Saya sendiri memilih mengambil tempat duduk menunggu di sebuah saung bambu beratap rumbia. Saung itu sudah mulai ringkih. Panggung tempat duduknya sudah tidak bersahabat. Sejumlah bilah bambu penyusunnya menceraikan diri meninggalkan saung.
Rumah sakit kecil itu dengan fasilitas yang belum begitu lengkap jika dibandingkan dengan rumah sakit yang lebih besar dan mapan. Akan tetapi, pelayanannya cukup baik. Sejauh yang saya alami demikian adanya. Kepala rumah sakit sekaligus pemiliknya kerap saya lihat mengontrol langsung aktivitas pelayanan. Dokter yang ada terbatas tetapi rata-rata cukup profesional dalam menangani pasien. Perawat sampai resepsionis selalu tanggap menghadapi keluhan pengunjung dan pasien. Semua pasien diperlakukan sama, dari pasien yang datang dengan mobil bak terbuka, ambulan, jasa ojek, dan mobil pribadi apalagi. Pasien umum dan pengguna BPJS juga dilayani dengan cara yang sama. Tentu sesuai dengan kelasnya. Cukup adil. Pasien dilayani sesuai dengan kelasnya. Pelayanan rumah sakit itu seperti dalam dunia jual beli. Makin bagus barang yang dibeli makin tinggi pula tarifnya.
Rumah sakit, bagaimanapun juga memiliki misi kemanusiaan sekaligus sisi bisnis, berorientasi kepada benefit, keuntungan material. Wajar saja. Ketidakwajaran itu jika rumah sakit tidak ramah kepada pengunjung. Modal pendirian rumah sakit memerlukan biaya yang tidak sedikit. Tidak saja gedungnya. Rumah sakit harus menyediakan peralatan medis penunjang. Harga peralatan medisnya pun tidak main-main. Untuk mendapatkan gelar dokter juga penuh perjuangan finansial dan petualangan intelektual.
Lombok Timur, 29 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H