Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rokok dalam Paradoks

9 Juni 2023   11:12 Diperbarui: 9 Juni 2023   12:03 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semalam saya menghadiri tahlilan atas meninggalnya salah seorang keluarga. Rumahnya berada di kampung sebelah yang tidak jauh dari rumah saya. 

Sekitar pukul 20.30 waktu setempat saya keluar menembus malam dengan kuda besi tua yang telah membersamai saya selama belasan tahun. Dalam perjalanan menuju lokasi tahlilan saya singgah di rumah teman yang juga berniat menghadiri acara yang sama. 

Kehadiran saya semalam merupakan kali kedua selama tahlilan sampai malam kedelapan dari sembilan malam yang biasa dilakukan. Sebelumnya saya sempat menghadiri tahlilan pada malam kedua. 

Salah satu kebiasaan tahlilan atau acara serupa di kampung adalah tuan rumah menyediakan tembakau dan kertas rokok yang ditempatkan di atas piring atau wadah tertentu. Tembakau menjadi semacam jamuan yang hampir wajib disiapkan tuan rumah walaupun tetamu tidak menuntut. Biasanya bahan baku rokok itu disiapkan oleh keluarga atau kerabat dekat sebagai bagian dari bantuan untuk keluarga yang ditinggalkan.

Sambil menunggu acara tahlilan dimulai, warga yang sudah hadir biasanya akan membuat rokok lintingan dari tembakau yang disediakan. Bayangkan saja bagaimana asap rokok itu mengepul dari sebagian besar mulut warga yang hadir di bawah tetaring (semacam tenda yang dibuat dengan tiang bambu dan beratap daun kelapa atau terpal).

Usai tahlilan salah seorang kerabat menyampaikan bahwa dalam acara tahlilan tuan rumah tidak menyediakan tembakau atau rokok. Alasannya untuk menghormati almarhum yang semasa hidupnya tidak merokok.

Pengumuman itu membuat sejumlah kerabat lain menggerutu. Sebagian besar keluarga keberatan dengan permakluman itu. Akan terasa ganjil kalau rokok tidak disediakan. Apalagi bukan keluarga yang ditinggalkan yang harus menyiapkan tembakau. Banyak keluarga dan kerabat dekat yang siap membantu menyiapkan tembakau. Apalagi orang yang meninggal itu orang yang sangat dihormati.

Apa yang terjadi pada malam kedua tahlilan di atas menunjukkan bahwa rokok ditempatkan sebagai simbol sosial. Kegiatan sosial seperti acara tahlilan dan acara serupa seakan tidak lengkap tanpa menghadirkan rokok. Tidak menyediakan rokok untuk tetamu akan dianggap pelit oleh warga.

Usai tahlilan saya pulang. Saya berhenti di persimpangan menuju rumah saya sambil menurunkan teman yang menumpang tadi. Saat berhenti, sekelompok remaja belasan tahun datang menghampiri saya. Mereka menyalami dan mencium tangan saya. 

Anak-anak itu ternyata murid-murid saya saat mereka masih duduk di bangku SD. Sambil bersalaman di sela-sela jemari mereka terselip rokok yang tengah membara dan mengepulkan asap putih. Mereka juga baru pulang tahlilan seperti saya.

Sebagian besar kita yang hidup di kampung telah lahir dan dibesarkan dalam tradisi merokok. Di kehidupan kampung, hampir semua orang merokok, dari anak-anak muda, kelompok dewasa, sampai para manula. Kecuali anak-anak di bawah umur dan para perempuan. Di kampung saya sampai sekarang, perempuan perokok kerap mendapatkan stigma negatif, perempuan tak berakhlak atau sedang mengalami gangguan psikologis tertentu. Perempuan yang merokok identik dengan citra yang kurang baik. Saya tidak tahu entah dari sudut pandang apa sampai muncul anggapan seperti ini.

Saat saya masih kecil, sebagian orang membuat rokok lintingan yang dibuat dengan kulit jagung. Beberapa orang menggunakan daun lontar. Tembakau yang digunakan berupa hasil rajangan. Mereka yang memiliki penghasilan lebih biasanya mengkonsumsi rokok pabrikan.

Belakangan produk rokok berkembang menjadi rokok elektrik, sebuah produk rokok yang dikemas dengan bahan baku bukan tembakau. Saya tidak merasa harus menjelaskan bahan baku rokok elektrik dalam artikel ini. Informasinya bertebaran di internet dan dapat diakses oleh sesiapa saja.

Sebagian orang mengklaim bahwa rokok elektrik lebih sehat tinimbang rokok konvensional. Sebagian lagi tetap berasumsi bahwa kedua jenis rokok itu tetap berdampak pada kesehatan.

Tanpa menyertakan sumber informasi, para praktisi kesehatan telah sepakat bahwa rokok dalam jangka panjang dapat berdampak pada kesehatan.

Dampak itu tidak saja dipicu oleh rokok konvensional tetapi juga rokok elektrik atau vape sebagaimana kini menjadi salah satu trend.

Sejauh ini rokok menjadi sebuah paradoks. Di satu sisi, rokok dituding sebagai salah satu pemicu berbagai macam penyakit. Pada saat yang sama, rokok dengan tembakau sebagai bahan baku utamanya, menjadi salah satu komoditi andalan di banyak tempat.

Di tempat saya, misalnya, tembakau menjadi sandaran paling menggiurkan bagi para petani. Selengkapnya baca artikel berjudul Petani Tembakau jika Berhasil Naik Haji, Gagal ke Malaysia dan Kerusakan Lingkungan. Belum lagi serapan tenaga kerja oleh perusahaan rokok. Tembakau, yang tergolong dalam tanaman perkebunan, telah memberikan sumbangsih ekonomi yang cukup besar bagi sebagian besar masyarakat.

Lombok Timur, 09 Juni 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun