Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sikap Bijaksana Menghadapi Bahaya Kerumunan Mengerikan

1 November 2022   19:39 Diperbarui: 1 November 2022   20:49 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Diolah dari Canva

Tragedi Kanjuruhan, 01/10/22, masih menyisakan duka yang dalam bagi dunia persepakbolaan tanah air. Lebih dari itu, peristiwa Kanjuruhan merupakan tragedi kemanusiaan yang menewaskan ratusan orang sekaligus dituding sebagai bentuk pengelolaan kerumunan massa yang buruk. 

28 hari setelah Kanjuruhan, di belahan bumi lain, Sabtu, 29/10/2022 lalu, peristiwa kelam Itaewon, Korea Selatan, jejal kerumunan dalam peringatan Halloween merenggut nyawa lebih dari 150 orang. 

Sebagaimana dilansir CNBC, sekitar 100 ribu orang menyumbat jalan-jalan sempit di distrik kehidupan malam Itaewon. Tidak ada keributan. Murni kerumunan. Pengunjung terjebak dalam kerumunan padat dan sesak. Sebagian tewas akibat kehabisan oksigen dan terinjak-injak kerumunan itu sendiri.

Dua peristiwa di atas, dan berbagai tragedi kerumunan di banyak tempat, membuktikan bahwa kerumunan dapat menciptakan petaka yang amat mengerikan. Kerumunan normal dapat dengan cepat berubah menjadi situasi yang menyeramkan jika kerumunan itu mengalami kepadatan berlebih. 

Saat merasa dalam bahaya orang-orang akan menjadi panik lalu bertindak agresif dan situasi bisa menjadi fatal. Terlepas dari baik atau buruknya manajemen kerumunan ada hal lain yang penting untuk dipahami.

dr. Vito Anggarino Damay, Sp.JP, dalam ANTARA, menyebutkan bahwa kekurangan oksigen dalam kerumunan massiv dipicu oleh adanya tekanan tubuh dari semua arah. Akibatnya dada menjadi terhimpit sehingga menyebabkan proses pernapasan tersendat. 

Pada titik ini, ketegangan dan adrenalin muncul. Karbondioksida mengalami peningkatan sehingga pembuluh darah menguncup. Pada saat yang sama, oksigen tidak tersalurkan dengan baik karena fungsi jantung sebagai pompa pembuluh darah dan penghantar oksigen juga mengalami kekurangan oksigen.

Jika jantung sebagai organ pemompa darah pembawa oksigen mengalami kekurangan asupan oksigen (hipoksia) akan berakibat detak jantung melambat  bahkan berhenti sama sekali.

Dua peristiwa di atas cukup menjadi pelajaran kita untuk tetap waspada saat berada dalam kerumunan. Oleh karena itu penting untuk memahami bagaimana menghadapi kerumunan.

Saat tertarik mengikuti kegiatan yang melibatkan kerumunan, Anda perlu secara rasional mempertimbangkan untuk datang ke lokasi. Jika kerumunan tersebut tidak terlalu penting, akan lebih bijaksana jika Anda memilih tidak datang. Analisis tingkat urgensi kehadiran Anda di tempat ini. 

Jika sekadar ingin mendapatkan informasi tentang kegiatan tersebut, Anda dapat mencari informasi dari media atau bertanya kepada rekan-rekan Anda. Andaipun harus hadir, Anda perlu membekali diri dengan pemahaman bagaimana sikap Anda saat berada di lautan kerumunan.

Kerumunan merupakan kumpulan orang yang diikat oleh sebuah kepentingan. Kerumunan itu bisa dilakukan secara terencana atau tidak terencana sama sekali. Kondisi kerumunan akan berjalan normal ketika tingkat kepadatannya masih dalam batas yang wajar. 

Namun suasana kerumunan itu bisa berubah menjadi kepanikan massal saat tingkat kepadatan itu bertambah. Apalagi pada titik kritis. Dr Milad Haghani dari University of New South Wales di Australia, dosen senior di Sekolah Sipil dan Teknik Lingkungan, mengungkapkan:

"Ketika kerumunan mencapai tingkat kepadatan kritis itu, tidak ada individu dalam kerumunan yang pada dasarnya bertanggung jawab atas tindakan atau gerakan mereka. Tidak ada orang yang dapat memutuskan ke mana harus pergi atau bagaimana harus bereaksi."

Apa yang dikatakan Milad di atas cukup beralasan. Bayangkan ketika kita berada di tengah pusaran kerumunan yang berhimpit-himpitan. Hal yang bisa kita lakukan hanya mengendalikan rasa cemas dan panik tanpa mampu menggerakkan diri akibat tekanan manusia yang memadat di sekeliling kita.

Oleh karena itu, ketika berada dalam kerumunan normal sebaiknya Anda memilih ruang yang lebih lega dan dekat dengan akses yang memungkinkan Anda dapat menjauh dari kerumunan ketika kepadatannya menunjukkan peningkatan. 

Ketika kerumunan sampai pada puncak kritis, Anda, bahkan, pengendali kerumunan pun tidak akan berbuat apa-apa dalam beberapa menit. Banyak orang tidak akan mampu bertahan dengan asupan oksigen yang terus menipis dalam beban tekanan tubuh dari semua arah.

Dikutip dari Kompas, hasil riset menunjukkan bahwa manusia hanya dapat bertahan hidup selama tiga hingga empat menit tanpa oksigen atau bernapas. Bayangkan jika Anda terpasung lebih lama dari yang dibutuhkan untuk bertahan tanpa oksigen.

Lombok Timur, 01  November 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun