Anak sulungnya baru masuk tahun kedua di sebuah perguruan tinggi.
Dia pulang tiap Jumat atau Sabtu. Lalu kembali sore Minggu atau pagi Senin.
Dedi harus menyediakan uang belanja setiap kali anaknya pulang. Dia tampak tersenyum tetapi ada kesan getir. Dedi harus menyiapkan uang hari itu juga. Tidak banyak bagi mereka yang punya simpanan uang. Tapi baginya lima puluh ribu itu sangat berharga hari itu.
Dedi mendesah. Dia benar-benar bingung. Sudah beberapa orang teman dekatnya dia pinjami. Ada yang seratus ribu, seratus lima puluh ribu, sampai 300 ribu.
Sudah sebulan terakhir ini dia nyaris tidak bekerja. Sebagai tukang bangunan Dedi tidak setiap hari dapat menjual jasanya. Kalaupun ada hanya pekerjaan perbaikan kecil yang dapat diselesaikan dalam satu dua hari.
Pikiran Dedi melesat terbang bagai elang tengah mencari mangsa. Pikirannya adalah sepasang mata elang yang nanar menatap setiap sudut yang terbuka untuk memastikan tikus, anak ayam, atau kadal yang bisa disantap.
Memasuki gerbang Ramadhan tahun ini Dedi seperti sedang membawa anak-anak masuk ke toko mainan tanpa sepeser uang. Dompetnya kosong melompong.
"Terus bagaimana ini? Saya harus cari ke mana lagi? Kemarin saya ngutang sama Erna. Belum lagi buat persiapan makan sahur."
Dedi tersentak dari lamunannya. Dia menarik napas.
"Apa bedanya makan sahur dengan makan biasa? Sama saja," Dedi mengajukan pertanyaan dan menjawab sendiri.