berjanji akan menindaklanjuti saran tersebut. Saya juga menyampaikan permintaan maaf karena telah teledor mengontrol anak-anak itu.

Dengan sedikit pembelaan diri saya sampaikan bahwa bisa jadi kata-kata kasar itu biasa didengar oleh siswa yang bersangkutan di rumah atau di lingkungan sekitar rumahnya. 

Saat itu juga saya kemudian mengingatkan melalui WAG kepada siswa yang bersangkutan dan semua siswa untuk tidak mengulanginya. Beberapa saat setelah peringatan itu, siswa yang berkomentar kasar itu membalas peringatan saya dengan permintaan maaf. Dia juga meminta maaf kepada teman-temannya dalam grup dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Membaca permintaan maaf anak itu, saya membayangkan wajah memelas penuh penyesalan dari seorang bocah. Wajah itu seolah menunduk malu dan merasa bersalah. 

Keesokan harinya, saat masuk kelas saya kembali menegaskan kepada anak-anak untuk tidak membiasakan diri berbicara kasar. Tidak saja di medsos tetapi juga dalam interaksi di rumah, sekolah dan masyarakat. Jika di luar sekolah ada orang yang suka mengumpat orang lain saya tekankan agar tidak ditiru.

Anak bungsu saya yang masih balita juga pernah membuat saya terperangah karena tetiba saja mengeluarkan umpatan yang kurang pantas. Usut punya usut ternyata dia sering mendengar salah seorang teman bermainnya. Rupanya salah seorang temannya terbiasa mendengar kata-kata yang kasar dari orang tuanya.

Umpatan kasar merupakan salah satu bentuk perundungan secara verbal, "verbal bullying". Verbal bullying  bisa jadi berubah menjadi sebuah kekerasan fisik jika dibiarkan berkembang. Ini karena tidak semua orang terbiasa mendengar kata-kata kasar.

Pada sekelompok orang umpatan kasar bisa jadi sebuah kebiasaan dan menunjukkan keakraban. Akan tetapi, pada kelompok lainnya kata-kata kasar dapat menciptakan perasaan tidak nyaman dan bahkan kemarahan. Pesan dalam WAG di atas merupakan salah satu contohnya.

Insiden tersebut mengingatkan saya pada ungkapan terkenal, "Dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak." Sebuah sumber menyebutkan bahwa ungkapan ini berasal dari Hilliary Clinton. Sumber lainnya menyebut ungkapan itu merupakan peribahasa yang berasal dari Afrika. 

Dilansir dari Wikipedia, peribahasa tersebut memiliki makna yang identik dengan beberapa peribahasa yang berkembang di Afrika. Beberapa peribahasa tersebut, antara lain, "Terlepas dari orang tua kandung seorang anak, asuhannya milik masyarakat", dan "Barang siapa yang tidak diajar oleh ibunya akan diajar dengan dunia."

Daftar ungkapan atau peribahasa di atas sesungguhnya merupakan refleksi bahwa perkembangan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh kehidupan kolektif atau kehidupan lingkungan sosial budaya tempat individu tumbuh dan berkembang.

Peribahasa "Dibutuhkan satu desa untuk membesarkan seorang anak" dapat dipastikan berhubungan erat dengan proses pendidikan. Membesarkan dalam ungakapan tersebut dapat dikaitkan dengan upaya mendidik.

Ungkapan tersebut juga berarti bahwa, pandangan tentang pengaruh lingkungan terhadap seseorang berlaku universal. Semua orang sepakat bahwa perkembangan pribadi seseorang tidak dapat dilepaskan dari lingkungannya. Seorang anak bisa lahir dari keluarga yang baik dan ramah anak. Namun jika keluarga tersebut berada di lingkungan masyarakat yang berantakan, sedikit banyak bisa berdampak pada anak perilaku anak yang bersangkutan.

Ketika orang tua memiliki tetangga atau katakan saja masyarakat yang tidak kondusif untuk perkembangan anak, tentu yang bersangkutan tidak dapat memilih untuk pergi begitu saja dari lingkungan tersebut. Konsekuensinya terlalu kompleks. Orang tua harus mencari tempat tinggal baru dan ini tidak mudah. Belum lagi harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Pilihan satu-satunya hanya dengan melakukan kontrol terhadap pergaulan anaknya.

Dalam konteks pendidikan, tanggung jawab mendidik bukan saja menjadi milik lembaga pendidikan saja tetapi juga keterlibatan orang tua dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara dengan gagasan Tripusat Pendidikan menyebutkan pentingnya tiga elemen dalam proses pendidikan, yaitu, alam keluarga, alam perguruan, dan alam pemuda.

Alam keluarga menjadi basis paling utama dalam pengembangan karakter, budi pekerti, agama, dan perilaku sosial. Alam perguruan atau lembaga pendidikan berperan dalam pengembangan wiyata atau pengajaran dalam penguatan karakter, menumbuhkan intelektual, tempat anak-anak memperoleh asupan ilmu pengetahuan, dan pengajaran tentang kecakapan atau keterampilan. 

Alam pemuda, yang sekarang diterjemahkan menjadi kehidupan sosial kemasyarakatan, sebagai tempat sang anak berlatih membentuk dan mengenbangkan watak atau karakter dan kepribadiannya. Di lingkungan masyarakat anak-anak mengembangkan keterampilan sosial melalui interaksi dengan masyarakat sekitar.

Dewasa ini orang tua tidak bisa mengandalkan lingkungan sosial secara utuh sebagai area tumbuh kembang anak. Diperlukan pengawasan yang intens terhadap pergaulan anak-anak di  lingkungan sosialnya. Pengawasan itu dilakukan bukan berarti membentuk anak-anak menjadi pribadi yang anti sosial. Namun, untuk memastikan rutinitas apa yang dilakukan dalam pergaulan mereka.

Jika kembali kepada tripusat pendidikan di atas, kerja sama antara guru dan orang tua memiliki peran yang sangat penting ketika lingkungan tidak menjamin situasi yang ramah terhadap perkembangan pribadi anak. Keduanya saling melengkapi dan berkontribusi untuk menciptakan lingkungan yang optimal bagi perkembangan akademik, sosial, dan emosional anak.

Guru dan orang tua merupakan dua model yang sehari-hari menjadi sandaran perkembangan murid. Dua figur ini menjadi sumber dukungan paling utama bagi anak-anak. Kedua figur berperan dalam memberikan dukungan dan motivasi kepada anak. Ketika anak merasakan dukungan dari dua sumber ini, mereka merasa didukung secara penuh dalam proses belajar dan mengembangkan diri.

Kolaborasi pengawasan antara guru dan orang tua harus berjalan sejajar. Guru memberikan wawasan tentang perkembangan akademik anak di sekolah, sementara orang tua dapat memantau perkembangan anak di rumah. Keduanya dituntut untuk berbagi informasi dan bekerja sama dalam mengidentifikasi kekuatan dan area yang perlu ditingkatkan.

Kerjasama tersebut juga dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang perkembangan siswa. Guru memberikan informasi tentang kemajuan akademik dan kebutuhan pendidikan anak di lingkungan sekolah, sedangkan orang tua berbagi pemahaman tentang karakter dan perkembangan anak di rumah. Kombinasi ini membantu dalam merencanakan strategi pendidikan yang lebih efektif.

Melalui kerjasama pula akan memungkinkan guru (pihak sekolah) dan orang tua dapat memberikan koreksi yang konstruktif kepada anak ketika diperlukan. Dengan pendekatan yang positif, ke dua belah pihak dapat membantu anak memahami kesalahan dan cara memperbaikinya. Saran orang tua melalui WhatsApp di atas merupakan indikator kepedulian orang tua terhadap perilaku dan kebiasaan siswa yang tidak wajar.

Jika anak mengalami masalah akademik, sosial, atau emosional, kerja sama antara guru dan orang tua memungkinkan pencarian solusi bersama. Dengan begitu, mereka dapat membantu anak mengatasi hambatan yang mungkin dihadapi.

Akhirnya kerja sama antara guru dan orang tua membutuhkan komunikasi yang terbuka, saling pengertian, dan tujuan yang sejalan. Ketika keduanya bekerja bersama dalam mendidik anak, hasil yang optimal dapat dicapai untuk perkembangan holistik anak.

Lombok Timur, 22 Agustus 2023

Sumber Bacaan 1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun