Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Para Pencari Gaharu, Catatan Perjalanan Menantang Rimba

8 Februari 2023   22:58 Diperbarui: 8 Februari 2023   23:22 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri/Diolah dari canva

Bersosialisasi dengan tetangga di kampung merupakan kebutuhan dan rutinitas keseharian. Dalam kehidupan kampung menjadi hal yang lumrah untuk saling bertandang saat-saat senggang. Biasanya pada malam hari.

Salah satu cara bersosialisasi itu adalah dengan ngobrol di teras rumah atau sekepat (saung berkaki empat). Kita bisa ngobrol tentang apa saja--tentang jalan kampung yang berlumpur, tentang sayur yang hambar atau keasinan, tentang anak-anak yang merengek minta dibelikan mainan, atau tentang ramuan obat laki-laki dewasa.

Setelah makan malam, biasanya saya keluar rumah dan melihat-lihat teras rumah tetangga. Hal yang tidak saya lakukan dalam beberapa malam karena faktor hujan yang terus menerus mengguyur malam.

Malam ini suasana langit malam terlihat cerah. Sebongkah bulan menyebarkan cahaya lembutnya dari balik awan tipis. Cahayanya menerpa dedaunan, pelataran rumah yang lembab, dan terserak di area persawahan sekitar perkampungan. Perkiraan saya sekitar tanggal 16 atau 17 Rajab 1444 H. 

Sebuah teras di seberang jalan tampak benderang. Terlihat sejumlah orang tengah ngobrol. Keinginan untuk bergabung bersama mereka menguat. Di antara mereka ada tiga bersaudara. 

Mereka baru saja pulang sekitar dua Minggu yang lalu dari Kalimantan. Mereka merantau ke pulau itu untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Setiap tahun menjelang Ramadlan mereka pulang. Biasanya seminggu sampai sebulan sebelum puasa mereka sudah berada di rumah. Pasca lebaran mereka kembali meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Tetapi tahun ini rupanya mereka pulang lebih awal, dua bulan menjelang Ramadlan. Berdasarkan selentingan, kali ini mereka cukup tajir sehingga memutuskan pulang lebih awal dari biasanya. Selentingan itu bisa jadi benar karena salah seorang di antara tiga bersaudara itu tengah merenovasi rumahnya.

Apa yang mereka lakukan di pulau terbesar dalam wilayah NKRI itu?

Kompasianer tentu sangat familiar dengan sinetron berseri "Para Pencari Tuhan" (PPT) dengan dialog penuh filosofis tokoh-tokohnya. Saya mengadopsi judul sinetron itu untuk menyebut pekerjaan mereka sebagai "Para Pencari Gaharu".

Mereka memang pencari kayu gaharu (dalam bahasa Sasak disebut garu). Di Negeri Borneo itu, tepatnya di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, di wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia Timur itulah mereka melakukan petualangan keluar masuk hutan untuk mencari gaharu, kayu yang digunakan untuk berbagai keperluan di bidang kesehatan dan kecantikan (KOMPAS.com). 

Mereka, Para Pencari Gaharu, merupakan orang-orang orang nekat dengan keberanian yang luar biasa. Mereka berani menantang rimba Kalimantan Utara dengan berbagai bahaya yang menghadang.

Para Pencari Gaharu (PPG) merupakan orang-orang yang dilengkapi anugerah dengan keberanian yang melampaui batas toleransi. Mereka sama saja dengan pemanjat gedung pencakar langit yang berani menantang maut

Jika pemanjat gedung berhadapan ketinggian dan kekuatan gravitasi bumi, PPG harus berhadapan dengan kehidupan buas alam rimba. Mereka harus berjumpa dengan perubahan cuaca ekstrem, tebing yang curam, atau binatang buas.

Bahaya paling menakutkan menurut mereka adalah tersesat dan kehilangan arah. Kepada siapa hendak minta pertolongan selain pasrah jika tidak bertemu seseorang. Dalam rimba tidak mungkin dapat memanfaatkan smartphone untuk memanggil bala bantuan. Tidak ada signal. 

Belum lagi resiko kehabisan bekal, terutama beras. Serangan malaria dari nyamuk anopheles juga bahaya lain yang tidak kalah menakutkan. Katanya, sudah ada di antara mereka meninggal akibat serangan parasit Plasmodium itu. Salah seorang temannya tertimpa pohon dan dimakamkan dalam belantara.

Secara berkelompok mereka masuk hutan. Mereka menaklukkan bukit, menantang arus sungai. Di tengah hutan mereka membangun tenda sekadar tempat berteduh semalam untuk melanjutkan perjalanan besok pagi. 

Setiap kelompok bisa terdiri dari 5-10 orang. Masig-masing anggota membawa beban sambil berjalan kaki. Paling tidak setiap orang membutuhkan beban 70 kg berupa makanan, selimut, terpal, pakaian, dan kebutuhan lain. Dengan beban itu mereka menembus belantara, membelah sungai, menaklukkan bukit, dan menantang berbagai sisi alam liar hutan Kalimantan.

Untuk melakukan petualangan itu, mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan. Petualangan itu membuat mereka harus membawa sangu atau bekal perjalanan yang cukup. Menempuh perjalanan dengan beban begitu berat dan medan tempuh yang penuh bahaya hanya dapat dilakukan oleh orang-orang bernyali.

Tiga hal yang harus mereka miliki, keberanian atau mental rimba, fisik yang kuat, dan ingatan yang tajam. Jangan coba-coba ikut mereka kalau sering lupa. Bisa tidak tahu jalan pulang.

Lombok Timur, 08 Februari 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun