Setiap hari Endi lebih banyak di yayasan. Makan dan tidur pun di tempat itu. Sesekali saja dia pulang tidur ke rumahnya di seberang jalan untuk melepaskan hasrat bercinta bersama istrinya.
Kalau pulang melewati jalan depan yayasan saya biasa mampir sekadar untuk ngobrol. Obrolan kami tentang apa saja yang bisa dibahas sesuai dengan jangkauan pengetahuan kami. Kadang kami ngobrol sampai jauh malam.
Endi sendiri lebih banyak membahas tentang kipas dan alat elektronik, tentang penerima jasanya yang cerewet setengah mati, tentang komponen kipas yang rusak, atau tentang perburuan komponen elektronik tak terpakai pada pengepul barang bekas.
“Ada proyek, dong!” saya merespon sambil tersenyum.
Dia hanya tersenyum. Senyum yang menyiratkan sedikit ketidakpuasan. Dia berusaha membungkam ketidakpuasan itu tetapi perasaan itu tidak dapat disembunyikan.
Biasanya kalau kami menyebut kata proyek berarti ada pekerjaan yang mendatangkan penghasilan lumayan untuk ukuran kaum kusam. Proyek bagi kaum kusam berarti ada sedikit keuntungan pendapatan untuk bertahan hidup dalam setengah hari, sehari, atau paling lama dua hari ke depan.
"Hanya lima belas ribu. Seharian baru bisa selesai," katanya datar sambil menghela asap rokoknya dalam-dalam.
"Ya. Tidak apa-apa. Daripada hanya diberikan ucapan terima kasih," saya mencoba membanyol.
Dalam kesehariannya, ayah dua anak itu memiliki hobi menyanyi. Microphone di ruangan itu menjadi sahabatnya dalam menjalani kehidupan dengan cara yang sangat bersahaja.
Jika tidak memperbaiki kipas, Endi pasti sedang menyanyi dengan iringan musik dari YouTube. Kalau sedang menyanyi mulutnya akan terus menempel di microphone dalam ruangan itu.
Dia akan melupakan semuanya, lupa tentang kipas yang belum rampung diperbaiki, lupa kalau ruangannya berantakan. Menyanyi baginya menjadi pintu keluar dari kegetiran. Dengan berdendang dia merasa bahagia.