Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Ramadhan, antara Pengendalian Diri dan Meningkatnya Kebutuhan

24 Maret 2023   16:13 Diperbarui: 25 Maret 2023   09:52 2880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Ramadhan momen mengendalikan diri| Dok AP via Kompas.com

Sehari sebelum Ramadhan, saya bertandang ke rumah salah seorang teman. Sebut saja Dedi.

"Pak," kata istrinya sambil menyajikan kopi. "Anakmu nelepon minta uang," 

"Kan baru kemarin pulang. Uangnya sudah habis?"

"Ya. Habis. Sekarang dia mau pulang. Dia tidak punya uang untuk beli bensin."

"Mana ada bensin dijual. Ada juga pertalite dan pertamax," Dedi tersenyum melihat wajah istrinya yang sedang gundah karena belum dapat pinjaman.

Baru tadi pagi istrinya mengadu bahwa catatan utangnya di warung seberang jalan sudah meloncat keluar dari halaman kertas. Halaman kertasnya sudah tidak lagi menyisakan ruang kosong untuk menuliskan catatan utangnya.

"Ya. Yang jelas motornya perlu BBM. Dia minta dikirimi sekarang," istrinya menimpali. 

"Berapa?"

"50 ribu mungkin cukup."

"Tapi saya belum punya uang," Dedi meyakinkan istrinya.

Anak sulungnya baru masuk tahun kedua di sebuah perguruan tinggi.

Dia pulang tiap Jumat atau Sabtu. Lalu kembali sore Minggu atau pagi Senin.

Dedi harus menyediakan uang belanja setiap kali anaknya pulang. Dia tampak tersenyum tetapi ada kesan getir. Dedi harus menyiapkan uang hari itu juga. Tidak banyak bagi mereka yang punya simpanan uang. Tapi baginya lima puluh ribu itu sangat berharga hari itu.

Dedi mendesah. Dia benar-benar bingung. Sudah beberapa orang teman dekatnya dia pinjami. Ada yang seratus ribu, seratus lima puluh ribu, sampai 300 ribu.

Sudah sebulan terakhir ini dia nyaris tidak bekerja. Sebagai tukang bangunan Dedi tidak setiap hari dapat menjual jasanya. Kalaupun ada hanya pekerjaan perbaikan kecil yang dapat diselesaikan dalam satu dua hari.

Pikiran Dedi melesat terbang bagai elang tengah mencari mangsa. Pikirannya adalah sepasang mata elang yang nanar menatap setiap sudut yang terbuka untuk memastikan tikus, anak ayam, atau kadal yang bisa disantap.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Memasuki gerbang Ramadhan tahun ini Dedi seperti sedang membawa anak-anak masuk ke toko mainan tanpa sepeser uang. Dompetnya kosong melompong.

"Terus bagaimana ini? Saya harus cari ke mana lagi? Kemarin saya ngutang sama Erna. Belum lagi buat persiapan makan sahur."

Dedi tersentak dari lamunannya. Dia menarik napas.

"Apa bedanya makan sahur dengan makan biasa? Sama saja," Dedi mengajukan pertanyaan dan menjawab sendiri. 

"Tapi ini puasa," kata istrinya.

"Justru puasa itu seharusnya membuat kita makan apa adanya. Sahur tidak harus makan enak," Dedi sedikit ceramah.

Apa yang disampaikan Dedi di atas membawa saya pada kenyataan bahwa selama ini kita belum sepenuhnya menjadikan sebagai bulan Ramadhan pengendalian diri.

Kita semua memahami bahwa Ramadhan diyakini sebagai bulan penempaan diri, bulan dimana umat Islam melatih kemampuan mengendalikan diri, mengekang hawa nafsu. 

Selama satu bulan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari kaum muslim melakukan ritual tidak makan dan minum, tidak bersanggama, dan tindakan lain yang dapat membatalkan puasa.

Puasa Ramadhan juga menjadi instrumen bagi seorang muslim untuk berusaha membatasi keinginan dan kebutuhan fisiknya, serta mengendalikan nafsu makan dan minum yang berlebihan. Dengan melakukan puasa, seseorang dapat belajar untuk mengontrol dirinya dan lebih sadar akan kebutuhan dan keinginan dirinya.

Secara sosial, puasa Ramadhan juga berorientasi kepada perbaikan kehidupan sosial umat Muslim. Dalam puasa Ramadhan, umat Muslim diharapkan untuk lebih banyak bersedekah dan berinfaq untuk membantu sesama, berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.

Puasa bukan sekadar menahan hawa nafsu dengan tidak makan dan minum belaka. Ramadhan juga menjadi momentum untuk meningkatkan kualitas diri secara spiritual. Dalam konteks ini, seorang Muslim dituntut untuk lebih banyak melakukan refleksi atas tindakan dan pengalaman masa lalu. 

Ramadhan menyarankan agar seseorang secara pribadi memperbaiki kualitas spiritual melalui peningkatan ibadah kepada Allah secara intensif.

Meningkatnya Kebutuhan

Saat Ramadhan tiba, setiap sore jalanan di kota kecamatan di daerah saya hampir selalu mengalami kemacetan. Penyebabnya dipicu oleh masyarakat sekitar yang berburu makanan untuk berbuka puasa. 

Di kiri kanan jalan berjajar lapak kuliner yang menyediakan berbagai jenis makanan. Lapak-lapak dadakan itu menyediakan banyak pilihan menu berbuka puasa. Anda hanya perlu membawa sejumlah uang untuk mendapatkan jenis makanan berbuka yang diinginkan.

Sebagian besar kita beranggapan bahwa berbuka menjadi momen istimewa. Maka persepsi yang muncul adalah menu berbuka juga harus istimewa, harus enak dan lezat. Makanan harus berbeda dengan makanan di hari lain di luar Ramadhan.

Persepsi tentang menu berbuka di atas bermuara pada meningkatnya biaya hidup saat Ramadhan tiba. Biaya kebutuhan makanan menjadi mengalami peningkatan. Belum lagi menjelang lebaran, kebutuhan makanan dan pakaian mengalami peningkatan.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa Ramadhan tidak serta merta membuat kita mampu menahan diri secara individu dari kebutuhan dasar kita. Ramadhan malah sebaliknya membuat kita menjadi makin konsumtif.

Menu berbuka kita setiap hari berbeda dengan menu makanan pada umumnya di luar Ramadhan. Di luar Ramadhan sebagian kita tidak terlalu mempersoalkan jenis menu makanan sehari-hari tetapi ketika Ramadhan tiba semua berubah. Kita akan memilih makanan terbaik, paling lezat, lalu berbuka puasa sepuas-puasnya.

Jika kembali kepada makna puasa Ramadhan, sesungguhnya kita belum sepenuhnya memanfaatkan Ramadhan sebagai bulan latihan. Perilaku makan kita saja belum menempat Ramadhan sebagai bulan yang memberikan kepada kita untuk belajar mengendalikan hawa nafsu.

Di satu sisi kita setuju bahwa Ramadhan mengajak kita hidup dalam kesederhanaan tetapi di sisi lain sikap konsumerisme mewarnai suasana puasa kita.

Ramadhan Penuh Berkah

Cara kita memaknai bulan Ramadhan sebagai bulan pengendalian hawa nafsu sebagaimana diuraikan di atas tentu tidak seluruhnya dapat dianggap salah.

Bulan Ramadhan penuh berkah, bulan yang memberikan banyak kebaikan. Hal ini telah menjadi keyakinan bersama umat Islam.

Kecenderungan konsumtif kita dalam bulan Ramadhan menjadi berkah bagi banyak orang. Munculnya penjual makanan saat Ramadhan merupakan sisi positif dari kecenderungan kita berbuka puasa dengan menu istimewa. 

Momentum Ramadhan memicu geliat ekonomi para pengusaha makanan. Apalagi menjelang lebaran, kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan makanan dan pakaian menjadi berkah bagi para pelaku ekonomi, tidak saja pengusaha besar tetapi juga pedagang kecil.

Belum lagi tradisi mudik yang telah menjadi aktivitas tahunan. Tradisi pulang kampung itu tentu saja memberikan dampak positif bagi banyak orang.

Lombok Timur, 24 Maret 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun