Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Keluarga Bebas Anak, Ada Alasan Tidak Normatif

12 Februari 2023   22:36 Diperbarui: 13 Februari 2023   05:22 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu problem mendasar dari pergeseran budaya di era kontemporer saat ini adalah adanya fenomena yang berseberangan dengan kelaziman. Di antara problem itu adalah cara pandang yang berubah tentang kehidupan berkeluarga.

Sepanjang sejarah peradabannya, alasan mendasar manusia untuk hidup berkeluarga adalah menimang anak, momong cucu, atau melanjutkan garis keturunan sebuah keluarga. Sejalan dengan pergeseran budaya, cara pandang terhadap keberadaan anak juga mengalami perubahan. 

Anak sebagai bagian dari keluarga, bagi sekelompok orang, belakangan ini ditempatkan sebagai unsur keluarga dalam persepsi yang berbeda. Sebuah mazhab baru muncul dimana anak dalam keluarga tidak lagi diperlukan. Rumah tangga bebas anak atau childfree.

Adalah Gita Savitri, YouTuber, penyanyi, dan penulis, membuat huru-hara melalui instagram story karena mengeluarkan pernyataan tidak menghendaki keberadaan anak, childfree.

Cara pandang masyarakat Indonesia yang masih kental dengan pandangan "tanpa anak kehidupan keluarga tak berarti apa-apa" tentu saja membuat ramai dunia medsos tanah air. Ada pro dan kontra terhadap huru hara itu. Pilihan ini tentu terlepas dari faktor yang muncul di luar kehendak manusia, seperti kemampuan manusia dalam menjalankan fungsi reproduksinya.

Bagi masyarakat Indonesia hal ini merupakan gagasan baru dan tidak lazim walaupun kini di Indonesia sendiri telah muncul kominutas keluarga childfree (sebagaimana dikutip dari VOA). Bagaimanapun juga keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak dianggap berseberangan dengan kehidupan keluarga pada umumnya.

Namun demikian itu soal pilihan. Setiap orang berhak tidak tunduk pada kelaziman yang ada. Ketika sepasang suami istri sepakat tidak memiliki anak itu merupakan pilihan, maka keputusan untuk memiliki anak juga pilihan.

Alasan childfree

Jika Gita memiliki alasan agar tetap awet muda dengan menjalani kehidupan keluarga tanpa anak, ada banyak alasan lain yang membuat pasangan suami istri menjatuhkan keputusan pada pilihan ini.

Dalam budaya Indonesia, hidup tanpa anak karena faktor di luar kehendak  (childless) mendapatkan stigma sebagai pasangan yang perlu dikasihani. Stigma ini kerap dilekatkan pada pasangan yang menginginkan anak tetapi terkendala karena ketidakmampuan reproduksi, misalnya, mandul. Apalagi jika pasangan itu memang tidak menghendaki kehadiran seorang anak atau childfree.

Diperlukan lebih banyak pengetahuan dan pemahaman untuk mengklarifikasi pilihan individu yang bebas anak (childfree) dan menangani persepsi yang umumnya tidak adil dalam masyarakat. 

Childfree berarti tidak menjadi orang tua. Dilansir dari ScienceDirect, sebuah studi di Swedia menunjukkan bahwa pilihan untuk tidak menjadi orang tua dipicu oleh sejumlah alasan. 

Sebagian besar mereka yang memilih tidak menjadi orang tua, menggambarkan anak sebagai konsep yang terpisah dari dirinya sendiri. Di antaranya ada yang menganggap anak tidak menarik dan sesuatu yang tidak mereka rindukan. Tidak ada sisi kehidupan anak-anak yang menarik bagi mereka. 

Argumen di atas tidak berakhir sampai di situ. Ada juga yang merasa tidak memiliki kemampuan sebagai orang tua, pengalaman traumatik pada masa kanak-anak, sampai kondisi keuangan yang buruk. Alasan lainnya karena kehidupan dunia dewasa ini bukan tempat yang baik untuk anak-anak untuk menggambarkan kelebihan populasi dan pencemaran global.

Beberapa orang beralasan bahwa perempuan lebih banyak mengambil tanggung jawab mengasuh anak daripada laki-laki. Hal ini dianggap tidak setara dan menjadi jebakan bagi perempuan. 

Sekelompok orang lainnya beralasan lebih bebas melakukan hal-hal positif untuk dirinya tanpa terganggu dengan kehadiran anak dalam keluarga. Mereka dapat melakukan banyak hal menyenangkan tanpa terganggu oleh aktivitas mengasuh anak. Mereka melihat orang yang memiliki anak menghabiskan banyak waktu dan energi.

Sebuah artikel dalam majalah forbes edisi April 2021 menyebutkan bahwa perempuan tanpa anak dapat berbagi lebih banyak kekayaannya dengan orang lain yang membutuhkan.

Mencari Kebebasan, Awet Muda, Lebih Banyak Berbagi?

Di antara alasan-alasan itu beberapa alasan bisa diterima, seperti alasan beban finansial, faktor pertumbuhan populasi, dan kesehatan lingkungan global. Akan tetapi, beberapa alasan lain tampak tidak normatif dan masih terbuka untuk didiskusikan.

Jika karena alasan kebebasan, tidak seorangpun memiliki kebebasan utuh dalam hidupnya. Kita selalu dihadapkan kepada ikatan atau aturan tertentu yang membuat kita tidak dapat menggenggam kebebasan secara mutlak. Di tempat kerja kita berhadapan dengan peraturan perusahaan. Pada banyak hal dalam kehidupan sosial kebebasan kita dibatasi oleh hak-hak orang lain di sekitar kita.

Gita Savitri memiliki alasan agar tetap awet muda dengan tidak menjadi orang tua. Lalu sejauh mana yang bersangkutan mampu mempertahankan diri dari ancaman penuaan. Berapa lama dia akan tetap cantik dan pribadi yang menggairahkan. Penuaan dan kerentaan menjadi sebuah keniscayaan.

Tidak menjadi orang tua atau hidup bebas anak bukanlah alasan untuk dapat berbagi kekayaan. Jika asumsinya berbagi kekayaan lebih banyak kepada sesama lalu anak itu siapa. Bukankah mereka juga manusia yang lahir dari rahim seorang perempuan? Alasan ini sangat tidak rasional dan seolah berbagi kepada anak adalah tindakan yang tidak bermanfaat.

Dengan atau tanpa anak setiap orang dapat membantu orang lain sejauh kemampuan yang dimilikinya. Anak-anak bukanlah halangan untuk berbagi kepada sesama jika seseorang memang memiliki kemampuan dan kesungguhan.

Anak sebagai Sumber Kebahagiaan

Seorang teman saya mengeluh karena anaknya sudah menikah beberapa tahun belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Entah sudah berapa dokter yang dikunjungi, berapa tabib yang didatangi, dan sudah banyak ritual yang dilakukan.

Apa yang dialami teman saya menjadi sebuah fakta bahwa anak menjadi salah satu tujuan sebuah pernikahan. Juga masih menjadi kesadaran yang kental bahwa anak merupakan satu dari banyak alasan orang tua untuk bekerja keras. Menjadi kebahagiaan pula ketika anak-anak itu tumbuh besar dan dewasa, apalagi ketika mereka mencapai puncak kesuksesan.

Saat bertemu dengan teman lama, pertanyaan paling umum sebagai basa basi adalah tentang anak-anak; berapa anak, anak-anak bekerja atau kuliah di mana, sudah punya cucu atau belum, dan berbagai pertanyaan serupa. Mereka, teman lama, akan jarang atau bahkan tidak pernah bertanya berapa koleksi mobil, berapa unit rumah, atau berapa penghasilan dan pengeluaran setiap bulan.

Bagaimanapun juga kebanyakan orang memiliki kecenderungan alami, keinginan untuk beranak pinak. Betapa banyak pasangan keluarga merasa kesepian karena tidak ada kehadiran anak dalam keseharian mereka. Banyak kasus dimana sejumlah keluarga yang telah menikah bertahun-tahun merasa tersiksa karena belum juga memiliki anak. Secara umum mereka mengalami beban psikologis karena dirundung kesepian tanpa anak-anak sebagaimana keluarga lain pada umumnya.

Beberapa kasus di daerah saya, bahkan ada perempuan yang dinyatakan mandul dan tidak memiliki kemampuan melahirkan anak meminta suami mereka menikah lagi dan bersedia hidup dalam situasi poligami agar dapat memperoleh anak. Dalam banyak kasus pula hubungan suami istri berakhir karena salah satu di antaranya tidak memiliki kemampuan reproduksi.

Harus diakui bahwa membesarkan anak merupakan sebuah tugas besar. Orang tua harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Hal ini mungkin akan membuat orang tua kekurangan waktu untuk membahagiakan diri sendiri dari waktu ke waktu. Namun demikian di balik semua itu, memiliki dan membesarkan anak memberikan makna, kepuasan, dan koneksi dalam kehidupan orang tua. Inilah alasan mendasar mengapa orang memiliki anak jauh melampaui kebahagiaan mereka sendiri. 

Capaian terbesar dan puncak kepuasan orang tua adalah ketika berhasil menciptakan kehidupan baru. Semua itu dicapai dengan curahan cinta dan pengabdian serta perlindungan dan kasih sayang kepada anak-anak. Hal paling manusiawi sepanjang jaman adalah kebanggaan orang tua ketika berhasil mengantarkan anak-anaknya mencapai cita-cita hidupnya. Mereka yang memilih menjadi orang tua akan berjuang sekuat tenaga untuk membesarkan dan mendidik anak-anak.

Akhirnya saya ingin menutup artikel sederhana ini dengan mengutip tulisan Cory Stieg, seorang jurnalis kesehatan dan kebugaran New York, Amerika Serikat. Cory menulis dalam artikelnya sepenggal pernyataan Jennifer Glass, profesor sosiologi di University of Texas di Austin dan seorang ahli demografi yang mempelajari hubungan antara menjadi orang tua dan kesejahteraan,

"Kebanyakan orang tua merasa bahwa anak-anak mereka adalah sumber kepuasan hidup yang sangat penting. (sumber cnbc.com)

Lombok timur, 12 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun