Bersosialisasi dengan tetangga di kampung merupakan kebutuhan dan rutinitas keseharian. Dalam kehidupan kampung menjadi hal yang lumrah untuk saling bertandang saat-saat senggang. Biasanya pada malam hari.
Salah satu cara bersosialisasi itu adalah dengan ngobrol di teras rumah atau sekepat (saung berkaki empat). Kita bisa ngobrol tentang apa saja--tentang jalan kampung yang berlumpur, tentang sayur yang hambar atau keasinan, tentang anak-anak yang merengek minta dibelikan mainan, atau tentang ramuan obat laki-laki dewasa.
Setelah makan malam, biasanya saya keluar rumah dan melihat-lihat teras rumah tetangga. Hal yang tidak saya lakukan dalam beberapa malam karena faktor hujan yang terus menerus mengguyur malam.
Malam ini suasana langit malam terlihat cerah. Sebongkah bulan menyebarkan cahaya lembutnya dari balik awan tipis. Cahayanya menerpa dedaunan, pelataran rumah yang lembab, dan terserak di area persawahan sekitar perkampungan. Perkiraan saya sekitar tanggal 16 atau 17 Rajab 1444 H.
Sebuah teras di seberang jalan tampak benderang. Terlihat sejumlah orang tengah ngobrol. Keinginan untuk bergabung bersama mereka menguat. Di antara mereka ada tiga bersaudara.
Mereka baru saja pulang sekitar dua Minggu yang lalu dari Kalimantan. Mereka merantau ke pulau itu untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Setiap tahun menjelang Ramadlan mereka pulang. Biasanya seminggu sampai sebulan sebelum puasa mereka sudah berada di rumah. Pasca lebaran mereka kembali meninggalkan istri dan anak-anaknya.
Tetapi tahun ini rupanya mereka pulang lebih awal, dua bulan menjelang Ramadlan. Berdasarkan selentingan, kali ini mereka cukup tajir sehingga memutuskan pulang lebih awal dari biasanya. Selentingan itu bisa jadi benar karena salah seorang di antara tiga bersaudara itu tengah merenovasi rumahnya.
Apa yang mereka lakukan di pulau terbesar dalam wilayah NKRI itu?
Kompasianer tentu sangat familiar dengan sinetron berseri "Para Pencari Tuhan" (PPT) dengan dialog penuh filosofis tokoh-tokohnya. Saya mengadopsi judul sinetron itu untuk menyebut pekerjaan mereka sebagai "Para Pencari Gaharu".
Mereka memang pencari kayu gaharu (dalam bahasa Sasak disebut garu). Di Negeri Borneo itu, tepatnya di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, di wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia Timur itulah mereka melakukan petualangan keluar masuk hutan untuk mencari gaharu, kayu yang digunakan untuk berbagai keperluan di bidang kesehatan dan kecantikan (KOMPAS.com).