Bulan yang lalu, Januari 2023, anak saya mengirim pesan singkat kepada saya. Isi pesannya tentang rencana membangun bisnis white labelling product dengan teman-temannya.
Pesannya disertai dengan lampiran video YouTube mengenai konsep white labelling product. Saya tentu saja mendukung jika itu positif. Saya mengiyakan saja walaupun tidak begitu paham tentang konsep bisnis yang ingin dia lakukan.
Di lain waktu, beberapa hari yang lalu, dia minta kiriman belanja harian karena uang sakunya sudah menipis. Beberapa menit berikutnya dia mengirimkan sebuah file berisi banner sebuah kegiatan di kampusnya. Katanya sedang mendapatkan job desk membuat banner kegiatan dalam dies natalis sebuah organisasi di kampusnya.
Sejauh ini saya belum mendapatkan informasi dari keberlanjutan dari rencana bisnis white labelling product itu. Apakah itu hanya sebuah ide yang masih dalam proses atau hanya untuk menyenangkan saya.
Salah seorang sepupu saya juga menunjukkan semangat bisnis yang besar. Bedanya sepupu saya sudah mulai melakukan aksinya dengan berjualan es di kampusnya.
Dia juga jualan pakaian yang dibeli secara online lalu ditawarkan secara offline kepada teman-temannya dan masyarakat di kampung. Di rumahnya sendiri, dia memanfaatkan ruang kosong di pekarangan rumahnya untuk memelihara ayam.
Dia juga bertani dengan memanfaatkan sepetak sawah milik orangtuanya. Dalam hal bertani dia berusaha menanam komoditi pertanian yang berpeluang memberikan keuntungan yang lebih, misalnya, menanam cabai saat orang lain kebanyakan menanam padi. Dia mencoba memanfaatkan peluang waktu tanam dengan memperkirakan tanaman apa yang memiliki nilai jual tinggi saat panen nantinya.
Baginya, perhitungan ini penting agar nilai jual hasil pertanian mencapai harga yang maksimal. Dia memperhitungkan saat panen tidak mencapai kondisi over produksi. Dengan perhitungan ini harga jual hasil pertaniannya dapat memberikan keuntungan yang memuaskan.
Pesan yang dikirim anak saya dan usaha (bisnis) sepupu itu membuat saya menyadari bahwa anak-anak sekarang atau generasi Z menunjukkan jiwa wirausaha dan mental kemandirian.
Mereka berpikir bagaimana bisa bekerja dan menghasilkan sesuatu, entah itu secara finansial atau motivasi lain yang memberikan dampak positif bagi dirinya sendiri.
Anak dan sepupu saya merupakan anak-anak yang lahir dalam rentang masa di mana mereka dikelompokkan dalam generasi Z, antara tahun 1997-2012. Kelompok ini kerap juga diberikan label sebagai iGen.
Dalam istilah lain kelompok umur ini dikenal dengan kelompok generasi digital native. Mereka merupakan penerus generasi Y (millennial), dimana mereka tumbuh dengan teknologi yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Generasi Z, iGen, atau generasi native digital yang sering dimasukkan dalam kelompok rentang umur 9 sampai 24 tahun merupakan generasi yang sangat familiar dengan smartphone, media sosial, dan internet.
Apa yang ditunjukkan oleh anak dan sepupu saya membuktikan bahwa mereka telah dibentuk menjadi generasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka dicirikan dengan perilaku produktif, sikap pragmatis, dan berpikir finansial.
Ciri di atas menjadi salah satu karakteristik generasi Z atau generasi digital native. Sebagian besar generasi ini tumbuh menyaksikan orang tua mereka mengalami pukulan finansial yang besar selama resesi hebat, sebagaimana dikutip dari blog Annie E. Casey,
Karakteristik ini mungkin terkesan negatif bagi para penentang sikap pragmatis dan pemikir anti materialisme. Akan tetapi sesungguhnya, sikap yang ditunjukkan oleh generasi Z pada dasarnya dapat dipandang sebagai sebuah kemandirian--salah satu karakter dunia wirausaha. Mereka berusaha menjadi pribadi yang mandiri.
Kemandirian itu membuat mereka berpikir untuk melakukan sesuatu yang produktif sehingga dapat memenuhi kebutuhannya lebih dari yang didapatkan dari orang tuanya.
Apa yang menjadi karakter generasi Z dengan sikap pragmatis dan pikiran finansialnya, ditunjukkan oleh seorang mahasiswa di desa saya. Sambil kuliah dia menjalani bisnis jual beli ikan asin yang dia datangkan dari luar daerah.
Sebuah percakapan dua anak muda di suatu barber shop menguatkan bahwa generasi sekarang ini mengalami kegelisahan bagaimana menghasilkan uang tanpa bergantung kepada orangtuanya.
Mereka ngobrol tentang bagaimana membuat makanan olahan yang menarik dari bahan tertentu yang bisa mereka pasarkan untuk orang-orang sekitarnya.
Di balik vonis sebagai generasi manja dan tidak mau tumbuh dewasa ... "Gen Z tidak 'dimanjakan'. Mereka sangat kolaboratif, mandiri dan pragmatis..."
Demikian Melissa De Witte menuliskan dalam news.stanford, tentang hasil penelitian Roberta Katz, seorang senior sarjana peneliti di Stanford's.
Terlepas dari ciri khas mereka sebagai generasi yang akrab dengan dunia digital, iGen merupakan generasi yang juga memiliki semangat dan kemauan yang keras, mandiri, dan tentu saja, produktif. Mereka memiliki dunia kerja sendiri, Dunia Kerja Gen Z.
Lombok Timur, 27 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H