Puasa dalam gempuran dahaga sangat menyakitkan. Tidak mungkin minum. Selalu ada rasa sayang pada puasa kalau dibatalkan hanya dengan seteguk air. Sekali lagi bertahan dalam dahaga itu berat. Pikiran kanak-kanak dan orang dewasa tentu berbeda.
Sebagai anak kecil saya mencoba mengurangi rasa haus itu dengan cara saya sendiri. Saat panas matahari menyengat saya membasahi kepala atau mandi di kolam milik seorang warga. Berendam lama.
Cara lainnya kumur-kumur sambil mendongak sampai air menyentuh tenggorokan.
Pengalaman-pengalaman itu merupakan kenangan yang melukis kesadaran masa kecil dalam berpuasa.
Puasa masa kecil kala itu permainan anak-anak pada jamannya; main gasing, kasti, atau sepak bola. Pada saat lain menaiki mangga, pohon jambu, atau jowet yang tumbuh liar di pematang sawah. Tidak ada gadget, tidak ada televisi. Satu dua orang hanya memiliki radio tape recorder.
Saat malam tiba. Orang-orang berduyun-duyun menuju masjid atau langgar untuk shalat tarawih. Anak-anak dengan penuh semangat tidak mau ketinggalan.
Pada awal-awal tarawih, saya dan anak-anak lainnya mengikuti dengan sepenuh hati. Saat masuk sepertiga pertahanan mulai oleng.
Rakaat berikutnya diikuti dengan tidak sempurna. Rasa suntuk mulai menggoda. Anak- anak takbiratul ihram ketika imam selesai membaca surah al-Fatihah. Makin ke ujung makin kendor. Anak-anak mulai rebahan, atau hanya duduk tidak ikut shalat. O, ya. Untuk menghitung rakaat tarawih biasanya menggunakan potongan lidi.
Bercanda adalah dunia anak-anak. Saat tarawih pun tidak lepas dari dunia bercanda, mulai dari saling colek, saling senggol, injak kaki teman di samping, dan segala jenis candaan. Ini membuat marbot dan orang tua marah.
Tadarus juga bagian paling menyenangkan. Mengapa? Ada makanan yang diantar ibu-ibu. Bagi saya dan anak-anak ini point pentingnya.
Sahur adalah tahapan terberat, sama beratnya dengan menahan puasa saat tengah hari.