Mentari meringkuk di balik pekatnya lengkung langit. Kristal cair terus menghujani dedaunan, rumput liar, hamparan sawah. Sudah dua hari cuaca serupa berlangsung di sebagian besar pulau Lombok. Kondisi itu membuat ibu-ibu rumah tangga mengeluh karena jemurannya tak kunjung mengering. Para tukang sayur, tukang cilok, dan pedagang keliling lainnya membeku karena tidak dapat menjajakan dagangannya.
"Embuk nyale," kata orang tua Sasak. Embuk nyale sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan fenomena hujan dengan intensitas tinggi sebagai pertanda munculnya nyale di pesisir selatan pulau Lombok. Embuk tengkong juga istilah lain yang menandai tumbuhnya jamur saat hujan mulai tiba.
Kemunculan nyale itu terjadi setiap tahun. Nyale merupakan istilah Sasak untuk menyebut cacing laut. Kemunculan cacing laut itu telah melahirkan sebuah tradisi unik masyarakat Sasak yang dikenal dengan bau nyale. Bau berarti menangkap dan nyale berarti cacing laut sehingga secara harfiah berarti menangkap cacing.
Salah satu perlengkapan yang harus dibawa para pemburu nyale itu adalah jaring. Karena akan bermalam, mereka juga menggenapkan diri dengan tenda, bekal makanan, dan kebutuhan lain layaknya orang sedang camping.
Tradisi bau nyale merupakan sebuah ritual menangkap nyale atau cacing laut secara bersama-sama yang diselenggarakan setiap tahun saat musim hujan. Tradisi ini diyakini telah berkembang sejak abad ke 16.
Kemunculan nyale selalu dapat diperkirakan dengan akurat. Dengan menggunakan metode tertentu, para sesepuh masyarakat Sasak dapat menjelaskan dengan tepat detik-detik kemunculan cacing laut tersebut. Jarang sekali perkiraannya meleset.
Kemunculan nyale terjadi dua kali sehingga dikenal dengan nyale tunggak dan nyale poto. Nyale tunggak merupakan kemunculan nyale pertama sekitar bulan Februari sedang nyale poto adalah kemunculan nyale kedua atau nyale akhir yang muncul pada bulan Maret.
Pelaksanaannya pada waktu malam. Tahun ini bau nyale dilaksanakan pada hari Jumat-Sabtu tanggal 10-11 Februari 2023. Waktu pelaksanaan itu ditentukan berdasarkan estimasi kemunculan cacing laut.
Para tetua menggunakan perhitungan penanggalan tradisional Sasak (pranata mangsa) yang jatuh pada tanggal 20 bulan 10 atau tepat 5 hari setelah bulan purnama.
Penentuan waktu bau nyale juga menggunakan tanda-tanda alam berupa munculnya bintang rowot (gugusan bintang yang terdiri dari tujuh bintang yang saling berdekatan yang terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat.
Tradisi bau nyale dilakukan setiap setahun. Lokasi ritual bau nyale dilakukan di sepanjang pantai selatan Lombok, seperti Pantai Seger Kuta Lombok, Tanjung Aan, Kaliantan, dan pantai selatan lainnya.
Saya sendiri, walaupun sebagai orang Lombok, belum pernah sama sekali mengikuti ritual tersebut. Tetapi berdasarkan cerita tetangga yang selalu hadir di lokasi bau nyale, ribuan orang tumpah ruah memenuhi pantai untuk menangkap nyale sejak sore hingga pagi. Puncak ritualnya menjelang fajar, mulai pukul 04.00 sampai 06.00 waktu setempat.
Tradisi bau nyale berawal dari sebuah legenda seorang putri raja bernama Putri Mandalika. Sang Putri terkenal karena kecantikan dan kepribadiannya yang sangat luhur.
Kepribadian itulah yang membuat banyak pangeran memperebutkan sang Putri. Banyak pangeran datang meminangnya untuk dipersunting sebagai permaisuri. Sang Ayah menyerahkan keputusannya kepada Putri Mandalika.
Karena banyak pangeran yang menginginkannya sebagai permaisuri, Putri merasa khawatir akan terjadi pertumpahan darah jika memilih salah satu dari pangeran tersebut. Maka Putri memilih ingin menjadi milik semua orang.
Untuk menghindari konflik antar kerajaan, Putri Mandalika akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Dia mengorbankan dirinya dengan terjun ke laut.
Menyaksikan tindakan putri tersebut penduduk berupaya memberikan pertolongan. Sayang Putri Mandalika terlanjur ditelan gelombang Samudera Hindia (samudera yang langsung berhadapan dengan pesisir selatan pulau Lombok).
Saat berupaya memberikan pertolongan penduduk menemukan keanehan dengan munculnya cacing laut atau nyale.
Kemunculan nyale itu diyakini sebagai penjelmaan sang Putri. Penduduk pun menagmbil atau menangkap cacing-cacing itu dan memakannya.
Masyarakat Sasak yakin penjelmaan Putri menjadi cacing laut untuk dijadikan santapan merupakan bukti bahwa sang putri memberikan manfaat untuk semua orang.
Cacing laut dengan berbagai warna itu muncul di antara batu karang di bawah permukaan laut. Nyale yang ditangkap oleh masyarakat ini biasanya dijadikan pepes dan dibakar dengan daun pisang.
Nyale menjadi santapan tahunan masyarakat Sasak. Cacing Nyale atau dalam istilah latinnya disebut Eunice fucata memilki kandungan protein yang cukup tinggi.
Dilansir dari LOMBOK JOURNAL, protein cacing nyale lebih besar dua kali lipat dari kandungan protein ayam ras.
Tradisi bau nyale kini telah dijadikan salah satu wisata budaya. Pemerintah daerah berusaha mengembangkan tradisi tersebut dengan melaksanakan festival setiap tahunnya. Festival bau nyale terakhir sebelum pandemi dilaksanakan tahun 2019 dan berhasil menarik 3000 turis asing.
Lombok Timur, 05 Februari 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H