Untuk makan santri masak sendiri dengan menu seadanya. Biasanya santri membawa makanan mentahan dari rumah. Jika santri menenteng atau memanggul karung, itu pertanda baru kembali dari rumah. Karungnya berisi beras, biji-bijian, ikan kering, atau makanan lain yang dapat disimpan dalam waktu lama. Menu makanan setiap hari dimasak dengan bumbu yang sama. Cabai, bawang, tomat, tanpa terasi. Semua diulek menjadi satu di atas cobek tanah liat. Bumbu itu adalah resep masakan paling populer.
Momentum menggembirakan adalah saat hari-hari besar Islam, seperti, Maulid Nabi, Isra Mi'raj, atau lebaran. Mengapa? Pada hari-hari tersebut makanan melimpah. Sesekali santri diundang yasinan oleh warga sekitar. Ini bagian dari kebahagiaan karena ada suguhan makanan.
Pakaian yang dikenakan nyaris tidak pernah disetrika. Setelah dicuci biasanya pakaian kusut masau. Jalan keluarnya pakaian dilipat serapi mungkin lalu disusun di dalam lemari atau gerobak. Metode lainnya pakaian itu ditindih dengan bantal agar kusut itu dapat berkurang.
Kudis, koreng, dan penyakit gatal lain menjadi ciri khas lain yang memprihatinkan. Semua santri dipastikan pernah merasakan gatal-gatal pada tangan, kaki, punggung, sampai bagian tubuh yang tidak patut disebutkan.
Kesederhanaan dunia pesantren kala itu tidaklah membuat santri mengeluh. Sebaliknya, situasi itu telah menjadi ruang penempaan diri untuk belajar menjalani hidup dalam kemandirian. Di luar proses belajar formal, kehidupan asrama mengajarkan kami hidup bersama, saling menghargai. Adab, akhlak, atau karakter menjadi fokus utama. Maka perundungan pada masa itu menjadi hal yang tercela.
Lombok Timur, 23 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H