Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bahagia Itu Tidak Ditentukan Orang Lain

4 Juli 2023   10:52 Diperbarui: 5 Juli 2023   21:44 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar (Canva for Edu)

Sebuah microphone terpasang di ujung tripod yang berdiri di sisi meja sudut ruangan. Tampak jelas tripod itu tiang buatan tangan berbahan batangan pipa besi bekas. Agar dapat berdiri tiang itu dilengkapi tapak kayu pipih persegi. Microphone itu terkoneksi dengan seperangkat sound system. Suaranya kurang menyenangkan. Speakernya menggelitik gendang telinga karena bunyinya pecah dan sember.

Ada alat musik piano mini tergeletak di atas meja kecil. Di samping piano terdapat sebuah stop kontak tiga lubang. Salah satu lubangnya tertancap colokan listrik yang terhubung dengan piano.

Sebuah rak gantung menempel di dinding ruangan. Di dalam rak tersebut terlihat beberapa suku cadang kipas angin berupa baling-baling, tiang, travo, baut-baut kecil, dan potongan kabel.

Di sisi lain ruangan tampak sebuah gerobak kecil berisi palu, obeng, tang, tespen, dan beberapa alat pertukangan. Kabel listrik malang melintang tidak beraturan melengkapi kesan berantakan dan kesemrawutan.

Di ruangan itulah seorang pria bernama Sofyan Efendi menjalani hari-harinya. Endi, saya memanggilnya, bertugas sebagai penjaga di sebuah yayasan. Sudah puluhan tahun dia menjalani tugas itu.

Di sela-sela tugasnya sebagai penjaga, Endi menerima jasa servis kipas angin. Maka waktunya banyak berhubungan dengan kipas angin rusak atau bermasalah. Endi jarang menggunakan baju. Dengan hanya bercelana kolor, dia selalu tampak sibuk dengan kipas. Tidak heran di ruangannya ada beberapa bangkai kipas.

Menjalani kegiatan sebagai tukang servis kipas, Endi kerap menerima bayaran jasa perbaikan yang tidak layak dari orang-orang sekitar. Sebagian kita memang begitu. Ada semacam kecenderungan pada pertimbangan ekonomis, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang sekecil mungkin. 

Memang benar bahwa penerima jasa harus mendapatkan kepuasan. Tetapi pelanggan harus juga memberikan umpan balik yang membuat pemberi merasa dihargai.

Kita kerap menggunakan jasa orang terdekat dengan alasan harga bisa nego. Tidak jarang kita bermodal mental gratis hanya dengan basa-basi ucapan terima kasih untuk memberikan penghargaan kepada penjual jasa yang kita kenal dekat. Padahal mereka melakukannya untuk kita dengan harapan dapat menambah pundi-pundi belanja mereka yang selalu kempes.

“Tadi sore saya perbaiki kipas Bu Mur,” katanya suatu malam memulai obrolan saat saya mampir di yayasan.

Setiap hari Endi lebih banyak di yayasan. Makan dan tidur pun di tempat itu. Sesekali saja dia pulang tidur ke rumahnya di seberang jalan untuk melepaskan hasrat bercinta bersama istrinya.

Kalau pulang melewati jalan depan yayasan saya biasa mampir sekadar untuk ngobrol. Obrolan kami tentang apa saja yang bisa dibahas sesuai dengan jangkauan pengetahuan kami. Kadang kami ngobrol sampai jauh malam. 

Endi sendiri lebih banyak membahas tentang kipas dan alat elektronik, tentang penerima jasanya yang cerewet setengah mati, tentang komponen kipas yang rusak, atau tentang perburuan komponen elektronik tak terpakai pada pengepul barang bekas.

“Ada proyek, dong!” saya merespon sambil tersenyum.

Dia hanya tersenyum. Senyum yang menyiratkan sedikit ketidakpuasan. Dia berusaha membungkam ketidakpuasan itu tetapi perasaan itu tidak dapat disembunyikan.

Biasanya kalau kami menyebut kata proyek berarti ada pekerjaan yang mendatangkan penghasilan lumayan untuk ukuran kaum kusam. Proyek bagi kaum kusam berarti ada sedikit keuntungan pendapatan untuk bertahan hidup dalam setengah hari, sehari, atau paling lama dua hari ke depan.

"Hanya lima belas ribu. Seharian baru bisa selesai," katanya datar sambil menghela asap rokoknya dalam-dalam.

"Ya. Tidak apa-apa. Daripada hanya diberikan ucapan terima kasih," saya mencoba membanyol.

Dalam kesehariannya, ayah dua anak itu memiliki hobi menyanyi. Microphone di ruangan itu menjadi sahabatnya dalam menjalani kehidupan dengan cara yang sangat bersahaja.

Jika tidak memperbaiki kipas, Endi pasti sedang menyanyi dengan iringan musik dari YouTube. Kalau sedang menyanyi mulutnya akan terus menempel di microphone dalam ruangan itu. 

Dia akan melupakan semuanya, lupa tentang kipas yang belum rampung diperbaiki, lupa kalau ruangannya berantakan. Menyanyi baginya menjadi pintu keluar dari kegetiran. Dengan berdendang dia merasa bahagia. 

"Menyanyi itu melepaskan beban," katanya memberikan alasan.

Kadang-kadang saya merasa risih mendengar warna suaranya yang tidak sedap. Suara itu berpadu dengan bunyi sound system yang sember dan pecah. Namun, saya berusaha bersikap toleransi agar dia bisa menikmati hidupnya. Sikap ini ternyata mampu meredam suara tidak sedapnya.

Orang-orang sekitar sebagian memandang Endi sebagai orang yang terlalu santai. Dia dianggap tidak peduli dengan masa depannya sendiri. Sebagian lagi bahkan melihat Endi sebagai pemalas. Tidak suka bekerja keras. Cukup dengan menunggu honor dari penjaga dan bayaran servis kipas yang kadang-kadang.

“Kalau semua orang seperti dia, bangsa ini tidak akan maju,” kata seorang pekerja keras kepada saya suatu saat. "Mana bisa berkembang hanya dengan servis kipas dan nyanyi?"

Pagi ini saya menemukannya tengah memasang sebuah dinamo penggerak pada sebuah kipas angin. Dia tampak sumringah karena berhasil memasangnya. Senyumnya akan lebih lebar lagi jika melihat kipas itu berputar.

Bagi saya Endi adalah orang yang paling bahagia. Dia menikmati hidup dengan caranya sendiri. Kebahagiaannya adalah ketika berhasil membuat kipas berputar sempurna dan berdendang riang dengan iringan musik YouTube.

"Bahagia itu tidak ditentukan orang lain."

Lombok Timur, 04 Juli 2023

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun