Beberapa hari yang lalu saya bertemu seorang teman di sebuah kegiatan rapat. Lama tak jumpa, kami berbasa basi. Sebut saja Pak Rudi.
"Apa kabar, Pak Rudi?" saya mulai menyapa.
"Alhamdulillah sehat," Pak Rudi menimpali sapaan saya dengan senyum.
Ada kegembiaraan dalam pertemuan itu. Kami saling berbagi cerita. Pada dasarnya, hubungan kami tidak terputus begitu saja. Kami masih terhubung melalui jejaring media sosial. Kami masih suka saling membaca status dan saling berkomentar maupun reaksi tertentu pada banyak status.
Tapi begitulah, Namanya juga dunia virtual. Kesan pertemuan dalam dunia nyata dibandingkan dunia virtual akan terasa berbeda. Bertatap muka langsung akan memberikan pengalaman perjumpaan yang lebih berkesan tinimbang melakukan kontak secara daring.
"Luar biasa, Pak." katanya di sela-sela obrolan.
Ini jelas sebuah kalimat pujian. Karena dalam obrolan itu kami berdua saya menduga pujian itu untuk saya. Pujian tentang apa?
"Bagaimana? Luar biasa apanya?" saya penasaran.
"Pak Yamin luar biasa?"
"Apanya yang luar biasa?"
"Itu tulisan di kompasiana?"
"O, Kompasiana. Saya pikir apa. Ah, biasa saja Pak Rudi. Di Kompasiana itu saya cuma juru tulis kelas teri. Ada jutaan membernya. Penghuninya dari berbagai kalangan dan latar belakang profesi, dari sekuriti, guru, dosen, dokter, jurnalis, pecinta lingkungan, sampai politisi. Ada juga para aktivis kemanusiaan."
"Tapi tulisan Pak Yamin sudah banyak kan?"
"Banyak itu relatif, Pak Rudi. Kalau dibandingkan dengan kompasianer debutan artikel saya tergolong banyak. Tetapi kalau disandingkan dengan kompasianer senior atau fanatik, apalagi maestro, saya masih kopral. Tepatnya, dalam kompasiana saya masih kategori taruna."
"Nah, senior fanatik itu maksudnya apa?"
"Itu kategori kompasianer berdasarkan point yang diperoleh."
"Point?"
"Ya. Point setiap kompasianer itu tergantung jumlah dan kualitas artikel, jumlah viewer, komentar."
"Kualitas artikel maksudnya apa?"
"Kualitas artikel itu istilah saya Pak Rudi. Ada 3 jenis, Artikel Utama, Pilihan, dan biasa. Biasanya jenis artikel itu terlihat langsung pada sisi kanan judul tulisan apakah artikel utama, pilihan, atau tidak keduanya. Kualitasnya ditentukan admin."
Saya menjelaskan pak Rudi dengan gaya sok tahu.
"O, gitu. Artikelnya sudah berapa, Pak?"
"Belum sampai dua ratus."
"Seratus lima puluh?" Pak Rudi penasaran.
"Sekitar itulah. Lebih sedikit."
"Sudah dapat banyak dong," kata Pak Rudi sambil menggesekkan ujung jempol dan jari tengahnya.
Setiap orang pasti tahu dengan gerakan tangan seperti itu. Maksudnya uang.
"Ah. belum Pak. Kompasiana itu banyak saingan. Buat dapat reward harus bersaing ratusan ribu profesional."
Rupanya Pak Rudi berfikir kalau menulis di Kompasiana bisa dengan serta-merta dapat uang.
"Secara umum orang bergabung di kompasiana itu tidak berorientasi penghasilan. Sama dengan pengguna facebook atau media sosial lainnya." saya melanjutkan penjelasan.
"Mereka orang-orang yang memang suka menulis. Mereka tidak terlalu peduli pada imbalan material. Mendapat pembaca dan tanggapan dari sesama kompasianer sudah sangat menyenangkan. Imbalan itu bonus."
Pak Rudi manggut-manggut mulai mengerti. Pertanyaan Pak Rudi tentang penghasilan melalui kompasiana menunjukkan bahwa masih ada anggapan bahwa setiap aktivitas kita selalu dikaitkan dengan apa imbalan materi yang bisa kita dapatkan. Sesuatu dianggap positif jika kita dapat menambah pundi-pundi berupa uang dan kompensasi material. Padahal ada sisi lain dari diri seseorang yang butuh kepuasan. Itulah sisi bathiniah.
Lombok Timur, 13 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H