Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Suatu Sore di Rumah Sakit

29 Oktober 2022   11:38 Diperbarui: 1 November 2022   21:11 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sore yang cerah. Langit membiru dengan selaput awan putih tipis-tipis. Hujan semalam masih meninggalkan udara dingin yang bergeming. Tak ada hembus angin.

Suasana ramai. Pengunjung sore itu cukup padat, kendaraan keluar masuk nyaris tanpa jeda. Ambulan dan kendaraan pribadi datang dan pergi silih berganti membawa pasien dan keluarga pengantar dan penjenguk. Di halaman parkir kendaraan sepeda motor dan mobil berjejal seolah tindih-menindih. 

Tukang parkir hampir tidak memiliki kesempatan untuk bersantai. Mereka lalu lalang mengatur kendaraan yang keluar masuk, meniup peluit, melambaikan tangan memberikan isyarat kepada pengendara, mencatat nomor kendaraan, dan memberikan tiket parkir yang ditukarkan dengan selembar uang dua ribuan untuk roda dua dan lima ribuan untuk roda empat.

Seorang tukang cilok berambut pirang dengan tindik di salah satu telinganya terlihat kewalahan melayani para ibu keluarga pasien. Mereka adalah ibu-ibu yang tersandera kegelisahan anak-anaknya saat melihat gerobak cilok. Di sudut lainnya tukang balon juga mengalami kesibukan yang sama, melayani pembeli dari kaum ibu yang tersandera bocah-bocah ngambek.

Sebuah mobil bak terbuka masuk gerbang rumah sakit dengan mesin menderu. Di dalamnya sarat oleh penumpang yang duduk berdesakan. Tak ada mobil tertutup. Mobil tanpa atap dan tanpa kursi penumpang pun tidak masalah. Hal penting pasien harus sampai di rumah sakit. 

Di antara sesaknya penumpang, seorang pasien dengan mata layu terbaring tak berdaya beralas tikar, seakan dihimpit penumpang lain yang mengantarnya. Pasien itu terkulai lemah meringkuk dibalik beberapa lembar selimut. Kepalanya tergeletak di atas sebuah bantal.

Saat berhenti, sebagian penumpang melompat keluar dari mobil sambil menurunkan barang-barang bawaan. Salah seorang mengangkat bantal guling bawaan yang digulung tikar pandan. Seorang lainnya menenteng buntalan berisi berisi pakaian. Ada lagi yang terlihat menjinjing sebuah tas plastik. Sepintas seperti kantong tempat makanan. 

Beberapa orang tetap bertahan di atas mobil. Mereka duduk menglilingi pasien. Salah seorang menggenggam tangan pasien sebagai cara memberikan semangat kepada pasien. Seorang lainnya memijit-mijit kaki pasien.

Para perempuan yang ikut serta bersama pasien terlihat menyeka kucuran air matanya. Mata-mata itu tampak sembab menahan kesedihan yang dalam. Wajah-wajah itu seolah tengah dirundung bencana tak terperikan. Seorang laki-laki dengan raut muram tergopoh-gopoh menuju ruang IGD melaporkan identitas pasien. Ekspresi wajah-wajah itu menunjukkan bahwa mereka memiliki empati yang mendalam. Beruntung masih ada tempat tidur di IGD. Salah seorang keluarga yang mengantarnya dengan raut yang muram menjelaskan bahwa pasien itu tiba-tiba lemas dan pingsan saat bekerja di sawah.

Ruang IGD sendiri sudah tidak kuasa menampung pasien rawat inap. Beberapa pasien yang datang berikutnya terpaksa diarahkan ke rumah sakit lain karena tidak tertampung. Tempat tidur yang terbatas membuat rumah sakit tidak dapat memberikan pelayanan.

Ruang rawat inap juga sama. Ruang rawat inap yang tidak berpenghuni hanya beberapa saja. Banyak orang sakit. Banyak pengunjung. Banyak keluarga pasien. Belum lagi pasien rawat jalan yang menanti panggilan sesuai antrian di ruang tunggu bagian depan rumah sakit.

Saya sendiri memilih mengambil tempat duduk menunggu di sebuah saung bambu beratap rumbia. Saung itu sudah mulai ringkih. Panggung tempat duduknya sudah tidak bersahabat. Sejumlah bilah bambu penyusunnya menceraikan diri meninggalkan saung.

Rumah sakit kecil itu dengan fasilitas yang belum begitu lengkap jika dibandingkan dengan rumah sakit yang lebih besar dan mapan. Akan tetapi, pelayanannya cukup baik. Sejauh yang saya alami demikian adanya. Kepala rumah sakit sekaligus pemiliknya kerap saya lihat mengontrol langsung aktivitas pelayanan. Dokter yang ada terbatas tetapi rata-rata cukup profesional dalam menangani pasien. Perawat sampai resepsionis selalu tanggap menghadapi keluhan pengunjung dan pasien. Semua pasien diperlakukan sama, dari pasien yang datang dengan mobil bak terbuka, ambulan, jasa ojek, dan mobil pribadi apalagi. Pasien umum dan pengguna BPJS juga dilayani dengan cara yang sama. Tentu sesuai dengan kelasnya. Cukup adil. Pasien dilayani sesuai dengan kelasnya. Pelayanan rumah sakit itu seperti dalam dunia jual beli. Makin bagus barang yang dibeli makin tinggi pula tarifnya.

Rumah sakit, bagaimanapun juga memiliki misi kemanusiaan sekaligus sisi bisnis, berorientasi kepada benefit, keuntungan material. Wajar saja. Ketidakwajaran itu jika rumah sakit tidak ramah kepada pengunjung. Modal pendirian rumah sakit memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tidak saja gedungnya. Rumah sakit harus menyediakan peralatan medis penunjang. Harga peralatan medisnya pun tidak main-main. Untuk mendapatkan gelar dokter juga penuh perjuangan finansial dan petualangan intelektual.

Lombok Timur, 29 Oktober 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun