Dia tipe bocah keras kepala, anak yang susah dikendalikan, atau sulit diatur. Keinginannya harus dipenuhi. Itulah yang membuat saya dan istri saya kerap mengelus dada. Kesabaran saya seringkali harus diuji dengan tingkahnya yang tidak bisa kompromi. Dia benar-benar membuat saya harus belajar bersabar menghadapi tingkah lakunya.
Menghadapi anak seperti itu mau tidak mau membutuhkan kesabaran. Saya hanya mengambil hikmahnya saja. Anak seperti itu bisa jadi merupakan anugerah Tuhan sebagai instrumen untuk melatih kesabaran.
Kalau direnungkan secara mendalam berhadapan dengan bocah tantrum dan menjalani ibadah puasa memiliki persamaan. Kalau saya boleh membuat perbandingan, keduanya sama-sama memerlukan kesabaran. Di satu pihak, kesabaran menghadapi anak-anak yang sulit dikendalikan. Di pihak lain kesabaran menjalani Ramadhan dengan tidak melakukan berbagai pantangan yang dapat membatalkan atau mengurangi nilai ibadah puasa.
Pertama-tama tentu kita sepakat bahwa puasa merupakan momentum dimana kita memerlukan kesabaran. Puasa Ramadhan adalah ibadah yang tidak mudah dilakukan. Ibadah berlapar-lapar ini memerlukan kesabaran dalam berbagai bentuk. Maka mereka yang sanggup berpuasa hanya mereka yang memiliki bekal kesabaran.
1. Menahan lapar dan dahaga sepanjang hari
Ketika berpuasa Ramadhan, seseorang dituntut untuk menahan lapar dan dahaga selama berjam-jam. Seorang kompasianer dalam sebuah artikelnya mengakui bahwa menahan dahaga lebih berat daripada menahan lapar.
Tanpa bekal kesabaran orang yang menjalankan puasa bisa saja memilih makan di siang hari secara diam-diam. Siapa yang tahu. Toh tampang orang yang puasa dan tidak puasa sulit dibedakan.
Dalam situasi normal, di luar Ramadhan jarang kita sanggup bertahan tidak makan sejak pagi sampai maghrib. Namun dalam bulan Ramadhan kita memiliki semacam cadangan energi untuk tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman sepanjang hari. Patut dipercaya kemampuan bertahan ini sesungguhnya ditopang oleh energi kesabaran.
2. Menjaga sikap dan perilaku.
Mencapai kesempurnaan puasa bukanlah sekadar bertahan dari lapar dan dahaga. Puasa Ramadhan sejatinya memberikan dampak pada kemampuan dalam pengendalian diri dari perilaku tidak terpuji. Sebagai makhluk sosial, menjaga sikap dan perilaku kita menjadi penting dalam pergaulan sehari-hari.
Salah satu esensi puasa adalah menjaga dan mengendalikan diri dari tindakan-tindakan yang menimbulkan ketidaknyamanan pada sesama. Kesempurnaan puasa dapat dicapai dengan menahan diri dari ucapan yang dapat menyinggung perasaan orang lain.
Menunjukkan ucapan dan sikap sombong, misalnya, bisa jadi tidak membatalkan puasa tetapi perilaku semacam itu dapat menihilkan makna ibadah puasa.
Nabi SAW mengingatkan melalui An Nasa'i dan Ibnu Majjah,
"Betapa banyak orang yang puasa akan tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga (haus)."
Berbagai sumber menyebutkan bahwa orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini yaitu, orang yang tidak dapat menjaga ucapan, seperti, menggunjing orang lain, suka mencela, mengadu domba, dan para penyebar hoaks. Termasuk di dalamnya yaitu orang yang sombong dan suka pamer, serta berbuka dengan makanan haram. Untuk menghindar dari perilaku ini tentu membutuhkan kesabaran.